Hoaks Kesehatan Lebih Berbahaya ketika Pemerintah Ikut Memproduksinya: Sisi Lain Kasus Lois
JAKARTA - Polisi memutuskan tak menahan Dokter Lois Owien atas kasus dugaan penyebaran berita bohong atau hoaks COVID-19. Meski begitu proses hukum tetap berjalan. Polisi menyebut narasi-narasi Lois berbahaya. Benarkah? Kenapa hoaks kesehatan berbahaya?
Meski tak ditahan status Lois masih tersangka. Polisi memutuskan tak menahan Lois karena dianggap kooperatif. Penilaian itu disampaikan langsung oleh Direktur Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri Brigjen Slamet Uliandi.
"Yang bersangkutan menyanggupi tidak akan melarikan diri. Oleh karena itu saya memutuskan untuk tidak menahan yang bersangkutan, hal ini juga sesuai dengan konsep Polri menuju Presisi yang berkeadilan."
Dalam kasus ini Lois Owien disangkakan Pasal 28 ayat (2) jo Pasal 45A ayat (2) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan/atau Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 dan/atau Pasal 14 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 dan/atau Pasal 14 ayat (1) dan Undang Nomor 4 Tahun 1984 dan/atau Pasal 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana.
Pernyataan Lois yang disebut hoaks
Salah satu pernyataan Lois yang paling tersebar luas adalah soal penyebab meninggal para pasien COVID-19. Menurut Lois, alih-alih disebabkan virus, para korban meninggal justru dikarenakan pemberian obat yang berlebihan.
"Posting-annya adalah korban yang selama ini meninggal akibat COVID-19 adalah bukan karena COVID-19, melainkan diakibatkan interaksi antarobat dan pemberian obat dalam enam macam," kata Kabag Penum Divisi Humas Polri Kombes Ahmad Ramadhan kepada wartawan, Senin, 12 Juli.
Pernyataan itu diunggah Lois di berbagai media sosial, yakni Instagram dan Twitter. Dan menurut polisi Lois telah mengakui pernyataan yang ia sampaikan tak didasari riset yang kuat.
"Segala opini terduga yang terkait COVID, diakuinya merupakan opini pribadi yang tidak berlandaskan riset," ucap Direktur Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri, Brigjen Slamet Uliandi dala keterangannya, Selasa, 13 Juli.
Bahkan menurut Slamet, Lois sengaja membangun opini perihal wabah COVID-19 meski tahu opininya tak dapat ia pertanggungjawabkan. "Ada asumsi yang ia bangun, seperti kematian karena COVID disebabkan interaksi obat yang digunakan dalam penanganan pasien."
Pernyataan itu tak cuma menyebabkan kontroversi. Polisi menyebut Lois mengganggu program pemerintah dalam penanggulangan wabah penyakit. Sementara, Ikatan Dokter Indonesia (IDI) meminta Lois mengklarifikasi.
"Seorang dokter Indonesia, sebagai warga dalam negara demokratis, dapat memiliki pandangan tentang ilmu kedokteran. Namun seharusnya hanya menyampaikan pandangan-pandangan keilmuan dan pandangan tentang praktik kedokteran pada forum yang cocok dan pantas untuk itu. Yakni di forum terbatas, yaitu forum kedokteran dan kesehatan serta bukan di forum publik secara tidak bertanggung jawab," kata IDI dalam keterangan.
IDI juga mengaku telah memonitor sejumlah media sosial Lois. Menurut IDI banyak aktivitas di akun media sosial Lois yang tak sejalan dengan sumpah dokter Indonesia. Menurut IDI semua pernyataan Lois dapat merugikan kepentingan umum.
"Mengingat kepentingan publik saat pandemi ini menjadi sangat utama, maka disarankan kepada pihak-pihak yang berwenang atau berkepentingan, termasuk keluarga, kawan, dan kerabat untuk melakukan langkah-langkah pencegahan. Karena mengingat Apa yang dilakukan dr. Lois dapat merugikan kepentingan umum sehingga potensial berdimensi pelanggaran hukum," tertulis dalam pernyataan yang ditandatangani Ketua Umum Dr. Daeng Faqih, SH. MH.
Hoaks kesehatan dan bahayanya
Ketua Presidium Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) menjelaskan hoaks kesehatan sebagai salah satu jenis disinformasi yang paling berbahaya hari ini. Selain paling subur, hoaks kesehatan juga berdampak besar pada perilaku masyarakat menghadapi situasi krisis kesehatan pandemi.
