Dipisahkan Qunut Disatukan Tambang dan Berakhir Digugat
JAKARTA - Tujuh bulan lalu, Menteri Investasi Bahlil Lahadalia diduga terlibat dalam urusan perizinan tambang. Tudingan mulai terima suap senilai Rp 25 miliar hingga memberikan konsensus tambang pada ormas keagamaan jatuh kepada pria kelahiran Banda, Maluku. Kini, pembagian izin tambang tersebut dinilai sejumlah tokoh dan organisasi masyarakat sipil bermuatan dengan transaksi politik.
Bahlil Lahadalia yang lahir pada 7 Agustus 1976 yang menganggap Presiden ke-tujuh Jokowi sebagai abangnya itu diberikan kewenangan super sebagai Ketua Kepala Tugas Penataan Penggunaan Lahan dan Penataan Investasi (Satgas Investasi). Dengan posisi yang sangat strategis tersebut, maka dia dengan mudah menghidupkan atau mematikan ijin usaha pertambangan (IUP) yang tersebar di seluruh Indonesia.
Kedekatan Bahlil Lahadalia dengan Jokowi dapat dibuktikan dari pergantian posisi Menteri ESDM Arifin Tasrif di sisa waktu Pemerintahan kurang dari dua bulan. Anggota Komisi VII DPR RI, Mulyanto, menilai dalam kurun waktu kurang dari dua bulan pembahasan program strategis Kementerian ESDM tidak akan tuntas. Karena itu Mulyanto menyebut pergantian menteri kali ini sebagai pekerjaan yang sia-sia dari sisi kinerja dan lebih kuat pada bobot politiknya.
Baca juga:
“Itu langkah bongkar-pasang yang kurang tepat. Apa yang bisa diharapkan dari menteri baru secara struktural dalam waktu kurang dari dua bulan. Pembahasan dengan DPR juga hanya tinggal satu masa sidang lagi. Jadi ini murni bersifat politis," ujar Mulyanto, Selasa, 20 Agustus.
Mulyanto menjelaskan, dari sisi perundangan, di ujung masa pemerintahan ini, pekerjaan rumah yang tersisa yang harus dituntaskan Menteri ESDM adalah RUU EBET, PP Kebijakan Energi Nasional (KEN), dan RUU Migas. Mulyanto juga menanyakan apakah dengan waktu yang sedikit semua regulasi bisa diselesaikan. Politisi PKS ini menegaskan jika Jokowi seperti presiden yang kurang kerjaan.
“Apa regulasi ini bisa diselesaikan kalau tiba-tiba berganti Menteri. Menurut saya justru akan semakin molor. Tidak perlu lah reshuffle sekarang. Presiden seperti kurang kerjaan,” tambah Mulyanto.
Tak hanya itu Mulyanto yang merupakan orang pertama bersuara terkait adanya dugaan praktik penyalahgunaan wewenang dari pencabutan izin usaha pertambangan (IUP) yang dilakukan oleh Bahlil. Dia menduga Bahlil telah mencabut lebih dari 2.000 IUP dalam kapasitasnya sebagai Kepala Satuan Tugas Penataan Penggunaan Lahan dan Penataan Investasi. Menurutnya, sebanyak 90 dari 2.000 IUP tersebut telah kembali diaktifkan, tetapi dengan cara yang berbelit.
“Dari 2.000 lebih IUP yang dicabut, ada lebih dari 90 yang kembali dihidupkan. Informasi (yang kami terima, diaktifkan) dengan cara yang berbelit-belit,” ujar Mulyanto kepada VOI, Senin, 18 November.
Selain itu, Mulyanto menyatakan bahwa Komisi VII DPR kerap menerima laporan dari asosiasi pertambangan nikel yang memberikan laporan tentang banyaknya izin usaha tambang yang dicabut tanpa alasan jelas. “Ya ini menjadi perbincangan secara internal di Komisi VII DPR RI Hal ini tentu memunculkan tanda tanya besar dan kecurigaan,” ujarnya.
Politisi PKS itu menyatakan bila secara kelembagaan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) seharusnya adalah pihak yang lebih memiliki kewenangan untuk memberikan dan mencabut IUP. Hal ini termaktub dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba).
Bagi-bagi Izin Tambang Mudahkan Transaksi Politik?
