23 Tahun Reformasi, Amnesty Soroti Menyempitnya Ruang Kebebasan Sipil
JAKARTA - Amnesty International Indonesia menyoroti kemunduran hak kebebasan sipil, termasuk kebebasan berekspresi dan berpendapat. Hal ini disampaikan bertepatan dengan peringatan 23 tahun reformasi.
"Selama beberapa tahun terakhir, ruang kebebasan sipil di Indonesia semakin menyempit. Ini terlihat dalam sejumlah insiden yang terjadi baru-baru ini mulai dari kriminalisasi dengan menggunakan pasal bermasalah dalam UU ITE hingga serangan digital terhadap kritik pemerintah," kata Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid dalam keterangannya, Jumat, 21 Mei.
Dia lantas menyoroti delapan pasal bermasalah dalam UU ITE, khususnya dua pasal multitafsir yaitu Pasal 27 Ayat 3 tentang penghinaan dan pencemaran nama baik serta Pasal 28 (2) tentang ujaran kebencian berdasarkan SARA.
Menurutnya, dua pasal ini menjadi alat untuk membatasi hak atas kebebasan berpendapat.
Hal ini, kata Usman, tak hanya dialami warga biasa tapi juga tokoh oposisi. Apalagi, sepanjang 2020 lalu terdapat 119 kasus dugaan pelanggaran hak atas kebebasan berekspresi dengan menggunakan UU ITE, dengan total 141 tersangka, termasuk di antaranya 18 aktivis dan empat jurnalis.
Sementara hingga Mei 2021, Amnesty mencatat setidaknya terdapat 24 kasus serupa dengan total 30 korban.
"Kasus terbaru atas pelanggaran kebebasan berekspresi dengan UU ITE menjerat Stevanus Mimosa Kristianto. Pada 29 April 2021, Polda Metro Jaya menetapkannya sebagai tersangka pencemaran nama baik. Kasusnya bermula pada bulan Februari 2019," ungkap Usman.
Dia memaparkan, Kristianto dan sekitar 50 rekannya melakukan demonstrasi untuk memprotes Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) oleh perusahaan yang mereka anggap sepihak.
Orasi Kristianto dalam demonstrasi tersebut diliput oleh beberapa media online. Ujungnya, pada Mei 2019, pihak perusahaan melaporkan Kristianto ke polisi atas orasinya itu, dengan tuduhan melanggar Pasal 27(3) UU ITE tentang pencemaran nama baik.
Kristianto mendapat surat panggilan dan diperiksa pada Desember 2020, dan nasibnya berubah akhir bulan lalu. “Kasus yang dialami Kristianto menjadi satu dari banyak contoh yang menunjukkan urgensi revisi atas pasal-pasal multitafsir dalam UU ITE," ujarnya.
"Pengungkapan pendapat secara damai jelas tidak boleh dikriminalisasi dengan menggunakan undang-undang apa pun. Terlebih lagi, dalam kasus ini, Kristianto tidak menggunakan media elektronik, jadi bagaimana dia dapat dijadikan tersangka UU ITE," imbuh Usman.
Baca juga:
- Sudahi Polemik Alih Status Pegawai KPK, Jokowi Diminta Konsisten Tegakkan UU KPK Hasil Revisi
- Polda Tangkap Oknum ASN Dinkes Sumut Diduga Jual Vaksin COVID-19 Ilegal
- Ketum PAN-Presiden PKS Bertemu, Sepakat Kawal Pemerintah Agar Tak Keluar Jalur
- Wagub Bali Sambut Baik Kebijakan Work From Bali Gagasan Kemenko Marves
Hal ini lantas menimbulkan keprihatinan. Sebab, setelah melewati masa reformasi selama lebih dari dua dekade tapi kebebasan yang diperjuangkan pada 1998 lalu masih terjadi.
"Tindakan cepat dan tegas yang dilakukan aparat penegakkan hukum terhadap mereka yang mengkritik pemerintah atau korporasi juga bertolak belakang dengan abainya pihak berwenang atas serangan digital yang dialami para kritik dan pembela HAM," katanya.
Tak hanya itu, Amnesty juga mencatat ada 66 kasus serangan digital yang melanggar hak kebebasan berekspresi dengan total 86 korban, termasuk di antaranya 30 aktivis dan 19 akademisi.
Sedangkan di 2021, setidaknya ada 14 kasus serangan digital yang melanggar hak kebebasan berekspresi dengan total 26 korban. Di mana korban tertinggi yaitu 12 orang adalah aktivis.
"Pemerintah harus menunjukkan komitmennya untuk melaksanakan visi reformasi dengan menginvestigasi kasus-kasus seperti ini dan melindungi hak warga untuk mengutarakan pendapatnya secara damai, sekalipun pendapat tersebut berbeda dengan pandangan pemerintah,” pungkasnya.