Pram yang Tahu soal Wawasan Kebangsaan
JAKARTA - Pramoedya Ananta Toer adalah sastrawan dengan pandangan istimewa soal nasionalisme. Karya-karyanya menggugah, dengan gagasan-gagasan kemajuan. Pram setia mengkritik pemimpin bangsa --khususnya setelah Soekarno-- dan mengoreksi mereka, termasuk tentang wawasan kebangsaan. Bagi Pram, tanpa wawasan kebangsaan, impian Indonesia jadi bangsa maju cuma mimpi.
Nasionalisme dan wawasan kebangsaan adalah dua hal yang tak dapat dipisahkan. Keduanya mengacu pada kesadaran tentang pentingnya ketunggalan bangsa (nation state). Konsep itu bersifat ideologis, yang juga jadi bekal segenap rakyat Indonesia untuk berkehidupan dan bernegara.
Dengan kata lain, wawasan kebangsaan adalah bentuk kesadaran tiap-tiap orang dan kemampuan berpikir sebagai satu bangsa. Wawasan kebangsaan idealnya menumbuhkan kesadaran mencintai Tanah Air, dengan daya juang, yang mengadopsi watak dan budi luhur bangsa.
Dalam konteks ini wawasan kebangsaan berfungsi sebagai alat perjuangan untuk membela manusia terjajah, miskin, serta yang tak berdaya di bawah selangkangan penguasa. Pemahaman soal wawasan kebangsaan itu yang menurut Pram amat penting. Goenawan Mohamad bersaksi, Pram mengamalkan itu dalam kesehariannya.
Contohnya ketika Pram yang seorang Jawa, dengan berani menolak 'Kejawaan'. Pram lebih memilih Keindonesiaan (kebangsaan). Pram memilih bapak pers nasional, Tirto Adhi Soerjo (1880-1918) sebagai pahlawan hidupnya. Bentuk kecintaannya pada pendiri surat kabar, Medan Priaji itu ditutur Pram dalam buku Sang Pemula (1985).
Bagi Pram, Tirto Adhi Soerjo adalah figur utama ketika berbicara wawasan kebangsaan. Pemikiran Tirto Adhi Soerjo yang jauh melampaui zaman jadi bukti orang Indonesia dapat andal dalam segala bidang.
“Bagi Pramoedya, Tirto Adhi Soerjo seorang pembaharu di pelbagai hal. Ia memperkenalkan modernitas ke kalangan bangsanya yang dijajah. Sehubungan dengan yang hendak saya kemukakan di sini, ia (Tirto) ‘termasuk angkatan pertama yang berwawaskan nasion...’ kata Pramoedya, ‘yang telah meninggalkan ikatan kebudayaan dan darah.’ Wawasan itu, kata Pram pula, ‘telah melampaui yang konvensional-tradisional, menjangkau Hindia sebagai keseluruhan," ungkap Goenawan Mohamad dalam tulisannya di Koran Tempo berjudul Pramoedya (2006).
Contoh lain dari wawasan kebangsaan yang diungkap Pram dapat dilihat dari novel rekaan lainnya, berjudul Bukan Pasar Malam (1951). Dalam novel itu secara lugas Pram menampilkan tokoh ayah yang rela berkorban banyak hal untuk kemerdekaan bangsanya.
Sekalipun harus jauh dari anak-anaknya, tokoh ayah itu menunjukkan pembaca bahwa pengorbanan dalam revolusi tak bisa hanya dipahami dengan logika semata. Apalagi, kemerdekaan adalah cita-cita bersama. Harus ada pengorbanan di antara keragaman kepentingan tersebut.
“Tapi ayah jarang betul di rumah. Tapi kepergiannya di masa pendudukan itu bukan hanya akan berjudi saja. Ayah berjuang terus untuk hidupnya republik,” tertulis dalam novel Pram.
Kritik Pram soal wawasan kebangsaan
Bagi Pram, selain Soekarno, tak ada lagi pemimpin bangsa yang mampu menahkodai negara Indonesia ke arah cita-cita sebuah bangsa besar. Pram berpendapat, tiap pemimpin sesudah Soekarno tak menunjukkan pemahaman soal wawasan keindonesiaan yang mempuni dalam jiwa. Ambil contoh saat Soekarno digantikan Soeharto pada 1960-an.
