Faisal Basri: Kalau Nonton Sepak Bola, Iklan Djarum Nongol Terus, Cukai Tak Berpengaruh Kurangi Konsumsi Rokok

JAKARTA - Ekonom senior Faisal Basri mengatakan kenaikan tarif cukai yang tinggi bukan satu-satunya solusi untuk mengurangi konsumsi rokok. Sebab, kata dia, porsi cukai yang tinggi ini belum tentu mengakibatkan rokok tidak terjangkau oleh masyarakat.

"Jadi elemen paling efektif adalah harga. Sepanjang harganya masih relatif murah. Apalagi dibandingkan dengan negara lain, ya konsumsi rokoknya jadi naik," tuturnya dalam diskusi virtual, Senin, 31 Mei.

Faisal mencontohkan, ada dua merek rokok X dan Y dikenakan cukai yang sama yakni Rp1.000. Sedangkan, harga jualnya per batang untuk merek X sebesar Rp1.300, sementara merek Y Rp2.000. Porsi cukainya untuk merek X 77 persen. Sementara merek Y 50 persen.

"Jadi porsi cukai X tinggi. Sehingga dianggap lebih efektif untuk mengurangi jumlah perokok atau konsumsi rokok, padahal sebetulnya dia lebih terjangkau karena harga jual per batangnya Rp1.300. Walaupun rokok Y ini cukainya cuma 50 persen tapi harga per batangnya Rp2.000. Jadi lebih tidak terjangkau rokok merek Y ini," ucapnya.

Faisal mengatakan harga rokok di Indonesia tergolong sangat murah. Bahkan untuk mendapatkannya sangat mudah. Apalagi, ditambah dengan iklan rokok yang sangat gencar terutama di media outdoor maupun televisi.

Lebih lanjut, Faisal berujar banyak siasat yang dilakukan industri rokok. Salah satunya ilusi harga untuk menciptakan image bahwa harga tidak naik. Misalnya dengan jumlah batang per bungkusannya dikurangi. Sehingga, harga jual per bungkusnya turun dan itu berlangsung terus.

"Yang paling gencar untuk melakukan ini misalnya Djarum, misalnya kalau kita nonton sepak bola itu keluar terus. Jadi harganya jadi turun walaupun harga per batangnya naik. Karena jumlah batangnya dikurangi, sehingga harga per bungkusannya turun," ucapnya.

"Kita tidak boleh terpaku dengan cukai yang dinaikkan terus. Tapi harga jual rokok yang harus dinaikkan terus supaya keterjangkauannya makin sulit," sambungnya. 

Faisal mengingatkan bahwa kematian akibat rokok menempati posisi nomor dua di dunia, setelah darah tinggi. Kemudian diabetes, polusi dan obesitas. Menurut dia, jika pemerintah ingin mendorong masyarakat Indonesia produktivitasnya tinggi, maka setidaknya 5 penyakit utama ini menjadi prioritas untuk ditangani.

"Sedih sekali kalau kita investasi-investasi sumber daya manusia (SDM), tapi kalau sumber daya manusianya cepat mati kan jadi sia-sia begitu. Itu tadi ada perspektif, kalau kita tidak terkendali dan kemudian dia penyebab kematian. Sehingga investasi sumber daya manusia menjadi sia-sia," jelasnya.

Selain itu, kata Faisal, fakta yang ketiga adalah penerimaan cukai tidak pernah dipengaruhi oleh krisis apapun. Meski penerimaan negara anjlok, tapi cukainya naik terus. Bahkan 2020 di tengah era pandemi pendapatan dari cukai tembakau itu masih naik.

"Kita lihat 164,9 menjadi 170. Dan tahun ini ditargetkan naik lagi. Jadi di tengah pendapatan negara yang turun, penerimaan dari perpajakan juga turun, sedangkan dari cukai ini naik. Jadi secara tidak langsung cukai tembakau ini andalan penerimaan negara. Ini yang barangkali membuat pemerintah gamang. Karena belum menemukan sumber pendapatan yang bisa menggantikan," ucapnya.

Sekadar informasi, realisasi penerimaan cukai hasil tembakau tahun 2020 mencapai 103,21 persen dari target Perpres nomor 72 tahun 2020. Jika dibandingkan dengan tahun 2019, angka ini naik 3,26 persen.

"Penerimaan cukai hasil tembakau menyumbang 10.4 persen bagi pendapatan negara. Tertinggi sepanjang sejarah? Jika ditambah dengan PPh dan PPN perusahaan rokok, sumbangannya jauh lebih besar lagi. Penerimaan cukai hasil tembakau mencapai 96,55 persen dari total penerimaan cukai," kata Faisal.