FSGI Soroti Janji Kenaikan Gaji Guru: Prank atau Kesalahpahaman?

JAKARTA– Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) mengkritik keras janji kampanye pasangan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming terkait kenaikan gaji guru. FSGI menyebut tidak ada perubahan nyata dalam kesejahteraan guru di pemerintahan saat ini, bahkan menyebutnya sebagai "prank kenaikan gaji".

Sekretaris Jenderal FSGI, Heru Purnowo, menegaskan bahwa menaikkan gaji guru secara signifikan seperti yang dijanjikan pada masa kampanye Pilpres 2024 sulit direalisasikan karena keterbatasan anggaran.

"APBN kita sudah minus karena adanya kebijakan makan bergizi gratis Rp10.000/siswa/hari. Kebijakan ini jelas menggerus anggaran," ungkap Heru dalam keterangannya, Senin 2 Desember.

Pidato Presiden Prabowo Subianto dalam peringatan Hari Guru Nasional akhir November lalu sempat memicu euforia di kalangan guru. Banyak guru mengira akan ada kenaikan fantastis dalam tunjangan, seperti guru non-ASN yang berharap tunjangan profesinya naik menjadi Rp2 juta.

"Namun, kenyataannya hanya ada penyesuaian kecil, dari Rp1,5 juta menjadi Rp2 juta bagi guru yang sudah mendapatkan SK Inpassing," kata Heru.

Sementara itu, guru ASN tidak mengalami perubahan signifikan. Tunjangan Profesi Guru (TPG) yang sudah ada sejak 2008 tetap sebesar satu kali gaji pokok, tanpa tambahan kesejahteraan baru.

"Tidak ada tambahan gaji baru. Hal ini hanya misinformasi yang membuat para guru ASN merasa ada perubahan," tambah Heru.

FSGI menyoroti dampak besar dari kesalahpahaman informasi ini. Guru-guru merasa dikecewakan karena harapan yang terlanjur tinggi. FSGI meminta pemerintah segera memberikan klarifikasi resmi terkait kebijakan kenaikan gaji guru untuk meluruskan persepsi.

Selain itu, Heru menekankan pentingnya perbaikan kesejahteraan bagi guru honorer. "Kami mendukung adanya upah minimum guru yang berlaku seperti upah minimum regional bagi tenaga kerja, daripada bantuan temporer seperti BLT," kata Heru.

FSGI meminta regulasi ini diselaraskan dengan aturan lintas kementerian seperti Kemenag, Kemendagri, dan Menpan-RB agar tidak berbenturan. Selain itu, perlu mempertimbangkan dampaknya terhadap guru honorer di sekolah swasta.

Rencana mengganti beban kerja 24 Jam Pelajaran (JP) dengan diklat kompetensi perlu diatur dalam regulasi yang jelas. Hingga kini, validasi 24 JP masih tergantung pada sistem Dapodik, bukan Permendikbud, yang sering menyebabkan masalah di lapangan.

Usulan pengelolaan kinerja guru menjadi hanya sekali dalam setahun tanpa banyak unggahan dokumen mendapat dukungan. Namun, FSGI meminta aturan ini diterapkan secara tegas dari pusat hingga daerah agar tidak tumpang tindih dengan kebiasaan administrasi manual.

FSGI berharap pemerintah lebih serius dalam meningkatkan kesejahteraan guru secara berkelanjutan dan mengatasi masalah administrasi yang memberatkan.

"Kami mendesak adanya transparansi dan kejelasan regulasi untuk memastikan janji kampanye dapat terealisasi, bukan sekadar menjadi wacana," pungkas Heru.