Sebut Budaya Baru 'Jokowisme', PDIP: Penguasa dengan Segala Cara Hasilkan Pemilu Sesuai Keinginannya
JAKARTA - Ketua DPP PDI Perjuangan (PDIP) Deddy Sitorus mengungkap saat ini ada istilah budaya baru yang berkembang dalam sistem pemilihan umum atau pemilu di Indonesia. PDIP menyebutnya sebagai budaya 'Jokowisme'.
Deddy menyebut, istilah Jokowisme merupakan upaya dari Presiden ke-7 RI, Joko Widodo, sejak masih menjabat Presiden hingga tak lagi menjabat, untuk mendesain pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah sesuai kepentingannya.
Jokowi, menurut PDIP, telah menghendaki berbagai tindakan pelanggaran demokrasi yang bersifat terstruktur, sistematis, dan masif. Hal ini diungkapkan Deddy dalam konferensi pers di Kantor DPP PDIP, Menteng, Jakarta Pusat.
"Bermula pada saat seorang penguasa bernama Jokowi dengan segala cara, dengan segala kekuasaan yang dimilikinya, melakukan upaya-upaya untuk menghasilkan pemilu sesuai keinginannya. Apakah target, sasaran dari kegiatan itu adalah seluruh populasi pemilih? Sudah tentu tidak. Tetapi didesain untuk jumlah persentase yang memadai agar agenda mereka tercapai," ucap Deddy, Kamis, 28 November.
Dalam budaya Jokowisme, Deddy mengungkapkan Jokowi menggerakkan instrumen aparat kepolisian demi bisa menjalankan sisi gelap demokrasi, mulai dari intimidasi kepada masyarakat, hingga politik uang.
*Apa instrumen yang dipakai dengan politik pemilu ala Jokowisme ini? Tentu sesuatu yang sangat besar, berjaringan kuat, punya kemampuan untuk melakukan penggalangan dana, penggalangan kelompok-kelompok tertentu yang sudah menjadi pengetahuan publik. Sekarang kita mengenal 'Partai Cokelat'," jelas Deddy.
BACA JUGA:
Lebih lanjut, Deddy menekankan, "Partai Cokelat" sebagai instrumen politik yang digerakkan Jokowi memang tidak seluruhnya mencakup aparat kepolisian dan hanya oknum-oknum. Namun, ia menegaskan pergerakan ini sudah bersifat garis komando.
"Saya kira pemegang kuncinya adalah (Kapolri) Listyo Sigit. Beliau bertanggung jawab terhadap institusi yang dia kendalikan, yang dia pimpin. Yang ternyata merupakan bagian dari kerusakan demokrasi kita. Ini tanggung jawab yang saya kira harus dibebani dipikul sepanjang sejarah nanti," jelas Deddy.
Ia menekankan, pemisahan kepolisian dan TNI dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) oleh Presiden ke-5 Megawati Soekarnoputri sejatinya dilakukan untuk menjauhkan Polri dari intervensi. Namun, saat ini mereka justru dianggap kerap menyalahgunakan wewennangnya.
"Ternyata dari apa yang terjadi, dari laporan yang kami terima, dari pemahaman masyarakat banyak, bahkan termasuk di gedung DPR, justru kepolisian menjadi masalah bagi demokrasi kita. Ini sebenarnya kesempatan untuk refleksi bagi seluruh bayangkara negara di institusi kepolisian," urainya.
Dengan demikian, PDIP mendorong adanya evaluasi mendalam kepada institusi kepolisian, berkaca dari kasus-kasus penyalahgunaan kekuasaan yang terjadi selama ini.