Wacana Sekolah Swasta Gratis di Jakarta, Semoga Bukan Kebijakan Populis
JAKARTA – Rencana sekolah swasta gratis untuk tingkat SD, SMP, dan SMA di Jakarta menjadi pembicaraan hangat belakangan ini. Ubaid Matraji, Koordinator Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), menegaskan biaya pendidikan jelas menjadi tanggung jawab pemerintah karena tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945.
DPRD DKI Jakarta telah menyepakati bahwa sekolah SD, SMP, dan SMA negeri serta swasta akan bebas biaya alias gratis mulai tahun ajaran 2025/2026 mendatang. Hal itu ditandai nota kesepahaman atau Memorandum of Understanding (MoU) antara Pj Gubernur DKI Jakarta Teguh Setyabudi dan Ketua DPRD DKI Jakarta Khoirudin bersama tiga wakil lainnya, yaitu Ima Mahdiah, Rany Mauliani, dan Basri Baco.
"Sudah disepakati ke depan, sekolah gratis untuk di sekolah negeri swasta," kata Khourudin dikutip dari laman resmi DPRD DKI Jakarta, Senin (4/11/2024). Khoirudin menjelaskan, penandatanganan MoU ini sebagai bentuk komitmen untuk memastikan setiap alokasi anggaran sejalan dengan visi dan misi pemerintah daerah, serta menjawab kebutuhan masyarakat.
Pendidikan adalah Hak Warga Negara
Sekolah gratis, baik swasta maupun negeri, sudah sejak lama menjadi impian masyarakat sejak lama. Harapan agar sekolah swasta bebas biaya makin menjadi ketika penerimaan peserta didik baru atau PPDB menerapkan sistem zonasi sejak 2017.
Calon siswa yang tidak diterima di sekolah negeri terpaksa melanjutkan sekolah ke swasta dengan biaya yang cukup mahal. Padahal menurut Koordinator Nasional JPPI Ubaid Matraji, biaya sekolah di Indonesia sampai sekarang masih menjadi beban ekonomi masyarakat. Bahkan penyebab utama siswa putus sekolah didominasi karena faktor ekonomi.
Menurut Survei Sosial Ekonomi Nasional atau Susenas dari Badan Pusat Statistik (BPS) 2021 menunjukkan sebanyak 76 persen keluarga mengakui anaknya putus sekolah karena alasan ekonomi. Dari angka tersebut, sebagian besar (67 persen) di antaranya tidak mampu membayar biaya sekolah, sedangkan sisanya, 8,7 persen, terpaksa mencari nafkah.
Penelitian Arus Survey Indonesia (ASI) 2023 pun menyatakan hal senada. Dalam penelitian tersebut disebutkan ada tiga pokok persoalan yang dihadapi warga, yaitu harga kebutuhan pokok yang mahal (23,4 persen), biaya pendidikan mahal (20,1 persen), dan susah mencari lapangan pekerjaan (18,6 persen).
Bahkan dari data JPPI sejak Januari 2022 sampai Juni 2024, ada 1.479 kasus pendidikan yang berkaitan dengan beban biaya ekonomi keluarga. Kasus tertinggi sebesar 41 persen adalah ijazah ditahan sekolah lantaran tak mampu melunasi tunggakan.
Kata Ubaid, penahanan ijazah tidak hanya terjadi di sekolah swasta, tapi juga banyak ditemukan di sekolah negeri.
Berikutnya kasus putus sekolah karena tak punya biaya sebanyak 27 persen, orangtua siswa terjerat pinjaman online untuk menutupi biaya sekolah (18 persen), tidak boleh ikut ujian karena belum bayar tagihan sekolah (9 persen), dan juga ditemukan kasus anak-anak yang jadi korban perundungan dan intimidasi di sekolah karena tidak membayar pungutan (5 persen).
Ubaid menyayangkan faktor ekonomi masih menjadi salah satu penyebab masyarakat kesulitan mengakses pendidikan. Padahal, sekolah bebas biaya merupakan mandat dari Pasal 31 UUD 1945 yang menyatakan setiap warga negara berhak mendapat pendidikan, dan pemerintah wajib membiayainya.
“Amanah konstitusi ini, dipertegas lagi dalam Pasal 34 UU Sisdiknas, bahwa pemerintah dan pemerintah daerah menjamin terselenggaranya pendidikan tanpa memungut biaya,” kata Ubaid.
Solusi Kekurangan Kursi
Koordinator Nasional Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) Satriwan Salim mengapresiasi wacana sekolah swasta gratis. Namun ia berharap pemerintah harus menjamin sekolah swasta yang digratiskan memiliki kualitas yang baik, mulai dari guru hingga sarana dan prasarananya.
“Kebijakan menggratiskan sekolah negeri dan swasta di Jakarta patut diapresiasi, meskipun ini kebijakan yang populis,” kata Satriwan ketika dihubungi VOI.
“Tapi harus betul-betul dijamin juga semuanya, jadi tidak hanya sekadar sekolah gratis. Mulai gurunya harus kompeten, sarana dan prasarana, serta lingkungan belajar yang baik,” ia menambahkan.
Masih kata Satriwan, pemerintah juga perlu memperjelas kriteria sekolah swasta yang gratis supaya tidak membingungkan masyarakat. Ia menjelaskan, secara sosiologis sekolah swasta dibagi tiga kasta. Pertama adalah sekolah swasta elite dengan biaya sangat mahal, kedua swasta kelas menengah, dan terakhir adalah sekolah swasta yang bermasalah secara finansial.
“Yang ketiga ini biasanya gaji guru tidak layak, bahkan di bawah UMP, fasilitas yang tidak memadai, dan lain sebagainya. Nah yang mau digratiskan ini yang mana?” ucap Satriwan.
Terkait itu, Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Dinas Pendidikan DKI Jakarta Purwosusilo menuturkan bahwa program sekolah swasta gratis tidak hanya bebas Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP), uang pangkal dan uang masuk saat pendaftaran, tetapi juga kebutuhan peralatan peserta didik.
Baca juga:
Namun, tidak semua sekolah swasta di Jakarta akan digratiskan oleh pemerintah. Sekolah-sekolah swasta di Jakarta sudah dipetakan berdasarkan kualitas dan biaya dengan skema tingkatan atau klister dari klaster satu sampai lima.
Sekolah swasta yang akan menjadi target pemerintah untuk program sekolah swasta gratis, kata Purwosusilo, adalah klaster satu sampai tiga. Sementara klaster empat dan lima dinilai sebagai sekolah swasta elite tidak masuk dalam program ini.
Terlepas dari keraguan tersebut, Satriwan sepakat bahwa sekolah swasta gratis bisa menjadi solusi terhadap keterbatasan kursi di sekolah negeri. Fenomena rebutan kursi di sekolah negeri terjadi karena ketidaksesuaian antara jumlah peserta didik dan sekolah.
Menurut Satriwan, jumlah sekolah negeri di Indonesia umumnya seperti piramida, semakin tinggi jenjangnya, semakin sedikit jumlahnya.
“Ini salah satu solusi mengatasi keterbatasan kursi. Tapi dengan jaminan guru di sekolah swasta itu harus berkualitas. Karena faktanya, kualitas guru selalu berkorelasi dengan kesejahteraan guru itu sendiri,” kata Satriawan.