Senada dengan Mulyanto, Anggota Komisi VI DPR dari Fraksi PDIP, Dedi Sitorus mempertanyakan Menteri Bahlil perihal pemberian Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK) kepada Ormas Keagamaan didasarkan hasil perjuangan ormas tersebut. Namun ada organisasi-organisasi lain yang juga berjuan untuk Indonesia.
"Kemudian saya terpikir kan banyak pihak lain yang berjuang berdarah-darah untuk Republik kita. Di mana Legion Vetera Republik Indonesia yang tidak dapat bulanan, mereka menderita," ungkap Dedi dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) di Gedung DPR, pertengahan Juni.
Dua Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) Keagamaan terbesar di Indonesia secara resmi menyatakan minatnya mengelola Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK) yang diberikan oleh pemerintahan Presiden RI Joko Widodo (Jokowi). Dua Ormas Keagamaan itu adalah Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah.
Sejatinya, masih ada beberapa Ormas Keagamaan lain yang ada di Indonesia, diantaranya adalah Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) dan juga Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia. Meski demikian, kedua ormas tersebut belum menyatakan ketertarikannya untuk mengelola sektor pertambangan.
Namun, pemberian izin pertambangan kepada ormas keagamaan dinilai rentan menjadi arena transaksi politik. Hal ini dikuatkan oleh pengajuan gugatan permohonan uji materi ke Mahkamah Agung oleh sejumlah tokoh dan organisasi masyarakat sipil. Permohonan uji materi Peraturan Pemerintah 25/2024. Beleid yang digugat itu berisi pemberian prioritas izin tambang bagi ormas keagamaan. Judicial review ini diajukan ke Mahkamah Agung pada Selasa, 1 Oktober 2024.
Tim Advokasi Tolak Tambang mendalilkan bahwa PP 25/2024 bukan hanya cacat secara hukum. Aturan tersebut berpotensi menjadi arena transaksi politik. Pemberian izin tambang tanpa lelang itu disebut menyalahi pasal 75 ayat (3) dan ayat (4) Undang-Undang 3/2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara.
Gugatan ini diajukan 18 pemohon yang terdiri dari enam kelembagaan dan 12 perorangan. Tim Advokasi Tolak Tambang menyatakan, ingin menyelamatkan ormas keagamaan dari pusaran energi kotor pertambangan. Dengan demikian, ormas keagamaan dapat kembali kepada khittahnya serta menjaga kelestarian lingkungan hidup dari kerusakan.
"Kita harus menyelamatkan ormas keagamaan ini. Kalau dibiarkan, akan menjadi preseden buruk. Lahan tambang akan selalu dijadikan alat transaksi untuk pembungkaman politik oleh pemerintah," terang M Raziv Barokah, perwakilan kuasa hukum para pemohon, melalui keterangan tertulis.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia menyampaikan bahwa keputusan pemerintah untuk memberikan Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK) kepada Nahdlatul Ulama (NU), salah satu organisasi masyarakat (ormas) keagamaan terbesar di Indonesia, digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Hal tersebut ia sampaikan pekan lalu dalam Rapat Kerja bersama Komisi XII, DPR RI. "Kalau menyangkut dengan Mahkamah Konstitusi itu terkait dengan organisasi kemasyarakatan yang kita sudah kasih ke salah satu dari antaranya, NU. Itu yang digugat," kata Bahlil Lahadalia, Kamis. 14 November.
Bahlil, menilai kebijakan pemberian izin tambang menuai perhatian lantaran adanya perbedaan pandangan terkait peruntukan WIUPK yang sebelumnya lebih terbatas pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD).
"Jadi yang berhak untuk mendapatkan prioritas itu cuma selama ini dikunci di pasal 76 itu tentang hanya BUMN dan BUMD. Tetapi kemudian oleh Dirjen dan orang hukum di pemerintahan itu kemudian diuji. Itu bukan tanpa diskusi, Pak," ujarnya.
Bahlil Lahadalia juga meminta dukungan Komisi XII DPR RI untuk membentuk Direktorat Jenderal Penegakan Hukum di lingkungan Kementerian ESDM.
"Tapi saya minta tolong Bapak Ibu semua agar tolong dukung ini Dirjen Gakkum, tolong dukung sekali karena pasti rayuannya, godaannya banyak ini Dirjen. Ini saya jujur aja. Jadi saya juga minta, kalau kita mau commit, kita buat barang ini bagus, ayo," ujar Bahlil