Gugat Keabsahan Pansel KPK, MAKI Ungkit Pengalaman Yusril "Lolos" Kasus di Kejagung
JAKARTA - Koordinator Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman mengungkit pengalaman Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra yang "lolos" dari penetapan Kejaksaan Agung (Kejagung) akibat ketidaksahan Jaksa Agung Hendarman Supanji.
"Dulu, beliau (Yusril) tersangka di Jaksa Agung. Terus menyatakan penetapan tersangka tidak sah, karena apa? Karena ditetapkan oleh Jaksa Agung yang tidak sah karena tidak dilantik," ujar Boyamin ketika ditemui di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Selasa 5 November, disitat Antara.
Pada 2010, Yusril ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi Sistem Administrasi Badan Hukum Kementerian Hukum dan HAM.
Yusril lantas menunjukkan bukti terkait masa jabatan Jaksa Agung Hendarman Supanji di Badan Reserse dan Kriminal Mabes Polri.
Bukti yang ia tunjukkan meliputi Undang-Undang Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan RI, Kepres Nomor 187 tahun 2004, Kepres Nomor 31 tahun 2007, dan Kepres Nomor 83 tahun 2009.
Yusril mengatakan, ketiga kepres itu menunjukkan Hendarman sudah habis masa jabatannya sebagai Jaksa Agung sejak 20 Oktober 2009.
Hingga Yusril ditetapkan sebagai tersangka, Hendarman tidak pernah diangkat lagi oleh presiden dan tidak pernah mengucap sumpah jabatan sebagai Jaksa Agung.
"Jadi, pernah ada kejadian begitu. Tersangka bisa mengajukan gugatan atas tidak sahnya pimpinan di suatu lembaga," ujar Boyamin.
Oleh karena itu, ia mengajukan uji materi atau judicial review ke MK terkait keabsahan panitia seleksi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dibentuk oleh Presiden Ke-7 RI Joko Widodo (Jokowi).
Boyamin mengajukan Permohonan Pengujian Materiil Pasal 30 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terhadap Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1, 2, 3), dan Pasal 28I ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Boyamin merujuk pada Putusan MK dengan nomor perkara 112/PUU-XX/2022 yang mengubah masa jabatan pimpinan KPK dari empat tahun menjadi lima tahun.
"Itu dalam pertimbangannya disebutkan bahwa presiden itu hanya boleh sekali menyeleksi pimpinan KPK, dan ditulis juga di situ Pak Jokowi sudah melakukan (seleksi) tahun 2019," ucap dia.
Baca juga:
- Keberadaan Paman Birin Tak Diketahui Usai Jadi Tersangka dan Dicegah ke Luar Negeri
- Hukuman Mardani Maming Berkurang Jadi 10 Tahun Penjara usai MA Kabulkan PK
- Rencana Sowan ke Jokowi, Pramono: Kalau Ketemunya Habis Pak RK, Disangkanya Saya Buntutin
- Apa Peran TikToker Gunawan 'Sadbor' di Kasus Promosi Judi Online?
Oleh karena itu, menurut dia, pimpinan KPK untuk periode 2024–2029 itu seharusnya diseleksi dan/atau diserahkan kepada DPR dan Presiden Periode 2024–2025, dalam hal ini Prabowo Subianto.
"Jadi ini bahasanya ga enaknya saya menjaga Pak Prabowo, gitu lah," kata Boyamin.
Dengan kejelasan konstitusional terkait keabsahan panitia seleksi capim KPK yang dibentuk oleh Presiden Ke-7 RI Jokowi, Boyamin meyakini hal tersebut dapat mengurangi risiko gugatan dari para tersangka KPK terkait penetapan pimpinan.
"Saya hanya menjaga pemberantasan korupsi ini sesuai relnya, dipilih dan dibentuk secara sah dan sehingga meminimalkan gugatan-gugatan di masa yang akan datang," kata Boyamin.