Mengenal Penyakit Fibrilasi Atrium dan Penanganannya dengan Teknologi PFA

JAKARTA - Penyakit jantung merupakan salah satu penyebab utama kematian di Indonesia. Selain penyakit jantung koroner, gangguan irama jantung (aritmia) juga berisiko tinggi menyebabtkan kematian.

Aritmia yang paling banyak ditemukan di masyarakat Indonesia adalah fibrilasi atrium (FA). Data menunjukkan bahwa jumlah penderita fibrilasi atrium di Indonesia mencapai lebih dari tiga juta penduduk, dengan prevalensi yang meningkat seiring bertambahnya usia.

Fibrilasi atrium merupakan kondisi ketika serambi (atrium) jantung berdenyut sangat cepat dan tidak beraturan. Normalnya jantung akan berdenyut sekitar 60-100 kali per menit saat santai, tetapi pada penderita fibrilasi atrium, serambi jantung bisa berdenyut lebih dari 400 kali per menit.

Kondisi tersebut meningkatkan risiko terjadinya penggumpalan darah dan gagal jantung. Penggumpalan darah yang terbentuk dapat mengakibatkan stroke, dan pada pasien fibrilasi atrium mempunyai risiko terjadinya stroke 4 sampai 5 kali lipat.

Dr. dr. Dicky Armein Hanafy, S.JP(K), ahli aritmia di Heartology Cardiovascular Hospital, mengatakan bahwa aritmia bisa terjadi karena berbagai faktor. Mulai dari kelainan struktur jantung, tekanan darah tinggi, gangguan tiroid, hingga efek samping obat-obatan tertentu.

Penderita aritmia akan mengalami berbagai gejala, yang sebaiknya harus segera diperiksa. Deteksi dini akan penyakit ini akan memberikan peluang penanganan dengan baik yang lebih tinggi.

“Gejala aritmia yang sering dikeluhkan antara lain jantung berdebar, pusing, nyeri dada, atau mudah lelah. Namun, yang lebih penting adalah bagaimna deteksi dini dilakukan,” kata Dokter Dicky saat temu media, pada Rabu, 8 Januari 2025.

“Pemeriksaan seperti elektrokardiogram (EKG) atau monitor jantung Holter dapat membantu mendiagnosis aritmia sejak awal sehingga pengobatan bisa lebih efektif,” tambahnya.

Terdapat beberapa cara untuk menangangi fibrilasi atrium, di antaranya adalah terapi obat-obatan, kontrol faktor risiko, dan kateter ablasi. Salah satu teknologi terkini untuk menangani fibrilasi atrium adalah Pulsed Field Ablation (PFA) yang di Indonesia dikenalkan di Heartology Cardiovascular Hospital.

Direktur Heartology Cardiovascular Hospital, Dr. dr. Faris Basamalah, Sp.JP(K), mengatakan bahwa kehadiran PFA di Heartology adalah langkah besar kardiologi untuk membawa layanan kesehatan jantung di Indonesia ke standar internasional. Teknologi ini memiliki keunggulan dibandingkan teknologi ablasi lainnya, dengan tingkat keamanan yang lebih tinggi, nilai keampuhan pengobatan setara terhadap pasien atrial fibriasi yang persisten maupun non-persisten.

“Sebagai rumah sakit yang berfokus pada tata laksana kardiovaskular, kami selalu mengedepankan inovasi demi menempatkan kenyamanan dan keamanan pasien sebagai prioritas utama,” kata Dokter Faris.

PFA merupakan salah satu kategori kateter ablasi (tindakan invasif minimal non-bedah) non-thermal, yang bekerja melalui proses electrocoporation. Ini merupakan pengiriman gelombang listrik pendek yang membuka pori-pori membran sel, sehingga jaringan yang ditargetkan dapat dihancurkan dengan aman tanpa memengaruhi jaringan lainnya.

Cara kerja PFA yang menggunakan gelombang listrik tersebut berbeda dengan ablasi thermal yang menggunakan energi radio frekuensi, yakni energi panas menciptakan lesi dan energi dingin untuk membekukan jaringan. Dengan sifat terapinya yang selektif ini, maka ablasi dengan PFA akan berlansung dengan lebih cepat, lebih efektif, dan lebih aman bagi pasien.