Sekelompok Hacker Klaim Miliki Informasi Skandal Memalukan Presiden Donald Trump
JAKARTA - Sekelompok peretas dikabarkan mengancam Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump. Mereka mengancam akan membeberkan sejumlah informasi penting terkait skandal dan data rahasia milik Trump, yang telah diretasnya dari sebuah firma hukum.
Melalui portal bawah tanah atau dark web, mereka memposting pesan kepada firma hukum Grubman Shire Meiselas and Sacks (GSMS) yang sempat mengawal Trump saat Pilpres AS. Dalam ancamannya mereka akan merilis sejumlah file tentang klienya itu ke publik.
"Ada Pemilu yang sedang berlangsung, dan kami menemukan satu ton bukti memalukan Tuan Trump. Jika Anda ingin tetap menjadi presiden, sebaiknya Anda tahu apa yang kami maksud," tulis kelompok hacker itu seperti dikutip dari Forbes, Rabu 20 Mei.
Baca juga:
"Dan bagi Anda para pemilih, kami akan publikasikan file ini hingga kalian tidak ingin lagi melihatnya (Trump) sebagai presiden," demikian pesan peretas tersebut yang memberikan batas waktu satu minggu, sebelum merilis file-file Trump ke publik.
Kelompok hacker ini menawarkan tebusan sekitar 365 ribu dolar AS atau Rp5 mililar untuk setiap file data yang berhasil diretasnya. Tak hanya Trump, peretas ini juga berhasil membobol sejumlah dokumen penting lainnya dari sejumlah selebritis dan politisi.
Beberapa di antaranya, seperti dokumen kontrak Lady Gaga, Madonna, Mariah Carey, Nicki Minaj, Bruce Springsteen, Bette Midler, U2, Outcast, Jessica Simpson, Cam Newton. Tak hanya penyanyi mereka juga memiliki file sensitif milik Facebook dan beberapa situs lainnya, dengan total data yang berhasil dicuri sebanyak 756GB.
"Kecuali jika perusahaan mau membayarkan 42 juta dolar AS (Rp624 miliar) sebagai uang tebusan agar rahasia itu tetap aman," ancam para hacker.
Juru bicara GSMS, Allen Grubman mengatakan, pihaknya telah berkoordinasi dengan aparat kepolisian dan FBI untuk menyelesaikan masalah peretasan ini. Ditegaskannya firma hukum ini juga tidak akan membayarkan uang sepeser pun seperti permintaan para hacker.
"Kami telah diberitahu oleh para ahli dan FBI bahwa bernegosiasi dengan atau membayar uang tebusan kepada teroris adalah pelanggaran hukum pidana federal," kata Allen dalam keterangan persnya.
Kalaupun benar ini akan menjadi aksi peretasan terbesar yang pernah dialami dalam industri hiburan di AS. Sejak terakhir kali Korea Utara yang melanggar sistem privasi komputer Sony Pictures Entertainment, pada serangan siber 2014.
FBI mengatakan aksi peretasan dan serangan siber kian meningkat, sejak pandemi COVID-19 berlangsung. Hal ini memaksa banyak karyawan dan perusahaan untuk bekerja dari rumah, trafik jaringan internet itulah yang mungkin dimanfaatkan para hacker untuk meretas sejumlah informasi penting.