Pertumbuhan Ekonomi Sembilan Persen adalah Halusinasi

JAKARTA – Pernyataan Hashim Djojohadikusumo yang menargetkan bahwa ekonomi Indonesia bisa tumbuh hingga sembilan persen dianggap sebagai bualan semata oleh para pengamat ekonomi.

“Saya yakin bisa lebih dari delapan persen. Kalau saya pribadi bisa 9 persen ekonomi. Itu saya pribadi,” Kata Hasim beberapa waktu lalu.

Pernyataan itu diungkapkan Hashim Djojohadikusumo selaku Utusan Khusus Presiden Bidang Iklim saat gelaran COP29 di Baku, Azerbaijan. Hashim juga sekaligus menimpali target Prabowo bahwa ekonomi Indonesia akan tumbuh delapan persen di kepemimpinannya.

Kepercayaan diri Hashim menyoal pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar sembilan persen bukan tanpa alasan. Menurutnya, pemerintah sekarang memiliki sejumlah program yang dapat membantu ekonomi tumbuh lebih tinggi, di antaranya program makan bergizi gratis dan pembangunan tiga juta rumah setiap tahun.

Mimpi di Siang Bolong

Meningkatkan pertumbuhan ekonomi memang menjadi salah satu target Presiden Prabowo Subianto bersama wakilnya, Gibran Rakabuming Raka sejak terpilih menjadi pemimpin negeri ini untuk periode 2024-2029. Prabowo sendiri pernah berujar soal target pertumbuhan ekonomi delapan persen.

Pertumbuhan ekonomi bisa dibilang sebagai salah satu indikator berhasil atau tidaknya suatu pemerintahan dalam menjalankan, mengelola, dan membangun negara. Mengutip Kompas, ekonom Amerika Serikat Simon Kuznets berujar pertumbuhan ekonomi adalah suatu kemampuan jangka panjang dari negara untuk menyediakan berbagai barang ekonomi kepada penduduknya.

Dalam perjalanannya, Indonesia mengalami pasang surut pertumbuhan ekonomi. Pada 1961 di era Presiden Soekarno, Badan Pusat Statistik mencatat ekonomi Indonesia sebesar 5,74 persen. Meski sempat minus 2,24 persen, namun pertumbuhan ekonomi bisa kembali positif sebesar 3,53 persen pada 1964.

Di era Presiden Soeharto barulah ekonomi Indonesia tumbuh pesat. Bahkan tembus 10,92 persen pada 1970 setelah membuat Rencana Pembangunan Lima Tahun atau Repelita yang mendorong swasembada.

Presiden RI Prabowo Subianto bersalaman dengan salah satu pengusaha asal Amerika Serikat (AS) yang tergabung dalam Dewan Bisnis AS-ASEAN di Istana Negara, Jakarta, Selasa pagi (3/12/2024). (ANTARA/Mentari Dwi Gayati)

Di tahun-tahun berikutnya sampai sekitar 1997, pertumbuhan ekonomi Indonesia terjaga di kisaran 6-7 persen. Pada 1998 ketika terjadi krisis global, terjadi inflasi hingga 80 pesen dan pertumbuhan ekonomi merosot menjadi minus 13,13 persen.

Setelah itu, di era BJ Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, sampai Susilo Bambang Yudhoyono pertumbuhan ekonomi turun naik sampai angka sekitar enam persen. Dalam 10 tahun terakhir, ketika Joko Widodo menjabat sebagai presiden, pertumbuhan ekonomi bisa dibilang stagnan di angka lima persen.

Mengenai target Presiden Prabowo Subianto yang ingin ekonomi tumbuh delapan persen, bahkan Hashim Djojohadikusumo sangat pede bisa mencapai sembilan persen, Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Nailul Huda mengatakan itu adalah hal yang mustahil.

“Pertumbuhan ekonomi delapan persen adalah sebuah halusinasi. Apalagi sekarang meningkat menjadi sembilan persen, lebih dari halusinasi, impian, mimpi di siang bolong,” kata Huda ketika dihubungi VOI.

“Yang jelas target tersebut tidak realistis dan Hashim sedang mengatakan hal yang omong kosong. Dalam 10 tahun terakhir, pertumbuhan ekonomi kita hanya berada di angka lima persen-an saja dengan berbagai kebijakan mulai dari infrastruktur hingga hilirisasi,”imbuhnya.

