Polri Pastikan Kasus Dokter Lois Owen Tetap Diproses Meski Tak Ditahan
JAKARTA - Bareskrim Polri sudah memutuskan untuk tidak menahan dokter Lois Owien atas kasus dugaan penyebaran berita bohong atau hoaks soal COVID-19. Tapi, ditegaskan proses hukum pidana tetap berjalan.
"(Kasusnya) Tetap diproses," ucap Kabareskrim Polri Komjen Agus Andrianto kepada wartawan, Selasa, 13 Juli.
Bahkan, untuk status hukum terhadap Lois Owien masih sebagai tersangka. Sehingga, dengan tak ditahan bukan berarti penyidikan kasus dihentikan.
"(Status tersangka) Sesuai pasal yang dipersangkakan kepada yang bersangkutan," tegasnya.
Sebelumnya, Direktur Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri, Brigjen Slamet Uliandi memutuskan untuk tidak menahan Lois Owien. Alasannya, dia bersikap kooperatif selama proses penyidikan.
"Yang bersangkutan menyanggupi tidak akan melarikan diri. Oleh karena itu saya memutuskan untuk tidak menahan yang bersangkutan, hal ini juga sesuai dengan konsep Polri menuju Presisi yang berkeadilan," kata Slamet.
Baca juga:
- Polri: Pernyataan dr. Lois Owien Soal COVID-19 Hanya Opini Tak Berdasar, Miskin Riset
- Ditangkap Polda Metro, Dokter Lois Owien 'COVID Bukan Virus' Diproses di Bareskrim
- Dokter Lois Owien Tersangka Hoaks Orang Meninggal Bukan karena COVID tapi Obat Terdiam
- Banyak Pihak Dorong Kejiwaan Dokter Lois Owien Diperiksa, Polisi: Belum Ada Rencana
Lois Owien diamankan Polda Metro Jaya pada Minggu, 11 Juli, sekitar pukul 16.00 WIB. Dia pun telah ditetapkan sebagi tersangka penyebaran berita bohong atau hoaks.
Penangkapan itu, buntut pernyataannya yang menyebut pasien atau masyarakat yang meninggal bukan disebabkan virus COVID-19. Melainkan, karena interaksi obat yang berlebihan.
Selain itu, dia juga mengatakan obat-obatan yang digunakan untuk pasien COVID-19 menimbulkan komplikasi di dalam tubuh.
Dalam kasus ini, Lois Owien disangkakan Pasal 28 ayat (2) jo Pasal 45A ayat (2) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan/atau Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 dan/atau Pasal 14 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 dan/atau Pasal 14 ayat (1) dan Undang Nomor 4 Tahun 1984 dan/atau Pasal 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana.