Sidang Korupsi Timah, Ahli Ungkap BPKP Tak Bisa Tentukan Nilai Kerugian Negara

JAKARTA – Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat kembali menggelar sidang lanjutan dugaan korupsi Tata Niaga Timah dengan terdakwa petinggi CV Venus Inti Perkasa (VIP) Thamron alias Aon Cs, Kamis 21 November.

Dalam sidang tersebut Ahli Hukum Keuangan Negara Universitas Indonesia, Dr. Dian Puji Simatupang, SH, MH dan Ahli Hukum Administrasi Negara dan Tata Negara Universitas Pancasila, Dr. Rocky Marbun, SH, MH sepakat ada kekeliruan legalitas dan prinsip dalam Kasus Korupsi Timah dengan kerugian Rp 300 Triliun tersebut.

Dian menjelaskan prinsip-prinsip dasar negara hanya menerima sesuatu yang bersifat sah sesuai aturan, baik berupa PNBP, pajak, atau iuran yang telah melalui prosedur resmi, dicatat dalam DIPA, dan masuk APBN.

"Apabila dianggap ilegal, maka harus ada bukti dan mekanisme hukum untuk mengembalikannya, termasuk pencabutan dari APBN. Dan segala aktivitas ekspor dari PT Timah pun harus dinyatakan tidak sah karena berasal dari aktivitas tidak sah," kata Dr. Dian Puji Simatupang, SH, MH saat memberi keterangan di PN Tipikor Jakarta Pusat.

Dian menyatakan dalam kasus pertambangan ilegal, meskipun terdapat pemasukan ke negara, status legalitasnya jadi tidak jelas.

"Jika terbukti ilegal, negara berpotensi menghadapi konsekuensi hukum, seperti pengembalian dana, denda, atau bunga sesuai Pasal 3 Ayat 7 UU Keuangan Negara. Oleh karena itu, penilaian kerugian negara harus dilakukan dengan hati-hati dan berdasarkan data nyata," imbuhnya.

Tak hanya itu, Dian menuturkan, PT Timah adalah anak perusahaan BUMN dan bukan BUMN, jadi tak ada kaitannya dengan kerugian negara. Lagipula yang berhak menentukan kerugian negara adalah BPK bukan BPKP.

Dikatakan perdebatan tak akan terjadi jika semua pihak sepakat bahwa kewenangan pemeriksaan dan penilaian kerugian negara hanya dimiliki oleh BPK.

"Saya telah menelusuri, dan satu-satunya dasar hukum yang jelas adalah Pasal 10 ayat 1 Undang-Undang BPK, yang menyatakan bahwa BPK memiliki kewenangan untuk menilai kerugian negara. Saya hanya berpegang pada aturan, Yang Mulia. Jika ada satu saja undang-undang yang menyatakan BPKP memiliki kewenangan untuk menilai dan menghitung kerugian negara dalam konteks ini, saya akan langsung setuju dan berhenti berdebat," sambungnya.

Ia mengatakan, sejauh ini, kewenangan BPKP hanya diatur dalam Pasal 20 Undang-Undang Administrasi Pemerintahan, yaitu untuk pencegahan kerugian negara melalui administrasi, bukan untuk penghitungan kerugian negara.

"Hal ini juga tidak diatur dalam PP 60 Tahun 2008. Maka, saya menunggu bukti konkret yang menyatakan BPKP memiliki kewenangan tersebut," pungkasnya.

Sementara Ahli Hukum Administrasi Negara dan Tata Negara, Dr. Rocky Marbun, SH, MH menyatakan kurang tepat untuk menerapkan pasal pidana apalagi pasal tipikor dalam kasus tata niaga timah ini, sebab negara malah akan mengalami kerugian.

“Mengacu pada subversi hukum administrasi, maka konsep penguasaan dan konsep kepemilikan sangat berbeda. Sehingga seharusnya terdakwa tidak dikenakan sanksi pidana namun sanksi administrasi,” ujar ahli hukum Administrasi Negara dan Tata Negara Universitas Pancasila ini.

Dikatakan, dengan diberikannya sanksi administrasi maka negara tidak dirugikan mengingat adanya denda yang dibebankan kepada para terdakwa.

“Lagipula, tindak pidana pertambangan dan Lingkungan tak dapat dimasukkan dalam ranah Tindak Pidana Korupsi, karena berdasarkan pasal 14 UU Tipikor, melanggar UU Pertambangan tidak dapat dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi," jelasnya.

Rocky menyatakan ketika ada kesepakatan antara anak perusahaan BUMN dan pihak swasta dalam bentuk tertulis, maka kesepakatan itu berlaku sah dan perjanjian itu levelnya sama dengan UU bagi para pihak dan negara tidak bisa ikut campur dalam perjanjian itu.

“Apalagi dalam Yurisprudensi Makamah Agung Nomor 4 Tahun 2018 disebutkan bahwa sengketa yang muncul karena pelanggaran perjanjian adalah ranah perdata, kecuali memang didasari itikad buruk. Tak hanya itu PT Timah sendiri bukanlah BUMN, tapi anak perusahaan BUMN yang dikuatkan oleh tiga putusan terkait status PT Timah. Pertama Putusan Pengadilan Tinggi Pangkal Pinang, Kedua Putusan Pengadilan Tinggi Bangka Belitung dan terakhir putusan Makamah Konstitusi yang semuanya menyatakan PT Timah bukan perusahaan BUMN,” ujar jebolan Program Doktoral Ilmu Hukum Universitas Jayabaya ini.

Selain kedua Ahli di atas, Penasihat Hukum Terdakwa turut menghadirkan Ahli Hukum Bisnis dan Dagang dari Universitas Pelita Harapan, Dr. Jonker Sihombing, SH, SE, MH, yang memberikan pendapatnya mengenai perjanjian sewa menyewa antara anak perusahaan BUMN sebagai pemegang dengan perusahaan swasta yang merupakan hubungan keperdataan yang sah secara hukum.

"Perjanjian itu dilakukan secara sah, berlaku sebagai Undang-Undang bagi yang membuatnya. Artinya kalau kedua belah pihak sepakat dengan penetapan harga sewa menyewa itu, whatever the price, whats wrong?" ujarnya.

Selain itu, Dr Jonker menyinggung terkait tanggung jawab hukum dari Pesero Komanditer dalam Persekutuan Komanditer (CV).

"Yang menambahkan modal pesero pasif, Pesero Komanditer hanya memasukkan uang/modal, tidak boleh mengurus perusahaan dalam bentuk apapun. Pesero Komanditer tidak bertanggung jawab dan tidak dilibatkan pertanggungjawaban. Jika dia ikut mengurus secara legal, maka dia memiliki tanggung jawab perdata, ikut tanggung renteng" jelasnya.

Dr. Jonker juga menegaskan bahwa dalam Hukum Perdata dan Hukum Dagang tidak mengenak istilah "beneficial ownership", yang ada hanyalah besitter.