Benarkah Angka Kasus COVID-19 Bisa Melandai di Pekan Kedua Juli Seperti Prediksi Luhut?
JAKARTA - Koordinator Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat Luhut Binsar Pandjaitan memprediksi peningkatan kasus positif COVID-19 akan melandai setelah 12 Juli atau pekan kedua bulan ini.
Prediksi tersebut didasari masa inkubasi virus penyebab COVID-19 setelah PPKM Darurat berjalan sejak Sabtu, 3 Juli lalu. Di mana, kata Luhut, virus tersebut akan berinkubasi selama 10-12 hari.
Tapi apakah prediksi tersebut tepat?
Merujuk perhitungan epidemiolog dari Universitas Griffith Dicky Budiman, prediksi tersebut bisa saja meleset. Dia menyebut, PPKM Darurat ini tidak menjamin kasus COVID-19 bisa menurun dengan cepat biarpun dilakukan secara optimal.
Sebab, Indonesia perlu empat kombinasi mujarab untuk mengatasi virus varian Delta yang membuat penyebaran semakin cepat.
"Dengan PPKM ini saja meskipun dilakukan optimal itu tidak menjamin (percepatan penurunan atau pelandaian kasus positif COVID-19, red)," ungkap Dicky kepada VOI, Selasa, 6 Juli.
Adapun kombinasi mujarab itu, pertama adalah pelaksanaan 3T atau testing, tracing, dan treatment. Dengan testing meningkat tajam, virus akan bisa diketahui dan dilacak persebarannya.
Tapi, Dicky menganggap 500 ribu tes dalam satu hari dirasa kurang. Sehingga, pemerintah perlu memaksimalkan.
Kedua adalah vaksinasi. Menurutnya, ini menjadi penting karena negara yang berhasil memenangkan pertandingan melawan COVID-19 adalah mereka yang telah mencapai 50 persen target vaksinasi.
"Coverage vaksin ini untuk meredam (penularan COVID-19) ya dan mengurangi angka kesakitan serta kematian," ujarnya.
Berikutnya, pemerintah memang perlu melakukan pembatasan. Tapi, Dicky menganggap lockdown atau kuncitara sebetulnya menjadi hal yang lebih tepat karena sama sekali membatasi pergerakan masyarakat.
Ini tentu berbeda dengan PPKM Darurat yang masih bisa membuat masyarakat leluasa bergerak. "Bahkan faktanya dalam beberapa hari ini keramaian di mana-mana dan ini membuat potensi pengurangan dampak semakin jauh," jelas Dicky.
Keempat, pemerintah harusnya mulai melaksanakan visitasi atau kunjungan ke rumah-rumah untuk mengontrol penyebaran virus. Apalagi, 80 persen kasus COVID-19 terjadi di klaster rumah atau keluarga.
Jika semua ini dijalankan dengan baik, Dicky mengatakan setidaknya pelandaian kasus COVID-19 baru bisa dirasakan paling cepat pada akhir Agustus mendatang.
"Dua minggu PPKM Darurat ini ya ada perlambatan tapi tetap melandai belum. Melandai itu paling cepat akhir Agustus," katanya.
Keyakinannya ini juga makin menguat karena sampai saat ini masih banyak pekerjaan rumah yang harus dikerjakan pemerintah. Salah satunya adalah mengatur pemberlakuan bekerja dari rumah atau work from home demi membatasi pergerakan manusia.
"Jadi saya ingatkan ini belum yang terburuk. Indonesia khususnya Pulau Jawa belum yang terburuk. Akhir Juli tetap saya kira puncaknya tapi yang jadi permasalahan sekarang adalah seberapa besar upaya kita mencegah ledakan besar," tegasnya.
Baca juga:
- Luhut Minta Aparat Berikan Sanksi untuk Pengusaha Non-esensial yang Paksa Karyawan Masuk Kantor
- Luhut Pandjaitan Beri Peringatan Bagi Pengusaha Obat, Tak Turunkan Harga Bakal Dirazia
- PPKM Mikro di Luar Jawa-Bali Diperpanjang Hingga 20 Juli, Berikut Aturannya
- Terdakwa Pemerkosa Anak Kandung di Banjarmasin Divonis Kebiri
Sebelumnya, Luhut Binsar Pandjaitan sebagai Koordinator PPKM Darurat Jawa-Bali mengatakan meski pandemi akan melandai setelah 12 Juli mendatang tapi dirinya memprediksi peningkatan kasus COVID-19 lebih masif sangat mungkin terjadi. Sehingga, Luhut memastikan pemerintah telah mengambil langkah untuk menghadapinya.
Salah satu caranya adalah dengan mendorong rumah sakit melakukan konversi tempat tidur. Diharapkan, cara ini dapat meningkatkan kapasitas ketersediaan tempat tidur di rumah sakit menjadi 30 hingga 40 persen bagi pasien COVID-19.
"Saya kira megenai tempat tidur kalau ditata dengan baik mestinya tidak akan terlalu banyak masalah," tegasnya.
Selain itu, peruntukan tempat tidur juga kini mulai diatur tergantung tingkat keparahan pasien COVID-19. "Jika dia saturasinya di atas 95 atau 94 dia tidak ada tanda-tanda yang jelas atau OTG kita bikin isolasi mandiri," ungkap Luhut.
Nantinya mereka yang menjalankan isolasi mandiri bisa memanfaatkan platform telemedicine sehingga beban rumah sakit bisa berkurang.
"Jadi rumah sakit hanya untuk orang yang sudah sangat membutuhkan. Sementara yang lain bisa melakukan isoman dan dibantu telemedicine dengan kriteria yang jelas," pungkasnya.