Mustahil Ada 'Saliban' Dalam 'Taliban': Membantah Gaung Buzzer yang Dimanfaatkan Firli

JAKARTA - Benydictus Siumlala Martin tertawa merespons pertanyaan kami tentang isu 'Taliban' di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Saking tak masuk akalnya, isu itu hampir dianggap lelucon. Tapi menjengkelkan juga mengingat lelucon itu yang dijadikan dasar pemecatan banyak pegawai KPK hari ini. Apalagi Beny Katolik. Ia 'Saliban'. Bukan 'Taliban.

"Dibilang KPK harus menyingkirkan 75 taliban itu tadi. Sementara saya sendiri, saya seorang Katolik," kata Beny --sapaan familiarnya, dalam wawancara bersama VOI, beberapa waktu lalu.

Beny, dalam wawancara itu juga mengungkap kehidupan antar-agama yang tak saja penuh toleransi tapi juga harmoni di KPK. Dengan kehidupan yang demikian, Beny berpandangan segala anggapan mengkhawatirkan tentang radikalisme agama tertentu di KPK tak berdasar. Jika KPK dikuasai 'Taliban', bagaimana mungkin ia yang 'Saliban' bisa hidup?

"Iya. (Ketawa) Ada yang beberapa kawan yang bilang Saliban. Jadi dari situ aja udah enggak match, gitu ... Terus orang-orang, pegawai-pegawai yang beragama selain Muslim juga difasilitasi," tutur Beny.

Benydictus Siumlala Martin (Mahesa ARK/VOI)

"Kita ada perkumpulan Oikumene untuk orang-orang Kristen dan Katolik. Yang katolik juga setiap Jumat pertama itu pergi ke Gereja di belakang, mbak, di Jalan Latuharhary situ. Jadi rasanya enggak ada masalah sih soal beragama."

"Kalau dikatakan teman-teman di KPK itu radikal, radikal dalam pemberantasan korupsi, iya. Tapi kalau radikal kemudian menjurus ke arah ekstremis kanan atau apa gitu rasanya enggak ada sih."

Isu Taliban dipelihara buzzer, digunakan Firli

Melengkapi Beny, Ketua Wadah Pegawai KPK Yudi Purnomo yang ditemui VOI juga mengatakan demikian. Dari matanya, orang yang menaungi para pegawai KPK dengan latar belakang agama, suku, dan ras, "toleransi bukan hal baru di KPK."

Yudi mengatakan isu tentang Taliban tak lebih dari narasi yang sengaja dibangun untuk tujuan melumpuhkan upaya pemberantasan korupsi. Isu itu dibangun buzzer dan dimanfaatkan pihak-pihak yang terlibat dalam pemufakatan jahat.

Yudi Purnomo (Mahesa ARK/VOI)

"Jadi isu-isu itu kan hanya dikeluarkan oleh buzzer-buzzer kan. Bahkan kemarin saya lihat PGI, Persatuan Gereja Indonesia, ketuanya mendukung karena mereka paham bahwa ini adalah upaya pelemahan KPK, ternyata diserang juga sama buzzer," tutur Yudi.

Entah siapa di belakang para buzzer yang sengaja memelihara isu radikalisme Taliban di KPK. Yang jelas, isu itu dimanfaatkan oleh Ketua KPK Firli Bahuri. Pada 29 April lalu terjadi pertemuan antara para pimpinan KPK di ruang rapat utama lantai 15 Gedung Merah Putih. Dalam rapat itu Firli meminta 75 pegawai yang tak lolos TWK segera diberhentikan.

Dikutip dari hasil investigasi Indonesia Leaks yang dipublikasikan Majalah Tempo edisi Minggu, 6 Juni, Firli bahkan menyebut 1 Juni sebagai tenggat waktu pemberhentian. Wakil Ketua KPK Nawawi Pomolango mendukung Firli dan meminta anak buahnya segera mengeksekusi perintah itu.

Tapi seorang pejabat Biro Hukum meminta Firli dan Nawawi menimbang-nimbang. Pejabat itu menganggap gagasan Firli dan Nawawi rawan digugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Pejabat itu menyarankan agar para pegawai yang tak lulus TWK tetap diberi kesempatan lewat pendidikan dan pelatihan.

Menurut sumber Indonesia Leaks, Firli menolak. Ia kukuh dengan keputusannya. "Waduh, enggak bisa. Harus diberhentikan 1 Juni. Atau mereka kita minta mengundurkan diri," narasumber Indonesia Leaks menirukan omongan Firli.

Ketua KPK Firli Bahuri (Sumber: Antara)

Niat Firli menyingkirkan para pegawai dalam 'Daftar 75' sejatinya sudah terlihat sejak awal. Tepatnya ketika merancang peraturan yang mengatur alih status pegawai KPK. Usai penerbitan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2020 tentang Pengalihan Pegawai KPK Menjadi ASN pada Juli 2020, KPK menggelar sejumlah diskusi bersama pakar hukum dan birokrat dari macam-macam lembaga.

Diskusi itu berlangsung selama September hingga Desember 2020. Dalam kurun waktu itu tak pernah ada gagasan tentang TWK. Adapun tetek bengek soal tes hanya menyebut asesmen. Di pertemuan itulah Firli memerintahkan Biro Hukum KPK memasukkan pasal TWK ke rancangan aturan. Firli berdalih ada radikalisme yang wajib dibereskan.

"Kalian lupa? Di sini banyak 'Taliban'," tutur Firli.

