OJK Klaim Digitalisasi Sektor Keuangan Sudah Dipacu Sejak 2017: Kalau Tidak Cepat Bisa Diambil Asing

JAKARTA – Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wimboh Santoso mengatakan bahwa pihaknya telah mendorong proses digitalisasi sektor jasa keuangan sejak 2017 lalu.

Menurut dia, upaya tersebut cukup penting untuk memastikan bahwa posisi strategis pemain lokal bisa tetap terjaga mengingat segmentasi pasar digital diyakini lintas batas

“Dalam produk digital persaingan yang terjadi bersifat global dan kita harus cepat, jika tidak maka semua produk keuangan akan dilayani oleh operator dari luar Indonesia,” ujarnya saat memberikan keterangan pers secara virtual usai mengikuti rapat dengan Presiden di Istana Merdeka Jakarta, Kamis, 10 Juni.

Wimboh menambahkan, hampir semua produk keuangan saat ini sudah bisa dilayani oleh fasilitas digital. Hal tersebut kemudian membawa keuntungan tersendiri dalam menumbuhkembangkan bisnis jasa keuangan secara lebih masif namun dengan biaya yang relatif rendah.

“Ini semua dimaksudkan untuk mempermudah pelaku usaha dalam memberikan servis yang lebih mudah, murah, cepat, dan menjangkau kawasan yang lebih jauh,” tutur dia.

Dalam pandangannya, konsep digital sangat sesuai dengan karakteristik wilayah Indonesia yang banyak mempunyai remote area.

“Kami yakin dengan digital akan menjangkau nasabah yang lebih banyak sampai ke pelosok daerah namun dengan ongkos operasional yang lebih rendah,” kata Wimboh.

Lebih lanjut, perkembangan sektor jasa keuangan dinilainya sudah cukup baik dengan keberadaan perusahaan financial technology (fintech) peer-to-peer lending yang mengkhususkan diri dalam pembiayaan sektor mikro, kecil, dan menengah.

“Saat ini sudah OJK mendata sudah ada 146 fintech lending yang telah terdaftar dan berizin resmi. Kontribusi mereka cukup besar dalam perekonomian karena tercatat sudah menyalurkan pembiayaan Rp194,1 triliun menurut data terbaru,” tegasnya.

Untuk diketahui, pemerintah melalui Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian menyebut bahwa Indonesia merupakan surga fintech di Asia Tenggara karena mencatatkan rasio pertumbuhan paling tinggi.

Menurut laporan yang dilansir, peran perusahaan industri 4.0 itu diyakini menyumbang sekitar 40 miliar dolar AS pada 2020 lalu. Jumlah itu diyakini akan terus naik hingga mencapai lebih dari 100 miliar dolar AS pada 2025 mendatang.