JAKARTA - Terdakwa Harvey Moeis selaku perpanjangan tangan PT Refined Bangka Tin (RBT) mengaku dirinya, keluarganya, maupun terdakwa lainnya dalam kasus timah tidak pernah punya, melihat, bahkan menikmati uang korupsi senilai Rp300 triliun.
"Angka itu 10 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) kita mungkin, jadi saya mohon izin klarifikasi kepada masyarakat Indonesia bahwa kami tidak pernah menikmati uang sebesar itu," ungkap Harvey saat membacakan nota pembelaan (pleidoi) dalam persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta dilansir ANTARA, Rabu, 18 Desember.
Harvey merasa janggal dengan perhitungan ahli Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) terkait dengan kerugian negara dalam kasus dugaan korupsi timah. Apalagi, dalam sidang pemeriksaan beberapa waktu lalu, ahli yang menghitung kerugian negara tersebut tidak profesional.
Sikap tidak profesional dimaksud, antara lain, dengan kesaksian ahli yang dimulai dengan kalimat ketidakpedulian terhadap kondisi penambangan liar di Bangka Belitung.
Ahli menurut Harvey juga malas menjawab saat terdakwa, penasihat hukum, masyarakat, hingga majelis hakim ingin menggali keterangannya di persidangan.
Begitu pula, lanjut dia, ketika pihaknya memohon hasil perhitungan ahli untuk lebih diteliti. Saat itu permohonan tersebut ditolak mentah-mentah.
"Sungguh sangat tidak etis untuk seorang ahli profesor," ucap dia.
Maka dari itu, hingga saat ini Harvey mengaku masih sangat bingung asal dari perhitungan kerugian negara sebesar Rp300 triliun dalam kasus timah.
Dirinya menilai auditor, jaksa, maupun masyarakat Indonesia sudah terkena prank oleh ahli tersebut.
"Saya yakin majelis hakim tidak akan bisa di-prank oleh ahli," tutur Harvey.
BACA JUGA:
Dalam kasus dugaan korupsi pengelolaan tata niaga komoditas timah di wilayah izin usaha pertambangan (IUP) PT Timah Tbk. pada tahun 2015–2022, Harvey dituntut untuk dijatuhkan pidana penjara selama 12 tahun serta pidana denda sejumlah Rp1 miliar dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar, diganti dengan pidana kurungan selama 1 tahun.
Selain itu, Harvey juga dituntut agar dikenai pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti sebesar Rp210 miliar subsider pidana penjara selama 6 tahun.