Wamenkumham Beberkan Rinci soal Pasal Penghinaan Kepala Negara di RKUHP

JAKARTA - Wakil menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham) Edward Omar Sharief Hiariej angkat bicara soal pasal penghinaan kepala negara yang tercantum dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang kini tengah dibahas. 

Menurutnya, ada kekeliruan terhadap anggapan jika pasal tersebut dihidupkan kembali setelah dibatalkan Mahkamah Konstitusi (MK).

"Ini adalah suatu kekeliruan. Pertama bahwa pasal yang dimatikan oleh MK adalah delik biasa padahal yang disusun oleh pemerintah dan DPR terkait presiden ini adalah delik aduan," kata Edward dalam diskusi terkait RKUHP yang ditayangkan di YouTube Humas Ditjen AHU, Senin, 14 Juni.

Kedua, Edward juga menyoroti adanya pendapat pasal tersebut tak perlu ada dan cukup masuk ke dalam ketentuan pencemaran nama baik yang diatur dalam Pasal 310 sampai Pasal 321 KUHP. Menurutnya, jika pasal tersebut dihapus maka pasal yang mengatur makar sebaiknya dihilangkan juga.

"Saya mengatakan begini, kalau pasal penghinaan terhadap presiden dihapus dan dimasukkan saja ke dalam Pasal penghinaan secara umum, maka hapuskan saja pasal-pasal tentang makar. Toh makar itu pembunuhan terhadap presiden dan wakil presiden. Mengapa kita tidak hapus saja dan masukkan ke dalam Pasal pembunuhan biasa, toh ada juga dalam KUHP," ungkapnya.

"Inilah yang ingin saya katakan bahwa presiden itu adalah simbol negara. Presiden itu adalah personifikasi dari suatu negara. Masuk dalam suatu lambang kehormatan sehingga itu harus diatur secara khusus," imbuh Edward.

Dirinya lantas menjelaskan materi muatan KUHP di seluruh negara hampir sama kecuali tiga hal. Pertama, soal delik politik yang berlaku di Perancis, tapi tidak ada di Indonesia. 

Kedua, kejahatan kesusilaan yang di dalam KUHP Cina tidak tertuang. Terakhir, pasal yang terkait penghinaan atau pencemaran nama baik.

"Jadi kalau berbicara mengenai penghinaan terhadap presiden, enggak bisa kalau kemudian mengatakan di Amerika begini, di Perancis begini, enggak. Kita sedang membuat KUHP Indonesia yang multi-culture, multi-religi, multi-etnis, bukan KUHP Perancis, KUHP Amerika dan lain sebagainya, sehingga harus disesuaikan dengan situasi dan kondisi di Indonesia," tegasnya.

Sebagai informasi, pasal penghinaan presiden dan wakil presiden di RKUHP tercantum dalam Pasal 217 hingga 220.

Pasal 217 

Setiap orang yang menyerang diri Presiden atau Wakil Presiden yang tidak termasuk dalam ketentuan pidana yang lebih berat dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun.

Pasal 218

(1) Setiap orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden atau Wakil Presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV. 

(2) Tidak merupakan penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jika perbuatan dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri.

Sementara, pasal 219 mengatur tentang gambar atau biasa dikenal dengan meme presiden di media elektronik atau media sosial.

Pasal 219

Setiap Orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum; Memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, atau menyebarluaskan dengan sarana teknologi informasi yang berisi penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat terhadap Presiden atau Wakil Presiden; Dengan maksud agar isinya diketahui atau lebih diketahui umum, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV.

Pasal 220

(1) Tindak Pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 218 dan Pasal 219 hanya dapat dituntut berdasarkan aduan.

(2) Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara tertulis oleh Presiden atau Wakil Presiden.