Takuti Warga Tanpa Masker Pakai Pocong dan Waria: Kontribusi Negara Melanggengkan Stigma Transpuan
JAKARTA - Polisi bersama TNI dan sejumlah relawan menggelar razia masker di jalur wisata Pacet, Mojokerto. Mereka membawa orang-orang berkostum pocong. Bersama orang-orang berkafan itu, otoritas juga menggunakan waria untuk 'menakut-nakuti warga. Sebuah contoh lain bagaimana otoritas melanggengkan stigma terhadap transpuan.
Razia masker itu dilakukan di sekitar bundaran taman Pacet. Sebagai akses ke berbagai tempat wisata di kaki Gunung Welirang, titik itu selalu ramai lalu-lalang kendaraan di akhir pekan.
Dalam razia itu polisi melibatkan dua waria alias transpuan. Dengan mengenakan helm berbentuk sel virus, dua waria itu ditugaskan mengadang pengendara tanpa masker.
Diberitakan Detik, banyak Kapolres Mojokerto AKBP Dony Alexander mengatakan cara itu dilakukan untuk memberi pesan tentang ancaman mengerikan bahaya COVID-19 yang nyata. Lewat poster dan pengeras suara, otoritas juga menyuarakan imbauan agar para wisatawan dan masyarakat tetap mematuhi prokes.
"Kami ingin memberi pesan kepada seluruh masyarakat Mojokerto bahwa COVID-19 masih ada dan membahayakan kita semua," Dony.
"Ingat, disiplin mematuhi prokes adalah salah satu vaksin untuk memutus mata rantai penyebaran COVID-19," tambah dia.
Dony yakin cara semacam ini dapat menarik perhatian masyarakat. Dony juga optimis cara ini mampu menumbuhkan kesadaran massal tentang kepatuhan protokol kesehatan.
"Protokol kesehatan harus betul-betul kita laksanakan dan harus muncul dari diri masyarakat Mojokerto," kata Dony.
Keliru
Satu hal Dony benar, bahwa langkah itu mampu menarik perhatian masyarakat. Iya, bahkan perhatian kami. Tapi di lain hal Dony keliru. Upaya menumbuhkan kesadaran massal dengan cara itu justru berpotensi memunculkan masalah lain.
Pengamat kebijakan publik Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah menyebut apa yang dilakukan Dony beserta jajarannya sebagai kebijakan diskriminatif. Memang, barangkali secara sosio-ekonomi, para waria mendapat keuntungan dari bayaran yang diterima.
Namun jauh lebih dalam, cara Dony justru berpotensi melanggengkan stigma terhadap kaum transpuan. Dalam konteks praktis, menghadap-hadapkan waria yang notabene kelompok rentan dengan masyarakat dapat memicu kekerasan.
"Kalau menurut saya penggunaan komunitas tertentu itu seperti waria tadi, pertama itu pencitraan publiknya rendah," kata Trubus kepada VOI, Senin, 24 Mei.
"Edukasi prokes ini kan memancing terjadinya perilaku anarkis terhadap masyarakat yang lain. Penggunaan waria sebagai komunitas LGBT ini akan kontraproduktif dan menimbulkan masalah baru," tambah Trubus.
Dalam konteks jangka panjang, ini akan memperlebar jarak antara transpuan sebagai kelompok terpinggirkan dengan kelompok masyarakat dominan. Situasi yang seharusnya dihindari sebisa mungkin dalam kekacauan pandemi ini.
"Ini kan juga berpengaruh pada bagaimana mereka memperoleh uang ya. Mereka sudah susah di masa pandemi. Sekarang makin tertekan."
"Jangan sampai dia dipukuli orang. Saya membayangkan, suatu saat dia (transpuan) akan menjadi public enemy. Jadi menurut saya itu (kebijakan diskriminatif) dievaluasi."
Kekerasan terhadap transpuan
Dalam konteks yang lebih gawat, transpuan akan semakin rentan. Tanpa dibuatkan konflik saja --menghadapkan waria dengan para pelanggar-- mereka sudah dipandang berseberangan dengan norma budaya lokal yang dianut kaum dominan.
Ingat apa yang terjadi pada transpuan di Cilincing, Jakarta Utara bernama Mira pada April 2020 lalu? Ia dituduh mencuri ponsel seorang sopir truk di kawasan itu. Mira kemudian dibakar dari hidup sampai mati. Pencurian ponsel itu ujung-ujungnya tak terbukti.
Kasus Mira bukan kriminalitas biasa. Dalam artikel Mira Bukan Transpuan yang Dibakar Massa, Ia adalah Manusia yang Hidupnya Diambil oleh Sesama, Adrianus Meliala, kriminolog Universitas Indonesia, menjelaskan stigma terhadap transpuan membuat mereka rentan jadi sasaran kemarahan.
"Ini kan akibat dari semakin kuatnya pandangan yang ditanamkan oleh beberapa pihak bahwa orang LGBT adalah dosa, bukan manusia, bahkan setan," kata Adrianus kepada VOI kala itu.
Dalam kasus Mira, Adrianus menyoroti hal lain yang membutakan nurani para pelaku. Persoalan ekonomi, misalnya. "(Jika tak dibenahi) orang (di masa mendatang) tidak perlu lagi menunggu atau mencari trigger untuk kemudian marah. Tanpa trigger pun kalangan LGBT bisa jadi mangsa," tambah dia.
Survei Kualitas Hidup Waria di Indonesia yang dirilis Pusat Penelitian HIV dan AIDS, Unika Atma Jaya pada 2015 menunjukkan eksklusi sosial yang nyata dialami waria di Indonesia. Survei ini juga mendapati bias gender dalam perspektif struktur sosial yang umum sebagai hal mendasar yang menyebabkan eksklusi sosial luar biasa terhadap mereka.
Kekerasan terhadap kaum transpuan pun terjadi dalam berbagai konteks, mulai dari kekerasan fisik, psikis, seksual hingga ekonomi. Pelaku kekerasan tak cuma individu-individu masyarakat tapi juga negara, termasuk polisi dan aparat pemerintah daerah.
"Kekerasan yang terjadi ini merupakan indikasi tidak mampunya negara melindungi keamanan dari waria. Dan bahkan beberapa responden melaporkan kekerasan dari aparat negara," tertulis dalam laporan.
*Baca Informasi lain soal LGBT atau baca tulisan menarik lain dari Yudhistira Mahabharata.