Satpol PP Diburu Warga Jakarta setelah Bentrok Berdarah di Makam Mbah Priok
JAKARTA - Arogansi Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) tampak dalam salah satu tragedi sosial terburuk yang terjadi 2010 dan dikenal dengan sebutan 'Koja Berdarah'. Bentrokan itu berujung pada perburuan Satpol PP dan tuntutan pembubaran mereka. Para pamong praja sampai dilarang mengenakan seragam karena khawatir jadi sasaran serangan massa.
Tragedi yang bermula dari operasi pengosongan lahan makam keramat Mbah Priok membuat kebencian warga sekitar ke Satpol PP menjadi-jadi. Mbah Priok adalah pemuka agama yang dihormati, terutama oleh warga sekitar. Bentrokan berdarah pecah. Satpol PP kalah dan ketakutan.
Operasi pengosongan makam keramat seluas 4,5 hektare oleh gabungan aparat polisi dan satpol PP berujung petaka pada 14 April 2010. Warga Jakarta berdatangan ke areal makam untuk menghalangin pembongkaran yang dilakukan aparat.
Operasi yang direncanakan secara cermat dirusak massa. Di lapangan, analisis gugus tugas berantakan. Warga dengan senjata seadanya terus berdatangan 'membela' makam keramat dengan menjadikan mereka benteng hidup.
Kepala Satpol PP Kepulauan Seribu Hotman Sinambela yang terlibat dalam peristiwa berdarah itu, masih ingat jelas bagaimana ia dan anak buahnya dipukul mundur oleh warga. Sinambela sampai trauma berat. Ia bahkan sampai melompat pagar tinggi sampai tiga kali.
Sinambela tak sempat lagi memikirkan berapa banyak kerugian yang dialami pihaknya. Isi dalam kepalanya waktu itu hanya soal keselamatan baginya dan anak buahnya.
"Yang sudah kembali dengan saya lewat laut baru 877 dari 1750 orang. Saya dapat informasi ada dua mayat lagi ditemukan. Tapi, kami belum tahu kebenarannya,” ujar Hotman dikutip Kompas.com, 15 Juli.
Seusai bentrokan berdarah itu Sinambela diperintahkan untuk menonaktifkan anggota Satpol PP sementara. Hal itu dilakukan untuk menghindari mereka dari kekerasan dan perburuan oleh warga. Anggota Satpol PP juga diminta menanggalkan pakaian dinas dan menggantinya dengan pakaian sipil.
Desakan bubarkan Satpol PP
Usai bentrokan berdarah, desakan pembubaran Satpol PP mengalir deras. Desakan itu muncul karena akumulasi pelanggaran demi pelanggaran yang telah dilakukan Satpol PP sejak dulu.
Satpol PP telah dianggap arogan dan represif dalam setiap upaya penertiban. Apalagi, Satpol PP sering disebut-sebut aktor pelanggar hak asasi manusia. Pelanggaran tersebut tertuang dalam bentuk tindakan dan penyiksaan yang tidak berprikemanusiaan serta merendahkan martabat manusia.
Kala itu anggota Komisi I DPR Golkar, Fayakhun Andriadi mengatakan munculnya bentrokan berdarah karena tindakan Satpol PP selalu brutal dan menginjak-injak HAM. Satpol PP dianggapnya bekerja tidak memakai otak. Karena itu, sikap dari Satpol PP selalu congkak dan tindakannya sewenang-wenang. Padahal, rakyat harus diayomi, bukan “digebukin” seenak-enaknya.
"Lihat kenyataan ini, saya setuju kalau Satpol PP dibubarkan saja, namun sebelum dibubarkan, kepala Satpol PP-nya harus diperiksa, dialah yang paling bertanggung jawab atas penyerbuan berdarah ini. Kita berharap, Komnas HAM segera mengusut pelanggaran HAM di Priok ini," kata Fayakhun dikutip Tribunnews.
Tak hanya Fayakhun. Anggota Komisi I DPR lain dari PKB, Efendi Choirie bahkan beranggapan tindakan Satpol PP melebihi kejamnya tentara kerajaan Belanda, KNIL. Di lain sisi, Choirie melihat Satpol dalam melaksanakan tugas tidak ada humanis-humanisnya.
