Harga Oksigen Naik 900 Persen, Pakar Hukum: Kepolisian Harus Tindak Pelaku dengan UU Perdagangan
JAKARTA - Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menemukan kenaikan harga oksigen portable dan oksigen tabung di DKI Jakarta yang terjadi sejak kasus COVID-19 melonjak pada pertengahan Juni lalu mencapai kisaran 16 persen sampai 900 persen.
Dalam pasal 29 ayat (1) UU Perdagangan telah diatur soal larangan menimbun barang pada kondisi tertentu. Larangan tersebut dimaksudkan untuk menghindari adanya penimbunan barang yang akan menyulitkan konsumen dalam memperoleh barang kebutuhan pokok dan/atau barang penting, dalam hal ini oksigen.
"Pelaku usaha harus memperhatikan Pasal 107 UU 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan," katanya.
Baca juga:
- KPPU Siap Panggil dan Sanksi Pelaku Usaha yang Langgar Aturan Harga Obat dan Oksigen
- Akui Banyak Masalah saat Pandemi, Luhut: Kalau Ada yang Bilang Ini Tak Terkendali, Sangat Tidak Benar
- Australia Kirim Oksigen dan 2,5 Juta Dosis Vaksin AstraZeneca untuk Indonesia
- Kabar Kurang Mengenakkan dari Bangka Belitung, Harga Oksigen di Sana Tembus Rp4 Juta
Selain kepolisian, menurutnya, KPPU juga harus menindak kenaikan harga oksigen yang fantastis tersebut. Jangan sampai, kata Suparji, ada persaingan usaha yang tidak sehat.
"Perlu ada tindakan nyata dan tegas dari KPPU demi menjaga harga oksigen agar tetap terjangkau oleh masyarakat. Jangan sampai masyarakat malah terbebani di tengah pandemi," tegasnya.
Sementara, pemerintah dalam hal ini Kementerian Perdagangan perlu untuk turun tangan dengan menetapkan harga tertinggi oksigen medis. Dikatakan Suparji, langkah tersebut demi memberikan kepastian hukum terhadap masyarakat yang membutuhkan.
"Kemendag bisa juga membuat daftar harga tertinggi untuk memberikan kepastian hukum dan sebagai upaya meringankan masyarakat yang kesusahan. Seperti Kemendag menetapkan harga tertinggi obat yang dinilai untuk mengobati COVID-19," pungkasnya.