DKI Mesti Tingkatkan Contact Tracing Sebelum Jalani Kenormalan Baru
JAKARTA - Provinsi DKI Jakarta masih menjadi wilayah dengan angka kasus positif COVID-19 tertinggi se-Indoensia. Berdasarkan data Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 Per 28 Mei, kasus positif di DKI mencapai 7.001 orang.
Melihat tingginya kasus terkonfirmasi COVID-19, Ketua Komisi A (Bidang Pemerintahan) DPRD DKI Mujiyono meminta, Pemprov DKI memasifkan penelusuran kontak (contact tracing) sebelum kenormalan baru (new normal) dijalankan dalam waktu dekat ini.
"Proses tracing contact pasien yang positif COVID-19 harus dapat ditingkatkan untuk memutus mata rantai penularan," kata Mujiyono saat dihubungi VOI, Kamis, 28 Mei.
Upaya contact tracing yang dianggap masih belum maksimal tersebut terlihat dari data orang dalam pemantauan (ODP). Penetapan ODP diambil dari penelusuran siapa saja orang yang pernah melakukan kontak dekat dengan pasien COVID-19.
Dimana dari 7001 orang positif, jumlah ODP sebagian besar didata dari hasil penelusuran kontak orang yang terinfeksi COVID-19 di DKI saat ini hanya mencapai 30.704 orang.
Artinya, rasio atau perbandingan kasus positif dan ODP hanya 1:4. Dengan kata lain, dari 1 pasien yang dikonfirmasi positif COVID-19, rata-rata hanya menjaring ODP 4 orang lain yang kemungkinan memiliki kontak dekatnya.
Baca juga:
Padahal, bila dibandingkan dengan provinsi yang juga memiliki angka kasus tinggi, selisih ODP dan positif cukup besar.
Di Jawa Barat, kasus positif sebanyak 2.181 dan ODP sebanyak 49.177 (rasio 1:23). Di Jawa Tengah, kasus positif sebanyak 1.394 dan ODP sebanyak 35.119 (rasio 1:27). Lalu di Jawa Timur, kasus positif sebanyak 4.112 dan ODP sebanyak 24.090 (rasio 1:6).
Menurut Mujiyono, ada dua faktor yang menyebabkan contact tracing di DKI belum maksimal. Pertama, petugas kesehatan masih melakukan tracing secara manual.
"Tracing selama ini dilakukan manual dan belum canggih, hanya bertanya ke pasien positif soal siapa saja yang melakukan kontak dekat dengan dia," kata Mujiyono.
Mestinya, kata Mujiyono, DKI mengikuti Australia yang melakukan penelusuran kontak berbasis digital. "Ada aplikasi yang diunduh oleh warga di sana. Ketika dia positif, sistem di ponsel akan mencari tahu dia melakukan kontak dengan siapa saja, lewat komunikasi di dalam ponselnya," lanjut dia.
Selanjutnya, faktor kedua yang menyebabkan kenaikan ODP lebih lambat dibanding kenaikan kasus positif karena kesulitan mendapat informasi terkait siapa saja orang yang pernah berkontak dekat dengan pasien positif.
"Contoh, kalau si A dinyatakan positif, terus A pernah kontak dengan si B, si B belum tentu mau lapor untuk diperiksa. Seharusnya, masyarakat bisa menyampaikan informasi soal kontak dengan pasien COVID-19 lebih transparan lagi," ucap Mujiyono.