Jokowi Minta Pertumbuhan Ekonomi Tak Minus, Bagaimana Caranya?
JAKARTA - Presiden Joko Widodo (Jokowi) menilai tantangan terbesar saat ini adalah menyiapkan program pemulihan ekonomi yang tepat dan cepat supaya laju pertumbuhan ekonomi tidak terkoreksi lebih dalam lagi. Hal ini untuk mencegah pemutusan hubungan kerja (PHK) masif di masa pagebluk COVID-19.
Jokowi menjelaskan, pada kuartal I 2020 ekonomi Indonesia hanya mampu tumbuh 2,97 persen. Sehingga, perlu penanganan agar pada kuartal selanjutnya ekonomi Indonesia tak terjun bebas.
"Kita harus mampu menahan agar laju pertumbuhan ekonomi tidak merosot lebih dalam lagi. Tidak sampai minus dan bahkan kita harapkan pelan-pelan kita mulai bisa rebound atau berbalik naik," katanya, dalam rapat terbatas secara virtual, Rabu, 3 Juni.
Lebih lanjut, Jokowi juga meminta, semua skema pemulihan ekonomi yang telah dirancang, seperti subsidi bunga untuk UMKM, penempatan dana untuk bank-bank yang terdampak restrukturisasi, penjaminan kredit modal kerja, kemudian penyertaan modal negara untuk BUMN dan investasi pemerintah untuk modal kerja, segera berjalan di lapangan.
"Saya harapkan, saya minta, dan saya ingin patikan harus segera operasional di lapangan segera dilaksanakan di lapangan," tuturnya.
Menurut Jokowi, program ekonomi nasional harus dapat memberikan manfaat nyata kepada pelaku usaha utamanya sektor padat karya agar mampu beroperasi.
"Ini penting dan mencegah PHK yang masif dan mampu mempertahankan daya beli para karyawannya. Sektor industri padat kerja perlu menjadi perhatian," jelasnya.
Jokowi menilai, sektor padat karya merupakan sektor yang menyerap banyak tega kerja. Karena itu, perlu diperhatikan. Sebab, jika tidak akan berdampak pada ekonomi masyarakat.
"Hati-hati sekali lagi untuk industri padat karya, karena sektor ini menampung tenaga kerja yang sangat banyak. Guncangan pada sektor ini akan berdampak pada para pekerja dan tentu saja ekonomi keluarganya," tuturnya.
Konsep Berbagi Beban
Menurut Jokowi, konsep berbagi beban harus menjadi acuan bersama antara pemerintah, BI, OJK, perbankan, dan pelaku usaha dalam menjalankan pemulihan ekonomi dari masalah COVID-19.
"Saya minta konsep berbagi beban. harus betul-betul bersedian memikul beban, bergotong royong, bersedia bersama-sama menanggung risiko secara proporsional dan dilaksanakan dengan prinsip kehati-hatian," tuturnya.
Jokowi menilai, konsep ini penting dijalankan agar pelaku usaha, korporasi tetap mampu berjalan, PHK masif dapat dicegah, dan sektor keuangan bisa tetap stabil, serta roda ekonomi Indonesia bisa terjaga.
Baca juga:
Tak hanya itu, Jokowi juga mengingatkan, agar pemulihan ekonomi harus dilakukan secara hati-hati, transparan, akuntabel, serta mampu mencegah risiko terjadinya moral hazard.
"Ini penting sekali. Saya minta Jaksa Agung, BPKP, pada LKPP dari awal sudah melakukan pendampingan dan jika diperlukan, KPK juga bisa dilibatkan intel memperkuat sistem pencegahan. Ini Penting," katanya.
Ingatkan Sri Mulyani Hingga Airlangga
Jokowi mengakui defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun 2020 kian melebar. Salah satu faktor yang mempengaruhi adalah penanganan pagebluk COVID-19 yang masih dilakukan hingga saat ini.
Jokowi juga mengingatkan, para pembantunya di bidang ekonomi untuk melakukan kalkulasi yang cermat tehadap perubahan postur APBN 2020. Sebab, perubahan postur anggaran akan berdampak pada peningkatan defisit.
"Kepada Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Menteri Keuangan Sri Mulyani, Kepala Bappenas lakukan kalkulasi lebih cermat, detail, dan matang terhadap risiko fiskal ke depan," tuturnya.
Selain itu, Jokowi meminta, transparansi perubahan postur APBN. Hal ini penting dilakukan agar penggunaan uang negara menjadi akuntabel.
"Saya ingin menekankan lagi agar perubahan postur APBN dilakukan dengan hati-hati, transparan, akuntabel, sehingga APBN 2020 bisa dijaga, bisa dipercaya dan tetap kredibel," katanya.
Seperti diketahui, pemerintah telah mengubah postur APBN 2020 demi mengimplementasikan refocusing dan realokasi anggaran. Perubahan ini tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 54 Tahun 2020 tentang Perubahan Postur dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2020.
Terbaru, Kementerian Keuangan sudah mengeluarkan proyeksi defisit. Defisit APBN tahun 2020 diproyeksi 6,27 persen atau semakin lebar dari prediksi sebelumnya yang tertuang pada Perpres Nomor 54 Tahun 2020. Sesuai beleid itu, pemerintah menyebut defisit APBN sebesar 5,07 persen terhadap PDB atau Rp852,9 triliun.