Soal Ivermectin, Luhut: Untuk COVID-19 Ringan, It Works!
JAKARTA - Di tengah kondisi COVID-19 yang semakin mengganas, obat cacing Ivermectin menjadi sorotan berbagai kalangan.
Menteri Koordinator Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengklaim obat Ivermectin ampuh mengobati gejala ringan COVID-19. Bahkan, dia pernah menguji obat cacing tersebut sejak 8 bulan lalu.
"Delapan bulan lalu saya bicara dengan dr. Fatimah, kepala RS BUMN, waktu gelombang pertama kita pake Ivermectin. Saat itu juga Presiden Trump ngumumin di White House. Lalu saya bilang, cobain aja deh untuk yang ringan-ringan. And it works,” ujar Luhut dalam podcast Youtube Deddy Corbuzier, Selasa, 6 Juli.
Kemudian, Luhut pun meminta Menteri BUMN Erick Tohir untuk membuat obat tersebut bisa digunakan.
"Sekarang dibikin Pak Erick ngerjain itu, kan paten. Salahnya apa? Untuk orang yang ringan loh ya, kasih itu ya masih saturasi oksigen 95 persen," katanya.
"Dokter Fatimah bilang 'Pak sudah kita buktiin, bagus and its work, hajar aja. Maka saya bilang Erick kirim aja wong enggak ada korbannya gara-gara itu," sambungnya.
Luhut mengakui, ada pihak-pihak yang tak suka dengan penggunaan obat Ivermectin. Sebab, harganya murah namun berkhasiat menyembuhkan gejala ringan COVID-19.
Bahkan Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin, kata Luhut, sempat memberikan atensi produsen obat tersebut mengambil untung cukup besar saat tahu Ivermectin paten sebagai COVID-19.
"Jadi Menkes bilang ke saya, 'Pak, industri-industri obat ini terlalu banyak untungnya. Karena bikin obat enggak sesuai harganya," ungkap Luhut.
Luhut menilai, jika Ivermectin ini cukup efektif untuk awal mengatasi pandemi, maka dia yakin bisa menyelesaikan masalah dan menyembuhkan pasien lebih banyak.
Dia pun tak peduli jika oknum-oknum yang ajimumpung menaikkan harga Ivermectin marah. Lantaran, peredarannya dibatasi oleh pemerintah.
"Memang kita pikirin, hajar aja gak ada urusan. Buat kepentingan rakyat kita, ya kita terusin aja," katanya.
Diketahui, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) mengancam produksi hingga mencabut izin edar Ivermectin lantaran ada pelanggaran. Salah satunya terkait harga eceran.
"Harsen (PT Harsen laboratories, red) harusnya berkaca, jangan kasih harga tinggi-tinggi juga. Saya bilang ke Menkes, 'Bud, bikin itu eceran tertinggi dan mereka sudah untung jangan juga produsen enggak untung," ucap Luhut.
Secara pribadi, Luhut tak mempermasalahkan penggunaan obat Ivermectin sebagai pertolongan pasien COVID-19 bergejala ringan.
"Ini kan darurat, sepanjang untuk kepentingan rakyat lakuin saja. Daripada sekarang kamu mati," kata Luhut.
Polemik Ivermectin
Polemik ini bermula dari Direktur Marketing PT Harsen Laboratories, Riyo Kristian Utomo. Riyo menyebut Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) sudah tiga hari melakukan sidak dan memblokir obat Ivermectin keluar dari pabrik mereka.
"Sudah tiga hari (sejak Selasa) sampai Kamis, BPOM melakukan sidak dan memblokir obat Ivermectin keluar dari pabrik PT Harsen Laboratories. Berhari-hari mereka nongkrong memeriksa semua faktur di pabrik. Sepertinya mereka tidak menginginkan obat ini beredar dan dipakai untuk melawan Covid," ujar Riyo lewat keterangan tertulis, Jumat, 2 Juli 2021.
PT Harsen Laboratories mengklaim obat cacing produksi mereka dapat menyembuhkan pasien COVID-19. Untuk itu, Riyo meminta BPOM tidak melakukan upaya-upaya yang dinilai dapat mengganggu proses produksi perusahaan yang berlokasi di Ciracas, Jakarta Timur itu.
"BPOM harus berhenti mengintimidasi, kami menyediakan senjata Ivermectin melawan Covid. Jangan ada upaya sengaja agar kita kalah. Kita harus menang melawan Covid. Jangan ada yang menghalangi," tuturnya.
Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Penny Lukito mengatakan merazia pabrik karena menemukan sejumlah pelanggaran dalam proses produksi, hingga distribusi Ivermectin buatan PT Harsen, pemegang merek Ivermax 12 mg.
BPOM menyatakan bahan baku yang digunakan PT Harsen diduga ilegal; kemasan siap edar tidak sesuai aturan, yaitu sebagai obat cacing; penetapan kadaluarsa sesuai dianggap juga tidak sesuai aturan yaitu 18 bulan, namun PT Harsen mencantumkan 2 tahun.
Selain itu, distribusi tak melalui jalur resmi termasuk promosi obat keras menyalahi aturan tidak boleh langsung ke publik namun harus di tenaga kesehatan atau dokter. Dengan pelanggaran itu, BPOM mengancam PT Harsen dapat dijatuhi sanksi berupa penutupan pabrik, pencabutan izin, hingga pidana."Harusnya mereka memahami regulasi yang ada," katanya.
PT Harsen bukan satu-satunya produsen Ivermectin di Indonesia. PT Indofarma telah mengantongi izin edar Ivermectin sebagai obat cacing sejak 20 Juni 2021. Indofarma mengatakan bisa memproduksi obat itu 4,5 juta tablet per bulan. Rencana produksi perseroan pada awal Juli hingga Agustus mencapai 13,8 juta tablet.
Baca juga:
- Update COVID-19 per 6 Juli: Rekor Berturut-turut, Hari Ini Cetak 31.189 Kasus
- Akui Banyak Masalah saat Pandemi, Luhut: Kalau Ada yang Bilang Ini Tak Terkendali, Sangat Tidak Benar
- Pegawai Hamil Disuruh Masuk Kantor, Anies Marah: Perusahaan Tak Bertanggung Jawab!
- Hubungi 110 Bila Anda Temukan Praktik Nakal Obat dan Oksigen, Polisi akan Menindak
Namun, banyak lembaga masih meragukan khasiat obat ini untuk melawan COVID-19. Tidak cuma BPOM, WHO, FDA dari Amerika Serikat dan EMA dari Uni Eropa menyatakan belum ada bukti bahwa Ivermectin mampu mengatasi COVID-19.
FDA, misalnya, pada 5 Maret memperingatkan penggunaan Ivermectin secara berlebihan bisa menyebabkan kematian. FDA juga mencatat sejumlah laporan pasien yang harus dirawat di rumah sakit setelah melakukan pengobatan sendiri ivermectin untuk kuda. Resiko dari keracunan Ivermectin adalah darah yang menjadi encer, nyeri, mual, dan diare.
Meski masih menjadi perdebatan, antusiasme masyarakat memperoleh obat ini tak terbendung. Distributor farmasi, apotek, toko obat online dan penyedia aplikasi telemedis kebanjiran permintaan Ivermectin.
Permintaan yang banyak membuat harga obat itu melambung. Harga eceran obat ini seharusnya dipatok Rp 157.700 atau 7.885 per tablet. Namun, menurut informasi, pada 30 Juni 2021 di sejumlah toko online menjual obat itu dengan harga Rp 200 ribu per dus.