Sejak pandemi bermula pada awal Januari 2020, peredaran hoaks kesehatan terus meningkat. Data Mafindo tahun 2020 mencatat distribusi hoaks kesehatan mencapai 37 persen dari total 2298 hoaks yang ditemukan. Sebelum 2020, hoaks terbanyak kerap didominasi dengan hoaks politik.
"Dan hoaks kesehatan selama pandemi ini adalah hoaks yang sangat berbahaya karena bisa mencelakakan banyak orang dengan bisa membuat orang mengambil keputusan yang keliru di situasi kritis," tutur Aji kepada VOI, Selasa, 13 Juli.
Mafindo juga mencatat ada seribu lebih hoaks terkait COVID-19. Aji juga memaparkan sejumlah 'kata pemicu' atau 'trigerring words' untuk melihat narasi apa yang paling sering digunakan dalam sebaran hoaks kesehatan di masa pandemi ini.
"Ada berapa trigerring words. Artinya kalau ada hoaks COVID dengan narasi ini biasanya akan cepat sekali viral. Salah satunya adalah RS dan Nakes, mereka membisniskan pandemi ini," tutur Aji.
Selain itu ada juga "narasi yang menyebutkan orang meninggal bukan COVID-19 tetapi obat-obat di RS, seperti azytrhomicin."
"Itu yang bikin orang takut ke RS. Bahkan beberapa meninggal karena terlambat ditangani RS karena sebelumya termakan hoaks sehingga tidak mau segera dibawa ke RS," tutur Aji.
Hoaks dari otoritas
Lebih lanjut Aji menyorot otorisasi dalam hoaks. Artinya, sebuah hoaks akan lebih besar dampaknya ketika disampaikan oleh otoritas, dalam hal ini misalnya pemerintah. Ini juga krusial untuk dipahami. Kita tahu bagaimana banyak pejabat negara turut menyebar hoaks, terutama di awal pandemi.
Kita tahu bagaimana mantan Menteri Kesehatan (Menkes) Terawan Agus Putranto menantang balik Harvard University yang memprediksi keberadaan kasus COVID-19 di Indonesia. Berbulan-bulan pemerintah Indonesia membantah keberadaan COVID-19 di Indonesia.
Segala sikap konyol ditunjukkan para pejabat Indonesia. Kami mencatatnya dalam artikel BERNAS berjudul Mencatat Sejarah tentang Respons Indonesia Hadapi COVID. "Kekacauan perilaku masyarakat dalam pandemi sangat mungkin erat korelasinya dengan hoaks yang beredar," tutur Aji.
Pada hari-hari selanjutnya ada kalung eucalyptus yang digembar-gemborkan Menteri Pertanian (Mentan) Syahrul Yasin Limpo sebagai penangkal virus corona. Kegawatan hoaks kesehatan di Indonesia lebih mengkhawatirkan karena turut diproduksi pemerintah.
"Karena masyarakat kita adalah masyarakat hierarkis, pernyataan hoaks yang keluar dari seorang tokoh masyrakat, tokoh agama, pejabat tentu tidak sama kalau keluar dari masyarakat biasa karena dampaknya akan lebih besar," Aji.
"Kalau kita melihat problematika hoaks COVID-19 ini maka kita harus melihatnya secara komprehensif. Tidak bias. Problemnya adalah kombinasi dari komunikasi publik pemerintah yang membingungkan, terlebih di awal pandemi."
"Ditambah dengan polarisasi masyakarat yang terbelah antara kubu pro sains dan kubu denial. Diperparah tingkat literasi masyarakat baik literasi digital maupun literasi kesehatan yang belum baik," tutupnya.
*Baca Informasi lain soal COVID-19 atau baca tulisan menarik lain dari Diah Ayu Wardani, Ramdan Febrian, Rizky Adytia Pramana, Wardhany Tsa Tsia, dan Yudhistira Mahabharata.
BERNAS Lainnya
Baca juga:
- Kegagalan Penanganan Pandemi Tak Cuma Tuntut Maaf Jokowi tapi Juga DPR yang Lebih Melek
- Bukan Tuntut Nia-Ardi Dipajang di Konpers, Adil Itu Menghentikan Kebiasaan Polisi Pajang Tersangka Narkoba
- Yang Legal Belum Tentu Baik: Menyoal Masuknya TKA China dan Aturan yang Melegalisasinya
- Ketika Harga Nyawa Elite Setara dengan Rakyat, Pentingkah RS Khusus Pejabat?