Pelanggaran HAM Masih Jadi PR Besar Bagi Jokowi di Periode Keduanya
JAKARTA - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyebut penegakan dan pengusutan kasus HAM masih jadi tugas besar bagi pemerintahan kedua Presiden Joko Widodo. Sebab, selama mantan Gubernur DKI Jakarta itu menjabat sebagai presiden dan memasukkan penyelesaian kasus HAM dalam program kerja pemerintah yang disusun sebagai Nawacita, belum ada perkembangan yang berarti.
Komnas HAM mencatat, ada tiga poin penting yang harus diselesaikan Presiden Jokowi di periode 2019-2024. Pertama adalah soal pengusutan kasus HAM berat. Ketua Komnas HAM, Ahmad Taufan Damanik mengatakan, ada 11 berkas kasus pelanggaran HAM berat yang sudah dilimpahkan dari pihaknya kepada Jaksa Agung.
11 kasus yang berkasnya telah dilimpahkan adalah terkait peristiwa 1965/1966, peristiwa penembakan misterius (petrus) 1982-1985, peristiwa penghilangan paksa aktivis tahun 1997-1998, peristiwa Trisakti, Semanggi I dan II tahun 1998.
Tak hanya itu, ada juga peristiwa Talangsari tahun 1989, peristiwa kerusuhan Mei 1998, peristiwa Wasior Wamena 2000-2003, peristiwa pembunuhan dukun santet 1998-1999, peristiwa jambu Keupok Aceh, peristiwa Rumoh Geudong, Pos Sattis lainnya, serta peristiwa Simpang KKA (Kertas Kraft Aceh).
Menurut Ahmad, meski sudah dilimpahkan, belum ada langkah konkret dari Jaksa Agung hingga saat ini untuk menindaklanjuti ke tahap penyidikan dan penuntutan sesuai dengan UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM Pasal 21 jo Pasal 23.
"Padahal di dalam undang-undang tersebut dinyatakan bahwa penyidikan wajib untuk diselesaikan dalam jangka waktu 90 hari sejak dinyatakan lengkap oleh penyidik. Ketidakjelasan atas penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat adalah bentuk dari pengingkaran atas keadilan," kata Ahmad dalam konferensi pers di Kantor Komnas HAM, Jalan Latuharhari, Jakarta Pusat, Kamis, 28 November.
Selain soal pelanggaran HAM berat, Ahmad juga menyinggung soal penanganan konflik sumber daya alam (SDA). Dia bahkan menyebut, pemerintahan Jokowi yang gemar membangun infrastruktur malah kerap menimbulkan konflik.
"Dalam beberapa tahun terakhir ini banyak juga pengaduan masyarakat terkait dengan pembangunan infrastruktur, yang terdiri dari pembangunan jalan tol, revitalisasi jalur, dan stasiun kereta api, pembangunan bandar udara, serta pembangunan waduk," ujarnya.
Dia juga mengatakan, usaha Jokowi melaksanakan Reforma Agraria juga kerap berujung pada tindakan kriminalisasi pada warga yang melakukan upaya untuk memperoleh hak atas tanah mereka di sekitar hutan dan tanah masyarakat adat.
Konflik sumber daya alam lain yang ditangani Komnas HAM adalah soal sengketa lahan antara warga dengan TNI/Polri yang biasanya menyangkut rumah dinas atau tanah/lahan.
Ahmad bilang, pihaknya bukan hanya diam tak melakukan apa-apa setelah mendapat laporan masyarakat. Komnas HAM, kata Ahmad, bahkan telah melakukan mediasi dan memberikan rekomendasi sesuai dengan UU Nomor 39 Tahun 1999. "Namun tingkat kepatuhan instansi penerima rekomendasi masih rendah," tegasnya.
Terakhir, maraknya kasus intoleransi dan pelanggaran hak kebebasan berekspresi jadi PR buat pemerintahan Jokowi. Beberapa kasus seperti penyerangan Ahmadiyah di NTB dan peristiwa lainnya di Indonesia, nyatanya tak berhasil menyeret aktor utamanya ke pengadilan.
Kalaupun berakhir di pengadilan, kata Ahmad, vonis yang diberikan pada pelaku cukup ringan dibandingkan perbuatan mereka.
Selain itu, akhir-akhir ini tindakan persekusi yang dilakukan ormas juga begitu marak. Persekusi biasanya terjadi karena beda pandangan dan media sosial jadi cara jitu untuk mengumpulkan massa persekusi.
Sehingga berkaca dari catatan mereka, Komnas HAM menilai banyak tugas yang harus dikerjakan Jokowi di periode ini bersama jajarannya.
"Hal ini perlu dilakukan sebagai wujud pelaksanaan amanah konstitusi UUD 1945 dalam rangka penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak asasi manusia," tutup Ahmad.