Siapa Mafia Alat Kesehatan yang Dimaksud oleh Menteri BUMN?

JAKARTA - Sebuah pernyataan cukup mengejutkan muncul dari Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir. Dia bilang, ada mafia yang sengaja membuat Indonesia mengimpor bahan baku alat kesehatan, alat pelindung diri, dan obat-obatan di Indonesia. 

Pernyataan ini muncul setelah Menteri BUMN Erick Thohir mengatakan mafia alkes dan obat-obatan bisa saja memanfaatkan kondisi negara yang saat ini tengah memerangi pandemi COVID-19. Sehingga, mafia semacam ini harusnya dilawan agar tak ada praktek kotor yang menyulitkan negara di masa seperti sekarang.

"Kalau kita enggak gotong royong, memangnya bangsa lain peduli? Jangan semuanya, ujung-ujung duit terus lalu kita terjebak short term policy di dominasi mafia. Kita harus lawan itu," kata Erick dalam siaran langsung di akun miliknya @erickthohir.

Dia menambahkan, saat ini ada 90 persen alat kesehatan dan bahan baku obat yang diimpor dari luar negeri. Sehingga, sangat mungkin mafia alkes dan obat-obatan ikut campur dalam kegiatan impor tersebut.

"Mohon maaf kalau menyinggung beberapa pihak, jangan kita ini selalu terjebak praktik kotor," tegasnya.

Staf khusus Kementerian BUMN Arya Sinulingga mengatakan, ada beberapa hal yang membuat Erick Thohir yakin soal adanya mafia tersebut. Salah satunya, soal tingginya angka impor dalam alat kesehatan dan obat-obatan.

"Ini sampai 90 persen lebih lho, apa enggak menyedihkan? Kita sanggup produksi APD, obat sebesar itu kan artinya ada market di luar tapi enggak ada usaha bikin sendiri," kata Arya dalam sebuah diskusi secara daring yang ditayangkan di YouTube, Minggu, 19 April.

Dia menyebut, ada pihak yang seperti memaksa agar Indonesia terus mengimpor alat kesehatan. "Selama ini (ada) trader, yang melakukan trading. Di sini lah Pak Erick mengatakan ada yang memaksa supaya trading terus bukan bikin produk," tegasnya.

Adapun salah satu alat kesehatan yang disinggung Arya adalah upaya pemenuhan ventilator. Menurutnya, sebelum ada kerja sama antara beberapa perguruan tinggi dengan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Indonesia kerap mengimpor ventilator.

Padahal, saat ini sudah banyak purwarupa yang diuji oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dan akan berlanjut pada produksi masal jika lolos proses pengujian.

Sehingga, dari contoh yang dia sebutkan tersebut, ini artinya Indonesia sebenarnya mampu dalam membuat ventilator. Hanya saja, ada pihak yang selama ini sengaja membiarkan ketiadaan produsen ventilator dari Indonesia agar impor bisa dilaksanakan dan tetap untung.

"Jadi ini kalau berhasil artinya, kita bisa membuat ventilator. Artinya bisa kan industri dalam negeri. Selama ini kita ngapain saja?" ujar Arya.

Hanya saja, ketika ditanya soal siapa pihak yang dimaksud oleh pihak BUMN dan apakah Erick Thohir sudah mengantongi nama mereka yang diduga bermain dalam impor alat kesehatan dan obat-obatan, Arya mengaku pihaknya belum mendalami sejauh itu.

"Enggak, belum sejauh itu. Tapi Pak Menteri sudah lihat dari perilaku saja. Kenapa sampai lama betul, kok senangnya trading saja, enggak mau produksi sendiri," tegasnya.

Anggota Komisi VI DPR RI Martin Manurung mengatakan, ketika rapat kerja beberapa waktu lalu bersama komisinya, Menteri BUMN Erick Thohir menjelaskan kesulitan pemenuhan alat kesehatan dan obat-obatan karena tingginya komponen impor, bukan adanya mafia.

Hanya saja, untuk memberantas mafia ataupun permainan-permainan kotor dari para pelaku usaha lama di bidang alat kesehatan dan obat-obatan, pemerintah harusnya membuka secara informasi berkaitan dengan pengadaan alat kesehatan. Sehingga, pengadaan alat kesehatan dan obat-obatan tak hanya diisi oleh pemain lama tapi juga ada pemain baru.

"Sebenarnya bisa ada blackmarket, mafia itu kan karena informasinya tertutup. Kalau begitu dibuka saja, apa syaratnya pemain atau pelaku usaha dalam artian ini bisa masuk. Selama informasi tertutup dan dikuasai oleh sebagian orang maka di situ ada mafia," kata Martin dalam diskusi yang sama.

Dia menekankan, pandemi COVID-19 harus menjadi momentum membereskan permasalahan seperti ini, termasuk soal ketergantungan impor yang jadi masalah yang tidak diselesaikan sejak dulu.

"Saya pikir COVID-19 adalah tamparan keras bagi kita semua karena tidak menyelesaikan persoalan. Artinya, di tengah kejadian luar biasa semacam ini, kalau tidak kita pakai menjadi satu momentum menyelesaikan permasalahan mau kapan lagi," tegasnya.

Sekjen Persatuan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI) Lia G. Partakusuma enggan mengomentari soal adanya mafia alat kesehatan dan obat-obatan. Namun, sejak merebaknya COVID-19 di Indonesia, rumah sakit kerap kesulitan bahkan sampai berlomba-lomba untuk mencari alat pelindung diri (APD) atau alat kesehatan terutama masker.

"Sekarang yang paling repot adalah masker N95 yang dibutuhkan oleh tenaga medis yang merawat pasien COVID-19. Ini agak susah. Barangnya terbatas stoknya, sehingga kita harus berkejaran dan saling bersaing untuk mendapatkan barang tersebut," tegas Lia.

Berbeda dengan sebelum penyebaran COVID-19, Lia mengatakan, saat ini tiap rumah sakit harus bersaing dan selalu menyiapkan uang tunai agar bisa melakukan pembayaran. Belum lagi, masalah lain yang harus mereka hadapi adalah mengenai kenaikan harga.

"Paling repot adalah harga. Karena berlipat ganda, mungkin apakah demand tinggi barang sedikit. Sehingga siapa cepat dia dapat. Nah, itu yang membuat kami rumah sakit prihatin," kata dia.

"Syukur kemarin ada bantuan dari pemerintah, tapi tidak mencukupi. ... Ya, yang kami mohon adakan sebanyak-banyaknya (APD dan masker) dan harganya distandart-kan. Agar tidak merepotkan rumah sakit," tutup dia.