Menuntut Persamaan Hak Guru Madrasah yang Sering Dianggap Anak Tiri
JAKARTA – Di tengah gegap gempita peringatan Hari Guru Nasional yang dirayakan setiap 25 November, ada fakta miris soal guru madrasah yang dianggap sebagai anak tiri. Kebijakan baru terkait kenaikan gaji berbasis sertifikasi terkesan kian mengecilkan jasa guru madrasah.
Hampir semua sekolah, baik negeri maupun swasta, entah sekolah umum maupun berbasis agama, memeringati Hari Guru Nasional awal pekan ini. Peringatan Hari Guru Nasional bukan hanya sebuah bentuk perayaan peran guru, tapi juga sebagai bentuk penghormatan siswa kepada guru dan ilmu yang telah diberikan serta memperingati peran penting guru dalam mengajarkan ilmu pengetahuan.
Namun perayaan Hari Guru ini boleh jadi tidak benar-benar dirayakan oleh semua tenaga pendidik. Meski sama-sama berstatus guru dengan hak dan kewajiban yang sama, pada kenyataannya pemberian hak guru madrasah tidak sama dibandingkan guru-guru lainnya.
Kebijakan teranyar dari Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah soal tambahan gaji Rp2 juta per bulan untuk guru-guru yang telah memenuhi syarat kian melebarkan kesenjangan antara guru umum dan guru madrasah.
Kelompok Pinggiran
Bukan tanpa alasan peringatan Hari Guru Nasional diselenggarakan setiap 25 November, karena di tanggah yang salam bertepatan dengan berdirinya Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) pada 1994. Tujuan didirikannya PGRI adalah untuk menghargai dan mengenang perjuangan para guru, yang telah mengabdikan diri untuk kemerdekaan dan pendidikan bangsa.
Tapi dari tahun ke tahun, tata kelola guru menjadi masalah, di antaranya adalah gaji guru yang dianggap tidak sesuai dengan beban kerja yang dipikul, apalagi para guru yang tidak berstatus ASN alias honorer.
Dalam momentum Hari Guru Nasional 2024 ini, penting untuk menyoroti secara khusus kondisi guru madrasah. Kenapa? Karena guru madrasah, menurut Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), terlihat seakan-akan sebagai kelompok pinggiran dalam percaturan kebijakan guru.
“Bisa dibilang, keberadaanya tidak begitu mendapat perhatian pemerintah. Mereka ini diperlakukan seperti anak tiri dalam sistem tata kelola guru di Indonesia,” ujar Ubaid Matraji, Koordinator Nasional JPPI.
Terkait kesejahteraan, guru madrasah bisa dikatakan menempati kasta yang paling bawah, dibandingkan dengan guru-guru di sekolah lain. Ini situasi yang aneh memang dan sudah berlangsung sejak lama.
Padahal mereka adalah sama-sama guru, memiliki hak dan kewajiban sama, namun pemberian haknya dibeda-bedakan. Rujukan kesejahteraan guru juga tertera dalam Undang-Undang Guru dan Dosen No.14 tahun 2005.
“Apalagi, jika status mereka adalah guru honorer di madrasah, beban penderitaannya pun berlipat ganda,” jelas Ubaid.
Itu baru soal kesejahteraan, belum kualitas yang juga memprihatinkan. JPPI mencatat hanya 39,2 persen jumlah guru madrasah yang sudah tersetifikasi. Padahal, berdasarkan amanah UU Guru dan Dosen Pasal 82 Ayat 2), ditegaskan bahwa 10 tahun sejak berlakunya UU ini, semua guru harus sudah tersertifikasi.
Baca juga:
- PPDB Sistem Zonasi Ingin Dihapus: Solusi atau Justru Tambah Masalah Baru dalam Pendidikan di Indonesia?
- Viral Joki Strava Muncul karena Literasi tentang Tujuan Olahraga Rendah
- Ekslusivitas dalam Olahraga Berpengaruh Buruk pada Peran Serta Masyarakat
- Bersama-sama Kawal KPK di Bawah Nakhoda Anyar Setyo Budiyanto
Setelah 19 tahun beralalu, faktanya masih dtemukan sebanyak 60,8 persen atau sebanyak 484.737 guru madrasah yang belum mengantongi sertifikat pendidik.
Padahal sertifikasi guru merupakan salah satu syarat penting untuk mengikuti Pendidikan Profesi Guru (PPG). Andai tak ada perubahan kebijakan pemerintah soal ini, daftar antrean PPG untuk guru madrasah makin mengular, diprediksi sampai 53 tahun. Panjangnya antrean PPG karena pemerintah hanya memberikan jatah kuota untuk guru madrasah rata-rata 9000 per tahun.
“Dari data ini kita bisa tahu bahwa antrian guru madrasah untuk mengikuti PPG itu lebih panjang daripada antrian haji,” kata Ubaid.
Perbaiki Tata Kelola Guru
Tak lama setelah Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Abdil Mu’ti dilantik, sejumlah organisasi guru menagih janji Presiden Prabowo Subianto yang akan menambah gaji guru sebesar Rp2 juta per bulan. Itu adalah janji politik yang terlontar saat kampanye menjelang Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024.
Ketika dikonfirmasi, Mendikdasmen Abdul Mu’ti memberikan klarifikasi yang tak mengenakkan bagi sebagian guru. Ia menyebutkan beberapa syarat untuk bisa mendapatkan tambahan gaji Rp2 juta per bulan, di antaranya adalah hanya guru bersertifikasi yang bisa mendapatkan hak tersebut.
Artinya, ‘hadiah’ ini nantinya hanya akan diberikan kepada guru-guru yang sudah tersertifikasi. Itu sebabnya, kata Ubaid, kebijakan ini hanya akan dinikmati oleh segelintir guru madrasah.
Padahal, dari 484.737 guru madarah yang berlum tersertifikasi, terdapat 455.767 (94,1 persen) guru madrasah yang berstatus non-ASN. Merekah yang paling terdampak dari sistem tata kelola guru yang belum berkeadilan ini.
Melihat masalah tersebut, JPPI mengeluarkan beberapa rekomendasi supaya tata kelola guru di Indonesia lebih berkeadilan bagi semua guru dan tidak diskriminatif kepada guru madrasah.
Pemerintah diminta membuat kebijkan satu sistem dalam tata kelola guru di Indonesia. Dengan demikian, antara guru madrasah dan non-madrasah tidak muncul kesan dibeda-bedakan.
“Perbedaan hanya pada penempatannya saja. Ada guru yang ditempatkan di sekolah biasa, ada pula yang di madrasah. Perbedaan tempat bertugas ini, hanyalah soal tempat bekerja, tapi soal hak dan kewajibannya haruslah setara dan berkeadilan untuk semua guru,” Ubaid menjelaskan.
Selain itu, Kemendikdasmen juga harus menjadi leading sector untuk merumuskan kebijakan satu sistem tata kelola guru dan serta menyusun roadmap bersama dalam rangka upaya peningkatan kualitas dan kesejahteraan guru, baik di sekolah maupun madrasah.
Terakhir, JPPI berharap organisasi profesi guru harus menjadi pilar penting dalam peningkatan kompetensi bagi para anggotanya, baik dalam bentuk pemberdayaan, pelatihan-pelatihan maupun coaching pengembangan pedagogik maupun substansi.