Kurangi Kebiasaan Merokok Bantu Pekerja Terhindar dari Stres
JAKARTA - Pendekatan yang mendalam agar para pekerja tidak melakukan kebiasaan berisiko yang sifatnya coping mechanism seperti kebiasaan merokok rupanya bantu menghindari risiko stres. Setidaknya hal itu dikatakan oleh Psikolog Sukmayanti Rafisukmawan.
"Secara bertahap, misalnya mengurangi kebiasaan merokok dengan menggunakan produk-produk yang jauh lebih rendah risiko, seperti produk tembakau alternatif dan sambil terus melakukan konseling dengan psikolog. Intinya adalah bisa menstabilkan," kata Sukmayanti Rafisukmawan dalam keterangan di Jakarta, Rabu.
Dia mengatakan bagi para perokok dewasa yang mengalami kesulitan berhenti merokok secara langsung, dapat mengedepankan upaya pengurangan risiko dengan cara beralih melalui penggunaan produk tembakau alternatif.
"Jika berhenti langsung ternyata tidak berhasil dan tetap dipaksakan, akan menimbulkan kecemasan yang berlebih, sehingga berdampak pada menurunnya tingkat konsentrasi, suasana hati mudah berubah, dan rentan emosi. Ujungnya kemungkinan besar terjadi relaps," kata Sukmayanti.
Senada dengan Sukmayanti, Spesialis Gizi Klinik, Andry Kelvianto mengatakan mengurangi kebiasaan buruk akibat stres perlu dilakukan secara bertahap. Strategi tersebut, menurut dia, dapat juga diterapkan untuk mengurangi risiko dari kebiasaan merokok.
"Kita ganti menggunakan produk yang secara penelitian lebih rendah risiko, sehingga tidak menghilangkan beberapa kebutuhan yang bisa dimanfaatkan seseorang untuk menurunkan stres. Jadi, seseorang tidak merasa terlalu berat karena tidak berubah 180 derajat. Itu salah satu pengurangan risiko yang bisa kita lakukan," tuturnya.
Baca juga:
Sementara dr Puspita Tri Utami selaku perwakilan dari Direktorat Kesehatan Jiwa Kementerian Kesehatan mengatakan stres pada pekerja bisa berdampak pada aspek psikologis dan fisiologis.
Secara psikologis, stres bisa memicu depresi, psikosomatis, hingga masalah kejiwaan.
Sementara dari sisi fisiologis, stres bisa menimbulkan berbagai masalah kesehatan mulai dari kardiovaskular, diabetes melitus, muskuloskeletal, sakit kepala, hingga gangguan imunitas.
"Kesehatan jiwa dan kesehatan fisik sangat berkaitan, karena hormon kortisol bisa menyebabkan gangguan-gangguan fisik, sehingga kita harus menjaga kesehatan mental," kata Puspita.