Di Sidang Rizieq Shihab, Pakar Pidana Sebut Penerapan Pasal 216 KUHP Kasus RS UMMI Salah Alamat
JAKARTA - Pakar Hukum Pidana Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta Prof Mudzakir menilai penggunaan Pasal 216 KUHP dalam perkara Rizieq Shihab terkait RS UMMI Bogor salah alamat.
Sebab, tidak ada unsur menghalang-halangi yang dilanggar dalam perkara tersebut.
Menurutnya, dalam pasal tersebut konteks pejabat yang dimaksud adalah pengawas, penyidik, dan penyelidik. Sehingga, dalam rangkaian perkara ini tidak ada unsur menghalang-halangi.
"(Pasal) 216 intisarinya tidak menuruti permintaan oleh dua pejabat. Pejabat yang pertama adalah pejabat pengawas. Pejabat yang kedua adalah pejabat seperti penyidik atau penyelidik," ucap Mudzakir dalam persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Timur, Rabu, 19 Mei.
Mudzakir pun mencontohkan, dalam rangkaian perkara di rumah sakit, pejabatnya adalah dokter. Sebab, dokterlah yang memiliki otoritas.
Meskipun dalam konteks penanganan COVID-19, dokter tetap yang memiliki otoritas. Sebab, satgas tidak memiliki kewenangan karena hanya kebijakan untuk membantu penanganan.
Baca juga:
- Jaksa Minta Hak Politik Rizieq Shihab Dicabut, Ahli: Berlebihan
- Rizieq Shihab akan Sampaikan Nota Pembelaan Pribadi di Kasus Patamburan dan Megamendung
- Di Sidang Rizieq Kasus RS UMMI, Ahli Jelaskan Perbedaan Bohong dan Keliru
- Meikarta Berubah Jadi Lahan Perang, 992 Prajurit Kodam Jaya Bersenjata Lengkap Diterjunkan
"Jadi yang menghalang-halangi dokter memeriksa itulah yang dianggap penghalang-halangan," kata dia.
"Mencegah, menghalang-halangi, dan menggagalkan. Semuanya yang menyebabkan petugas atau pejabat itu tidak bisa melaksanakan tugasnya," sambung dia.
Tapi jika seseorang melakukan suatu tindakan, kata Mudzakir, hanya saja pejabat tetap bisa melakukan tugasnya, hal itu tidak masuk dalam kategori menghalang-halangi
"Tapi kalau petugas itu masih bisa melakukan tugasnya itu tidak masuk kualifikasi mencegah menghalang-halangi, dan menggagalkan," tandas dia.
Adapun dalam perkara ini, Rizieq Shihab didakwa dengan Pasal 14 ayat (1), ayat (2), Pasal 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana dan/atau Pasal 14 ayat (1), ayat (2) Undang-Undang RI Nomor 4 tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular dan/atau Pasal 216 KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.