Satpol PP, kata Choirie suka petentang-petenteng macam preman. Padahal Satpol PP seharusnya berdiri melindungi rakyat bukan membela kepentingan asing di dalam sengketa lahan makam keramat Mbah Priok.
"Itu yang kita sesalkan. Sebagai pamong, seharusnya mereka melindungi rakyat bukan malah memusuhi. Daripada bikin onar melulu, ada benarnya bila dibubarkan saja. Di mana-mana, kehadiran Satpol PP makin meresahkan," katanya.
Bentrokan Koja Berdarah
Benang merah dari terjadinya Tragedi Koja Berdarah adalah sengketa lahan antara PT. Pelindo II dan ahli waris dari Mbah Priok. Pemerintah DKI Jakarta kemudian campur tangan karena ikut mengamini PT. Pelindo II sebagai pemilik sah lahan sesuai pengadilan.
Adapun pihak ahli waris bersama masyarakat Priok beranggapan makam itu tak boleh diganggu, terlebih digusur. Apalagi, keberadaan ahli waris dari lahan sudah ada sejak republik ini belum dibangun.
“Masyarakat Koja yang mempertahankan situs budaya itu, dalam perspesi ini, dianggap 'melawan hukum,’ sehingga agaknya pemerintah merasa perlu untuk mengerahkan aparat yang bisa melakukan tindakan kekerasan untuk melumpuhkan rakyatnya. Singkatnya, tragedi itu merupakan resultante dari legalisasi kekerasan dengan berlindung di balik kebijakan dan produk hukum,” tulis Laode Ida dalam buku Negara Salah Urus (2014).
Tak pelak, operasi pengosongan makam kemudian dilakukan oleh Pemerintah DKI Jakarta pada 14 April 2010. Dalam operasi yang punya dasar hukum itu, Satpol PP digerakkan secara besar-besaran untuk menjamin suksesnya operasi. Nyatanya, operasi yang direncanakan berjalan mulus-mulus saja berakhir dengan dengan kegagalan.
Ketika Satpol PP menuju ke arah Makam Mbah Priok, kekerasan sudah membayang. Warga yang membela makam pemuka agama itu, telah memasang barikade darurat. Mereka pun turut membakar kayu dan ban di pintu masuk latar parkir makam.
Sekalipun Satpol PP datang dengan armada yang lengkap dengan eskavator untuk menghancurkan barikade dan pos jaga. Warga yang telah mempersenjatai diri dnegan pisau, tongkat, arit, dan bambu runcing telah menunggu komando untuk menyerang.
Sebelum sampai ke gapura makam, Satpol PP mulai dihujani bom Molotov. Seketika warga kemudian mulai melakukan serangan dari jarak dekat. Korban dari pihak Satpol PP mulai berjatuhan. Ambulans tanpak bolak-balik membawa korban bentrokan.
Suasana semakin panas ketika sebagaian besar sekelompok pemuda yang tergabung dalam Front Pembela Islam (FPI) bergabung dengan warga mempertahankan makam keramat. Kehadiran mereka langsung dihujani dengan gas air mata dan meriam air.
Akan tetapi, cara seperti itu bukan membuat warga dan FPI takluk. Mereka justru semakin murka dan gencar melakukan serangan yang berujung jatuhnya korban jiwa dari kedua belah pihak.
“Pada pengujung hari, tiga aparat tergeletak tewas, lebih dari 70 aparat dan ratusan warga setempat terluka, 80 kendaraan dibakar atau dihancurkan, dan banyak gedung perkantoran di terminal jendelanya pecah dan temboknya hangus terbakar."
"Puluhan ribu kendaraan mogok macet di sepanjang kawasan utara Jakarta. Kegiatan di terminal peti kemas terhenti, dan selama berhari-hari tidak dapat dipulihkan. Kerugian tercatat mencapai miliaran rupiah,” tutup George Quinn dalam buku Wali Berandal Tanah Jawa (2019).
*Baca Informasi lain soal SEJARAH atau baca tulisan menarik lain dari Detha Arya Tifada.