Menurut Huda, berbagai kebijakan di era Jokowi tidak berdampak besar terhadap pertumbuhan ekonomi yang masih “gitu-gitu aja”. Presiden Prabowo yang ingin melanjutkan program-program Jokowi membuat target ini dirasa mustahil untuk dicapai.

“Jikapun ada program akselerasi adalah program SDM yang notabene dampaknya dampak jangka panjang. Tidak dalam satu tahun, dua tahun, bahkan lima tahun. Dampaknya mungkin baru terasa setelah 15 tahun. Jadi saya rasa sangat tidak realistis,” kata Huda lagi.

Kembangkan Ekonomi Restoratif

Dihubungi terpisah, Direktur Eksekutif CELIOS Bhima Yudhistira mengatakan pemerintah harus lebih dulu mengubah stuktur ekonomi jika ingin ekonominya tumbuh positif. Untuk saat ini, kata Bhima, struktur ekonominya masih terlalu mengandalkan ekstraktif. Negara dengan struktur ekonomi yang basisnya ekstraktif sulit untuk menjadi negara maju karena beberapa hal.

Pertama ketergantungan pada harga di level internasional, kedua kerusakan lingkungan yang diciptakan, dampak kesehatan dari proses eksploitasi sumber daya alam termasuk hilirisasi tambang justru menurunkan tingkat produktivitas tenaga kerja dalam jangka panjang.

“Karena kalau pekerjanya sakit-sakitan, ya produktivitasnya turun,” jelas Bhima.

Menurut Bhima, pemerintah harus mempercepat transisi energi ke energi terbarukan dengan komponen domestik yang lebih besar. Transisi energi ke ekonomi hijau disebut bisa mendorong penciptaan lapangan kerja sampai 96 juta orang sampai 25 tahun ke depan.

Kedua, pemerintah harus mendorong pengembangan ekonomi restoratif, yaitu ekonomi yang selaras dengan pemulihan alam atau lingkungan hidup. Dengan melibatkan masyarakat lebih inklusif. Dijelaskan Bhima, hilirisasi tambang, nikel tidak memberikan dampak besar karena ekonomi Indonesia tetap di angka lima persen.

Joko Widodo memperhatikan turbin kincir angin usai meresmikan Pembangkit Listirk Tenaga Bayu (PLTB) di Desa Mattirotasi, Kabupaten Sidrap, Sulawesi Selatan, Senin (2/7/2018). Presiden Joko Widodo meresmikan PLTB dengan kapasitas 75 megawatt yang akan membantu pasokan listrik di Wilayah Sulselbar dengan kekuatan putaran 30 buah turbin kincir angin. (ANTARA/Abriawan Abhe)

“Hilirisasi ekonomi restoratif ini produknya seperti kopi, perikanan, rumput laut, produk-produk hutan yang bisa dikelola berkelanjutan dan punya nilai tambah. Karena pembeli di banyak negara saat ini menginginkan produk yang ramah lingkungan,” ucapnya.

Ketiga dengan mengembangkan sektor pariwisata agar dikelola dengan baik dan memiliki daya saing lebih tinggi dibandingkan negara tetangga seperti Thailand, Singapura, Malaysia, sehingga bisa datangkan devisa dan mendorong perekonomian di tingkat daerah.

Untuk mendorong pertumbuhan sembilan persen, lanjut Bhima, maka APBN dan insentif fiskalnya harus lebih tepat sasaran, harus berorientasi pada sektor padat karya, dan menciptakan industrialisasi karena tantangan saat ini yang paling besar adalah industrialisasi prematur.

"Jadi harus melakukan industrialisasi tapi bukan industrialisasi tambang, karena kalau masih berpaku pada SDA yang sifatnya ekstraktif, mau dikelola bagaimana pun nilai rusaknya sangat besar dibanding keuntungan yang didapat," Bhima menjelaskan. 

"Terakhir membangun ekonomi di pinggiran, yaitu mengektifkan unit-unit usaha yang ada di pedesaan, sektor pertanian perkebunan dengan dana desa yang lebih fokus," pungkasnya.