Presiden Indonesia kedua itu digambarkan Pram sebagai sosok yang hanya mengandalkan intuisi dan obsesi dengan kekuasaan. Karena itu, hasilnya cuma kekayaan pribadi yang melimpah ruah. Sedang, Indonesia telah kehilangan semua kebanggaan nasionalnya dan tidak ada prestatasi yang memuaskan.
Soeharto justru menghancurkan semua yang sudah dibangun oleh Soekarno. Atas obsesi kekuasaan Soeharto, generasi penerusnya harus membayar mahal segala sesuatu yang dirusak oleh perilaku korup zaman Orde Baru (Orba).
“Menurut pendapat saya, pemerintahan Soekarno masih yang terbaik di Indonesia. Tapi dia punya banyak musuh dari negara-negara Barat, karena dia itu anti-kolonialisme, anti-kapitalisme, dan antiimperialisme. Dia sudah menduga bahwa kaum Barat hanya ingin menjadikan dunia ini menjadi ladang dolarnya,” ungkap Pramoedya Ananta Toer dalam wawancara bersama Andre Vltchek & Rossie Indira, dikutip buku Saya Terbakar Amarah Sendirian (2006).
Kekurangan wawasan kebangsaan makin terlihat nyata seiring munculnya tragedi kekerasan di Timor Timur –Tragedi Santa Cruz— tahun 1991. Pram menyebut penyerangan dan tindakan represif aparat sebagai bentuk kebodohan yang keterlaluan.
Di mata Pram, pemimpin Indonesia tak mau belajar dari masa lalu. Indonesia sejatinya berdiri melawan penjajahan. Kala itu, Indonesia yang sudah menjadi negara cukup besar, nyatanya malah menjajah.
“Memalukan! Kok melawan penjajahan terus menjajah? Itukan bodoh,” Pram.
Pram menambahkan, jikalau benar pemimpin Indonesia setelah Soekarno itu Pancasilais, maka dalam sengketa Timor Timur, figur tersebut harusnya berlaku bijaksana. Bantu rakyat Timor Timur dengan dana-dana, ahli-ahli, lalu biarkan Timor-Timur merdeka.
Itu sudah menjadi hak Timor Timur. Jika wawasan kebangsaan pemimpinnya mumpuni, maka perang dan pembunuhan terus-menerus --sampai 1/3 penduduk Timor Timur di bantai-- tidak akan terjadi.
Pun dengan pemimpin-pemimpin sesudah Soeharto. Sebagai contoh, lingkungan hidup di Indonesia dihancurkan setiap hari. Namun, tak ada satu pun politikus atau calon presiden Indonesia yang mau melakukan aksi penyelamatan lingkungan skala besar.
Faktanya, hutan-hutan kita dijarah setiap hari. Dan kenapa justru negara tetangga yang mendapatkan banyak keuntungan. Mereka jadi tak perlu merusak hutan negaranya. Cukup berinvestasi di Indonesia saja.
Masih dari rangkaian wawancara bersama Andre Vltchek dan Rossie Indira --yang berlangsung dari Desember 2003 sampai April 2004-- di kediamannya di Jakarta, Pram mengemukakan kenyataan-kenyataan pahit lain.
“Jadi memang saya harus bilang pemerintahan kolonial dulu lebih baik dari pemerintahan yang ada sekarang ini. Memang kurang enak didengar ya, tapi coba saja lihat di sekitar Anda. Siapa yang bisa dipilih sebagai calon presiden? Tidak ada seorangpun yang punya wawasan keindonesiaan, dan tidak seorangpun punya prestasi individual,” Pram.
"Yang bisa mereka lakukan hanya bicara omong-kosong saja. Tidak ada kampanye yang benar-benar, karena tidak ada yang bisa mereka bicarakan. Buat saya, mereka semua hanyalah badut-badut,” tambah Pram.
*Baca Informasi lain soal SEJARAH atau baca tulisan menarik lain dari Detha Arya Tifada.