TWK kemudian muncul tiba-tiba dalam draf peraturan komisi versi 22 Januari. Substansi itu dianggap ganjil karena tak melalui rapat pembahasan khusus. Draf itu berubah lagi dalam versi 25 Januari. Dalam versi itu TWK dicantumkan di Pasal 5 Ayat 1. Disebutkan TWK diselenggarakan KPK bersama Badan Kepegawaian Negara (BKN).

Sejak itu tak ada lagi harmonisasi. Dikabarkan Firli sendiri yang membawa draf itu ke Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkum HAM) untuk diundangkan. Hal tu dianggap tak lazim karena sebelum diundangkan, draf itu harusnya dibahas lewat harmonisasi, yang setidaknya melibatkan pegawai struktural setingkat Biro Hukum dan Biro Sumber Daya Manusia.

Pada 27 Januari, Kemenkum HAM resmi melegitimasi Peraturan KPK Nomor 1 Tahun 2021 yang di dalamnya mencantumkan pasal TWK. Menkum HAM Yasonna Laoly hanya menjawab "Tanya nanti, ya," ketika dimintai klarifikasi.

[INTERVIU: Hukum | Ketua Wadah Pegawai KPK Yudi Purnomo tentang Bagaimana TWK Ganggu Penanganan Kasus Korupsi]

Darimana asal tuduhan Taliban?

Taliban adalah kelompok fundamentalis Islam yang menguasai Afghanistan mulai dari tahun 1996 hingga 2001. Dalam sejarahnya, Taliban dibentuk pada tahun 1990-an oleh para mujahidin Afghanistan atau para gerilyawan Islam yang melawan pendudukan Soviet di Afghanistan (1970-1989).

Gerakan ini didominasi orang-orang Pashtun yang kemudian dikenal militan nan radikal. Akan tetapi, gerakan mereka kerap melakukan pelanggaran HAM di Afghanistan. Benang merah antara kelompok Taliban Afghanistan dan Taliban KPK ada pada hal militansi. Istilah itu pertama kali dimunculkan oleh Ketua Indonesia Police Watch, Neta S. Pane pada 2009.

Neta saat itu mengomentari surat terbuka dari 50-an penyidik Kepolisian Indonesia yang bertugas di KPK. Mereka –penyidik kepolisian— mempersoalkan pengangkatan 21 penyelidik yang menjadi penyidik independen di lembaga tersebut. Untuk itu, Neta menulis terdapat perpecahan di KPK menjadi dua kubu, yakni Polisi India dan grup Taliban.

“Polisi India merujuk pada penyidik KPK yang berasal dari institusi Polri. Sedangkan grup Taliban merujuk pada penyidik Novel Baswedan yang disokong Wadah Pegawai KPK. Kelompok ini, disebut dalam surat itu, juga dianggap militan karena kerap mempersoalkan kebijakan pemimpin,” ungkap Linda Trianita, Anton Aprianto dan Mustafa Silalahi dalam tulisannya di Majalah Tempo berjudul Taliban dalam Seleksi Pemimpin KPK (2019).

Gedung KPK (Wardhany Tsa Tsia/VOI)

Isu Taliban makin berembus lewat pengakuan sejumlah pengacara --yang kerap menangani perkara di KPK-- yang mengakui mendengar istilah adanya kubu Taliban di KPK. Kubu Taliban diasosiasikan pada mereka yang selalu menangani kasus-kasus dengan nama besar. Nama Novel Baswedan salah satunya, yang dikaitkan dengan kelompok islam konservatif hanya karena berjanggut tebal dan kerap bergamis.

Isu radikalisme Taliban juga pernah dikeluhkan para penegak hukum di KPK sebagai cara panitia seleksi menjegal langkah Novel Baswedan untuk memimpin KPK. Kala itu panitia seleksi menggandeng Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dan Badan Intelijen Negara (BIN) untuk menelusuri rekam jejak para kandidat calon pemimpin KPK.

Panitia seleksi mengatakan hal itu dilakukan untuk menghindari para kandidat yang terpilih adalah mereka yang terpapar paham radikalisme. Paham itu ditakutkan akan melemahkan kondisi di KPK. Belakangan, isu Taliban kemudian menghebohkan jagat dunia maya, terutama Twitter.

Isu itu berkembang dengan deras sebagai bentuk upaya pelemahan KPK. Peristiwa pelemahan KPK memberi pelajaran kepada khalayak bahwa media sosial dengan mudah dibajak oleh elite oligarki melalui cyber troops dan computational propaganda. Sebagaimana yang diungkap oleh Pendiri Drone Emprit (DE), Ismail Fahmi.

Berdasar riset DE, gerakan pelemahan KPK didukung oleh adanya pasukan siber yang masif melakukan serangan terhadap gerakan penolak revisi. Tagar-tagar yang melemahkan itu antara lain berbunyi KPK adalah #KPKdanTaliban, #KPKPatuh Aturan, #KPKCengeng dan sebagainya.

“Tagar KPK Taliban telah sempat berhasil membuat publik ragu kepada KPK dan mencurigai lembaga antirasuah itu sebagai sarang radikalisme. Dalam uraiannya, DE menyimpulkan bahwa gerakan para akademisi yang melakukan kampanye Twitter secara sporadik kalah oleh tagar KPK Taliban yang jauh lebih masif dan sistematis. Ini membuat DE menyimpulkan terjadinya semacam fenomena matinya kepakaran alias the death of expertise,” tutup Widjayanto DKK dalam buku Menyelamatkan Demokrasi (2020).

>

*Baca Informasi lain soal KPK atau baca tulisan menarik lain dari Detha Arya TifadaWardhany Tsa Tsia juga Yudhistira Mahabharata.

BERNAS Lainnya