Peneliti Asing Jadi Alasan BPOM Tolak Vaksin Nusantara
JAKARTA - Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Penny K. Lukito mengungkap alasan pihaknya urung memberikan izin Persetujuan Pelaksanaan Uji Klinik (PPUK) uji klinis fase II terhadap vaksin nusantara yang diprakarsai oleh mantan menteri kesehatan Terawan Agus Putranto.
Penny mengaku pihaknya menemukan banyak kejanggalan saat proses validitas data. Sehingga BPOM tak memberikan lampu hijau karena vaksin nusantara dinilai tak lolos kaidah dan etika penelitian.
Seperti, dalam hasil kajian dan inspeksi pada penelitian uji klinis fase I, konsep vaksin nusantara yang diklaim karya anak bangsa, ternyata tim penelitinya didominasi orang asing. Bahkan, komponen pembuatan vaksin sel dendritik kebanyakan didapat dari komponen impor yang mahal.
“Dalam hasil uji klinis vaksin I ini pembahasannya tim peneliti asing lah yang menjelaskan, yang membela dan berdiskusi, yang memproses, pada saat kita hearing. Dan terbukti proses pelaksanaan uji klinis, proses produksinya semua dilakukan tim peneliti asing tersebut,” ungkap Penny dalam keterangannya, Kamis 8 April.
Tim peneliti asing itu, lanjut Penny, merupakan anggota dari pihak sponsor AIVITA Biomedical asal Amerika Serikat. Ia juga membeberkan, bahwa tim peneliti Universitas Diponegoro dan RSUP dr. Kariadi Semarang tak banyak andil dalam proses uji klinis I vaksin nusantara ini.
“Memang ada training para dokter di RSUP Kariadi tersebut, Tapi mereka hanya menonton, tidak melakukan langsung, karena dalam pertanyaan juga mereka tidak menguasai,” jelasnya.
Baca juga:
Selain itu, kata Penny, komponen yang digunakan dalam penelitian uji klinis fase I itu, sebenarnya tak layak masuk dalam tubuh manusia, sebab komponen bukan termasuk farmasi grade.
“Bahwa ada komponen yang betul-betul komponen impor dan itu tidak murah, plus ada satu lagi pada saat pendalaman didapatkan antigen yang digunakan tidak dalam kualitas mutu untuk masuk dalam tubuh manusia,” terang Penny.
Penny menuturkan, konsep vaksinasi dendritik ini akan dilakukan di tempat terbuka. Padahal sudah seharusnya aktivitas yang memanfaatkan dendritik dilakukan steril dan tertutup.
"Cara kerjanya setiap orang akan diambil sampel darahnya untuk kemudian dipaparkan dengan kit vaksin yang dibentuk dari sel dendritik. Kemudian sel yang telah mengenal antigen akan diinkubasi selama 3-7 hari," tuturnya.
Lalu hasilnya akan diinjeksikan ke dalam tubuh kembali. Di dalam tubuh, sel dendritik tersebut diharapkan akan memicu sel-sel imun lain untuk membentuk sistem pertahanan memori terhadap Sars Cov-2.
“Artinya harus ada rentetan validasi yang membuktikan bahwa produk tersebut sebelum dimasukkan ke subjek benar-benar steril, tidak terkontaminasi, dan itu tidak dipenuhi,” pungkas Penny.