Donald Trump Terpilih jadi Presiden AS, Rupiah Diprediksi Lesu ke Rp16.000 per Dolar

JAKARTA - Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira mengatakan terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat (AS) akan membuat nilai tukar rupiah akan terus mengalami tekanan, dengan kemungkinan berada di atas Rp16.000.

Menurut Bhima hal tersebut terlihat bahwa investor asing cenderung menarik dana dari pasar negara berkembang, termasuk Indonesia. Dimana pada 6 November 2024 penjualan bersih saham oleh investor asing mencapai angka yang cukup besar, yakni Rp1,5 triliun.

"Proyeksi rupiah berada di atas Rp16.000 dalam waktu yang singkat. Karena Trump effect juga membuat investor menarik dana dari pasar negara berkembang dan ini terlihat misalnya pada tanggal 6 November 2024, net sales atau penjualan bersih saham oleh investor asing itu tembus Rp1,5 triliun," ujarnya kepada VOI, Kamis, 7 November.

Bhima menyampaikan hal ini mengindikasikan bahwa lebih banyak investor yang keluar dari pasar saham Indonesia dan mencari instrumen yang dianggap lebih aman, salah satunya adalah dolar Amerika Serikat dan Emas yang mengalami kenaikan harga yang cukup signifikan. 

Selain itu, kebijakan proteksionisme yang diterapkan oleh Trump, termasuk tarif tinggi pada sejumlah barang, berpotensi memperburuk prospek permintaan komoditas Indonesia ke pasar China dan Amerika Serikat. Ini bisa menyebabkan penurunan permintaan produk-produk unggulan Indonesia, seperti komoditas dan barang-barang industri, dalam jangka menengah.

"Paling nggak selama Trump menjabat akan terjadi pelemahan permintaan dari berbagai jenis komoditas dan juga produk industri dari Indonesia, terutama ke pasar dua negara ini, China dan Amerika," jelasnya. 

Selain itu, Bhima menyampaikan pasar Amerika Serikat bagi Indonesia tak dapat dipandang sebelah mata. Meskipun China saat ini menjadi tujuan ekspor utama Indonesia dan AS masih merupakan mitra perdagangan yang strategis dengan kontribusi yang signifikan.

Adapun dalam kepemimpinan Trump sebelumnya, Indonesia bahkan tidak mendapatkan manfaat dari relokasi industri yang terjadi akibat perang dagang Amerika-China. Negara-negara seperti Vietnam, Malaysia, Thailand, dan Kamboja justru memperoleh keuntungan besar dari relokasi tersebut, sementara Indonesia tidak mendapatkan alokasi industri yang signifikan.

"Artinya kemenangan Trump ini sinyal yang buruk bagi ekonomi Indonesia. Terutama karena memang Amerika masih jadi mitra perdagangan yang tradisional, masih tetap porsinya cukup besar," tuturnya. 

Selain itu, kebijakan ekstrem Trump diprediksi akan mengganggu kelanjutan program Inflation Reduction Act (IRA) yang juga menambah kekhawatiran. Khususnya, ada potensi penurunan permintaan terhadap nikel olahan dari Indonesia, yang dapat mengganggu prospek hilirisasi industri Indonesia di masa depan.

"Jadi memang kita harus menyikapi ini secara hati-hati, karena kalau kebijakan ekstrim Donald Trump, termasuk soal EV yang tidak akan melanjutkan Inflation Reduction Act-nya Joe Biden, IRA-nya tidak dilanjutkan, maka ada khawatiran permintaan nikel olahan dari Indonesia juga akan anjlok. Sehingga ini akan mengganggu prospek hilirisasi Indonesia ke depan," jelasnya.