Mengenal Taman Suropati, Paru-Paru Jakarta Sejak Zaman Kompeni
JAKARTA - Berbicara Menteng, agak sulit rasanya jika tak membahas secara panjang lebar terkait sebuah taman nan rindang penuh pepohonan yang dikenal dengan nama Taman Suropati. Warga Jakarta tak hanya menjadikan taman indah ini sebagai tempat pelipur lara, lari dari kemacetan dan kebisingan khas ibukota, namun juga sebagai tempat dimana ide-ide kreatif dapat dihasilkan.
Taman Suropati yang berlokasi di sisi utara jalan Diponegoro, Jakarta Pusat jelas bukan sembarang taman. Melalui namanya saja, segenap bangsa Indonesia yang mengetahui kiprah semangat berani mati seorang pahlawan nasional bernama Untung Suropati, sudah tentu akan menyuarakan kekaguman akan taman yang pada mulanya berbentuk bukit ini.
Apalagi, Untung Suropati bukanlah tokoh sembarangan. Saking tenar beliau, Iksaka Banu melalui cerpennya, Penunjuk Jalan (2007), mengungkap sosok pahlawan nasional asal Bali ini sebagai sesosok orang yang ditakuti oleh pemerintah Belanda. “Ia pemimpin penyamun. Pembenci Belanda. Membunuh banyak tentara sejak lolos dari stadhuis. Buronan Kompeni nomor satu.”
Kekaguman terkait Taman Suropati pun akan bertambah jikalau mengetahui bahwa dulunya pusat Kota Menteng merupakan sebuah Lapangan Bundar –cikal bakal Taman Suropati-- yang menjadi tempat titik temu dari jalan-jalan utama, yaitu Menteng Boulevard (Jalan Teuku Umar), Orange Boulevard (Jalan Diponegoro), dan Nassau Boulevard (Jalan Imam Bonjol).
Itu berkat jasa dari arsitek P.A.J. Moojen pada tahun 1912 yang membuat Lapangan Bundar tersebut. Sayangnya, lantaran Lapangan Bundar terlalu luas dan berpotensi menghambat kelancaran lalu lintas, seiring dengan problema itu, rencana Moojen diubah.
Lalu, tepat pada tahun 1918, pemerintah Kota Batavia mulai menunjuk seorang arsitek baru F.J. Kubatz dan F.J.L. Ghijsels untuk menyempurnakannya. Bersamaan dengan itu, rencana pembangunan Taman Suropati dimulai. Zaenuddin HM, dalam bukunya, Asal Usul Djakarta Tempo Doeloe (2018) menjelaskan, seiring waktu, Lapangan Bundar kemudian mulai dipangkas dan sebagian tanahnya dibuang ke Jalan Besuki.
Bahkan, pemerintah kota Batavia saat itu sudah mulai menanam pohon maupun bunga sejak 1920. “Lapangan yang kini disebut sebagai Taman Suropati ini sejak tahun 1920 sudah menggantikan Lapangan Bundar yang luas dalam rencana Moojen,” tulis Zaenuddin HM.
Terkait Taman Suropati yang termasuk dalam penyempurnaan rencana Moojen, Adolf Heuken dan Grace Pamungkas dalam buku Menteng: Kota Taman Pertama di Indonesia (2001) turut mengungkap Taman Suropati sebagai pusat Menteng yang dikenal sebagai tempat pertemuan poros timur-barat dan utara-selatan Jakarta.
Kiranya, itulah yang membuat taman yang memadukan bentuk persegi dan lingkaran dengan ragam fasilitas penunjang ini, membuatnya menjadi salah satu taman dengan kualitas terbaik di Kota Jakarta. Sebab, di antara ornamen-ornamen yang mengisi taman yang dulunya sempat bernama Burgemeester Bisschopplein, ada banyak patung-patung karya seniman berbakat dari seluruh ASEAN.
Burgemeester Bisschopplein
Dalam perjalanannya, Taman Suropati sempat bernama Burgemeester Bisschopplein di zaman Hindia Belanda. Nama itu sengaja diberikan oleh kompeni sebagai penghargaan kepada orang yang menduduki jabatan sebagai Burgermeester atau Wali Kota Batavia pertama pada 1916, Mr. G. J. Bisschop.
Kiprahnya sebagai Wali Kota yang memimpin Batavia dari tahun 1916 sampai 1920 ini patut diacungi jempol. Dikutip dari Zeffri Alkatiri, penulis buku Jakarta Punya Cara (2012), Mr. Bisschop saat itu telah banyak mempelopori pembangunan, terutama sarana pelayanan bagi masyarakat Kota Batavia.
Kebanyakan, di antaranya Mr. Bisschop mengadopsi cara-cara yang dilakukan oleh pemerintah kota di Belanda. Sebab, sebelum melawat ke Batavia, dirinya pun pernah mengenyam jabatan penting selama beberapa tahun sebagai birokrat di Hollandsche Gemeenteadmnistratie, suatu Kementerian Administrasi Belanda.
Baca juga:
Selama menjabat menjadi Wali Kota, prestasi demi prestasi telah ditorehkan Mr. Bisschop. Zeffry pun mengutarakan, “... pada masanya, dia telah menggerakkan pembuatan instalasi air leding dari Ciomas-Bogor ke Batavia (1918–1920). Sebelumnya, dia juga telah menambah keperluan air bersih dengan membangun lebih dari sepuluh sumur bor dan pompa di berbagai wilayah di Batavia.”
“Dia juga mempelopori pemberantasan nyamuk Malaria (Malaria Bestrijding) dengan mengeringkan dan menimbun beberapa rawa dan empang milik penduduk sekitar Batavia, khususnya Batavia bagian utara, seperti di Tanjung Priok, Angke, Kemayoran, Jembatan merah, Pademangan, dan sunter pada 1919,” tambah Zeffri.
Tak hanya itu Mr. Bisschop juga telah menambah armada angkutan sampah dan mobil penyiraman jalan, memperbaiki kampung, penambahan jalur trem, pembuatan jalan dan segudang prestasi lain yang berkaitan dengan masalah perkotaan.
Atas usahanya itu, Batavia menjadi menjadi lebih dinamis, manusiawi, dan berkembang. “Pantas kalau kemudian pemerintah Belanda di Batavia merasa puas dan memberikan penghargaan kepadanya dengan mencantumkan nama taman yang bagus dan luas di wilayah Menteng dengan namanya,” tutup Zeffry.