Ada Dilema dari Penyetopan KRL Jabodetabek di Masa Pandemi COVID-19
JAKARTA - Sejumlah kepala daerah di Jabodetabek menginginkan adanya penyetopan operasional KRL selama masa Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) untuk mencegah penularan COVID-19.
Dalam rapat virtual dengan DPR RI kemarin, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengaku sudah mengusulkan hal tersebut kepada Menteri Perhubungan Ad Interim Luhut Binsar Pandjaitan.
"Saya, dua hari yang lalu, mengusulkan kepada Menteri Perhubungan Ad Interim untuk operasi kereta komuter dihentikan dulu selama kegiatan PSBB berlangsung. Mereka sedang membahas," kata Anies, Kamis, 16 April.
Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil juga mengusulkan adanya penghentian operasional KRL Commuterline secara total selama masa PSBB. Bahkan, pria yang disapa Kang Emil tersebut sudah mengusulkan Penyetopan bakal dimulai pada 18 April mendatang.
Menanggapi hal itu, Kepala Badan Transportasi Jabodetabek (BPTJ) Polana Banguningsih Pramesti membenarkan bahwa sejumlah daerah telah mengusulkan untuk menghentikan sementara operasional KRL.
Namun, Polana mengaku belum ada keputusan soal penyetopan karena masih dibahas pemerintah pusat dalam hal ini Kementerian Perhubungan, pemerintah daerah, dan PT Kereta Commuter Indonesia (KCI).
"Usulan untuk menghentikan sementara operasional KRL masih butuh pembahasan lanjut. Untuk sementara sampai dengan tanggal 17 April, KRL tetap beroperasi sesuai PSBB, yakni dengan jadwal pagi mulai pukul 05.00 WIB hingga pukul 18.00 WIB," ucap Polana saat dihubungi VOI.
Baca juga:
Pendiri Komunitas pengguna KRL AnkerTwitter Fikri Muhammad Gazi merasa keberatan dengan usulan penyetopan KRL Jabodetabek. Kepada VOI, Gazi mengatakan, masih banyak rekan pengguna KRL yang masih bergantung pada KRL sebagai moda transportasi utama. Mereka adalah sejumlah karyawan perusahaan yang mesti tetap bekerja saat PSBB.
"Usulan itu punya dampaknya ke kami, para anak kereta. Dengan penghentian ini, tentunya kami harus mencari alternatif transportasi lain, yang belum tentu bisa kami gunakan dalam jangka panjang karena berbagai sebab, terutama maslah jarak dan ongkos," tutur Gazi.
Gazi, beserta rekan pengguna KRL lainnya, merasa dalam posisi dilema. Di satu sisi, mereka ingin KRL tetap beroperasi. Namun, mereka sadar bahwa pandemi COVID-19 semakin meluas dan harus ada pemotongan mata rantai penularan secara tegas.
"Kami tidak sepenuhnya mendukung wacana ini karena ada dampak bagi yang menggantungkan hidupnya ke KRL. Tapi, kami sadar apabila tidak ada tindakan drastis, wabah ini tidak akan mampu ditahan penyebarannya. Jadi, pada akhirnya kami setuju semisal wacana penghentian operasi KRL jadi dilaksanakan," jelas dia.
Pengamat transportasi dari Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Djoko Setijowarno memandang pemerintah belum patut menghentikan operasional KRL. Sebab, jika KRL disetop, hal itu menjadi masalah bagi warga yang masih bekerja karena tak punya pilihan untuk menggunakan kendaraan umum lainnya.
Padahal, menurut Djoko, yang harus dihentikan selama masa PSBB adalah kegiatan bekerja di perusahaan-perusahaan, bukan sistem transportasi.
"Pengguna KRL masih banyak. Operator KRL (PT KCI) jangan disalahkan. Harusnya, pemrintah menyisir perusahaan-perusahaan yang mungkin masih beroperasi di luar dari yang diizinkan," ujar Djoko kepada VOI.
Belum lagi, Djoko menilai masalah lain akan datang ketika pemerintah resmi memberhentikan KRL. Jika PT KCI menghentikan kegiatan operasional, maka akan ada tujuh ribu pegawai yang akan di-PHK (pemutusan hubungan kerja).
"Jika dihentikan, akan ada 7 ribu yang kena PHK. Mereka pegawai outsourching di PT KCI. Jika disetop, apakah pemerintah bakal menanggung biaya hidupnya selama tidak dioperasikan?" kata dia.