Wacana 3 Periode, PP Pemuda Muhammadiyah Nilai Jokowi Sosok Negarawan Bila Menolak
JAKARTA - Ketum PP Pemuda Muhammadiyah Sunanto menilai, wacana mengubah jabatan presiden menjadi 3 periode adalah sesuatu yang setengah serius. Bila serius maka wacana ini dimungkinkan dengan merubah konstitusi.
"Tidak serius, lantaran di era demokrasi modern siapapun berhak berpendapat dan mewacanakan sesuatu. Jadi ya biasa saja," ujar Sunanto dalam keterangannya, Jumat, 25 Juni.
Sebagai seseorang yang pernah bergulat di dunia kepemiluan, Sunanto melihat wacana ini dalam perspektif pendidikan politik. Sebagaimana diketahui bersama, bahwa Indonesia hari ini defisit negarawan.
Menurutnya, Jokowi akan menjadi negarawan jika tetap memegang teguh sikapnya untuk cukup 2 periode saja. "Jika itu mampu dilakukan, sesungguhnya pak Jokowi sedang juga memberikan pendidikan politik yang adi luhung," katanya.
Sebagai sebuah refleksi, lanjut Sunanto, di era Soeharto dulu ada semacam pemeo "Tidak ada yang lebih baik dari pak Harto. Kalau diganti, belum tentu penggantinya bisa melanjutkan dan lebih baik. Lebih baik pak Harto daripada komunis".
"Dan 32 tahun pak Harto berkuasa, lantas apa yang terjadi? Demokrasi mati, fundamental ekonomi rapuh, oligarki tumbuh subur, mereka yang kaya adalah mereka yang berada di lingkaran Soeharto. Pada gilirannya, mereka yang mendorong Soeharto terus berkuasa, mereka pula yang akhirnya menjatuhkannya," bebernya.
Baca juga:
- Reuni TKN Jokowi-Ma'ruf, PKB Bantah Pertemuan Bahas 3 Periode
- Refleksi 60 Tahun Jokowi: Catatan Bersejarah Sang Presiden dalam Setahun
- Dianggap Langgar Konstitusi, M Qodari yang Ikut Gelorakan Duet Jokowi-Prabowo 2024 Dilaporkan ke Polda Sumut
- Menkes Budi Jadikan 3 Rumah Sakit Pemerintah di Jakarta Full Tangani Pasien COVID-19, Ini Daftarnya
Pada lembar sejarah yang lain, sambungnya, ada pendidikan tertinggi nilai demokrasi yang dicontohkan oleh seorang Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. Bagaimana seorang presiden keluar dari istana dengan celana pendek untuk menjadi rakyat biasa. Seorang egaliter yang legowo, dan menempatkan konstitusi di atas hasrat diri.
"Bahkan ketika tuduhan kepada beliau akhirnya menjadi fitnah belaka, beliau tidak pernah menyalahkan pemerintah, santai saja dan tidak demo bawa masa," kata Sunanto.
Sunanto menilai, pendidikan politik ala gus Dur ini memberikan contoh bahwa seorang negarawan itu harus siap menerima dan melepaskan. Apapun yang terjadi, hukum dan UU tetap ditempatkan secara terhormat sebagai sumber menyelesaikan masalah politik.
Sama dengan sekarang era Jokowi, pemeo "lebih baik Jokowi tiga periode daripada kadrun”, kata mereka yang inginkan wacana itu.
"Yang inginkan Jokowi terus lanjut periode ketiga adalah mereka yang ada di lingkaran kekuasaannya. Berkali kali Jokowi tolak. Namun mereka terus berwacana. Mengapa? Mungkin karena pendidikan ala Soeharto lebih popular ketimbang pendidikan politik ala Gus Dur," tandasnya.