Industri Tekstil RI Masih Tertekan, Kemenperin Ungkap Biang Keroknya
JAKARTA - Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menyatakan bahwa industri tekstil masih tertekan sampai saat ini.
Hal tersebut disampaikan oleh Direktur Jenderal Industri Agro Kemenperin Putu Juli Ardika saat ditemui di kantor Kemenperin, Jakarta, Senin, 6 Januari.
"Ini yang mengalami tekanan sebenarnya itu industri tekstil," ujar dia.
Putu menyebut, salah satu penyebab masih terkontraksinya industri tersebut dikarenakan adanya tekanan impor sampai saat ini.
"Untuk (industri) tekstil itu karena tekanan impor. Jadi, untuk yang industri-industri orientasi domestik itu masih ditekan oleh produk impor yang banyak," ucap Putu.
"Sementara untuk yang ekspor, ini kondisi globalnya yang masih belum baik," sambungnya.
Dia menambahkan, ada enam subsektor industri lainnya yang masih belum keluar dari level kontraksi. Seperti industri kayu, barang dari kayu dan gabus (tidak termasuk furnitur), industri karet, barang dari karet dan plastik serta industri mesin dan perlengkapan yang tidak termasuk di dalamnya.
Kemudian, ada industri kendaraan bermotor, trailer dan semi trailer, industri furnitur serta industri pengolahan lainnya.
Sementara itu, Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Jenderal Industri Kimia, Farmasi dan Tekstil (IKFT) Kemenperin Reni Yanita menuturkan bahwa kinerja industri tekstil sepanjang 2024 memang masih tertekan produk impor dan hanya bisa tumbuh sekitar 1,84 persen. Pada saat yang sama, performa industri pakaian jadi berhasil tumbuh hingga 4,62 persen.
Industri pakaian jadi dan industri tekstil merupakan subsektor dari industri tekstil dan produk tekstil atau TPT. Dengan demikian, performa industri TPT pada tahun lalu hanya dapat tumbuh 3,23 persen secara tahunan.
Menurut Reni, tekanan performa tersebut dikarenakan terlambatnya perpanjangan bea masuk tindakan pengamanan kain yang termuat dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 48 Tahun 2024.
Aturan bea masuk tambahan terhadap kain impor berakhir pada 2022, yang diatur dalam PMK Nomor 78 Tahun 2021.
Dengan kata lain, ada jeda perlindungan sekitar 1,5 tahun terhadap industri kain nasional.
Baca juga:
Reni bilang, jeda waktu tersebut dimanfaatkan oleh importir dan pabrik pakaian jadi di kawasan berikat untuk menggunakan kain impor.
Lebih lanjut, Reni menekankan, industri TPT wajib dilindungi oleh pemangku kepentingan mengingat kontribusinya ke serapan tenaga kerja bidang manufaktur mencapai 20 persen. Kemenperin mendata total tenaga kerja yang ada di industri TPT hingga Agustus 2024 mencapai 3,97 juta orang atau naik 5,59 persen secara tahunan.
"Jadi memang kalau tidak kami jaga (tenaga kerja industri tekstil) 20 persen, kan, lumayan untuk yang namanya kami punya bonus demografi. Kemudian, kami juga punya tenaga kerja (yang memiliki) skill untuk tekstil. Kan, sayang kalau nggak kami pertahankan. Nah, ini juga jadi concern bagaimana kebijakan-kebijakan yang diambil kementerian/lembaga lain juga harusnya memperhatikan ini," pungkasnya.