Woodstock dan Festival Lain yang Berujung Bencana
Bagian dari Tulisan Seri khas VOI, "Mengusik Gelaran Musik". Dalam artikel "Awan Gelap di Musim Semi Gelaran Musik", kita telah membahas kekacauan sejumlah gelaran musik dalam 30 hari belakangan. Lewat artikel ini, kita lihat kekacauan-kekacauan lainnya. Jangan-jangan, kacau memang bagian dari sejarah gelaran musik di dunia.
Barangkali, tak akan ada gelaran musik yang dapat mengalahkan kebesaran Woodstock Festival, sebagaimana kemungkinan tak akan ada yang lebih kacau dari festival musik legendaris itu. Melihat gelaran terakhir di tahun 1999. Woodstock Festival tahun itu bahkan dikenang sebagai "hari kematian dekade 90-an."
Membawa semboyan "Peace, Love, and Happiness", Woodstock '99 berambisi mengembalikan muruah kejayaan Woodstock 1969. Deretan musisi super masuk ke daftar penampil. James Brown, Rage Against The Machine, Ice Cube, Metallica, Willie Nelson, Elvis Costello, hingga kuartet energik asal California, Red Hot Chilli Peppers membuat ambisi itu terlihat tak main-main.
Pangkalan Angkatan Udara Griffiss dipilih sebagai tanah kesenangan. Diperkirakan, lebih dari 200 ribu orang memadati lokasi tersebut. Pangkalan Angkatan Udara Griffiss terletak di Roma, New York, berjarak sekitar dua jam dari lahan sewaan milik Max Yasgur, tempat Woodstock pertama kali diselenggarakan. Kondisi cuaca dan minimnya logistik jadi bibit kekacauan.
Alih-alih bersenang-senang, pesta yang digelar selama tiga hari --dimulai 22 Juli-- itu berubah jadi upaya bertahan hidup massal. Di bawah sengatan matahari, air kemasan dan makanan dijual mahal dengan persediaan terbatas. Pizza, misalnya yang dijual dengan harga 12 dolar AS. Hal itu menyebabkan para penonton gelap mata. ATM jadi sasaran pencurian.
Seperti mewarisi kekacauan Woodstock '69, gelaran kali itu juga menimbulkan perkara soal buang air. Toilet-toilet banjir. Kerusakan yang membuat manusia hari itu berubah makin liar. Kebutuhan air membuat para penonton mensabotase pipa-pipa penyalur untuk memenuhi kebutuhan mereka masing-masing. 500 personel kepolisian New York State Troopers yang ditempatkan di lokasi tak dapat berbuat banyak.
Woodstock
Tragedi Woodstock '99 dimulai kala Limp Bizkit naik panggung. Empat pemerkosaan terjadi sepanjang penampilan unit rap rock asal Florida, Amerika Serikat itu. Salah satu di antaranya dilaporkan sebagai pemerkosaan berkelompok.
Selanjutnya, api berkobar. Aksi menyalakan lilin yang rencananya dilakukan untuk mengiringi aksi Red Hot Chilli Peppers malah berubah jadi aksi bakar-bakaran, termasuk menara pengeras suara yang jadi sasaran. Pada menit-menit berikutnya, penjarahan makin jadi. Para penonton makin kabur dalam kekalapan.
Dalam tiga hari penyelenggaraan Woodstock '99, polisi menangkap 44 orang. Sementara, 1.200 lain harus mendapat perawatan medis. "Saya pikir ingatan orang (tentang Woodstock ‘99) yaitu sekelompok pemuda yang menari mengitari api, justru lebih dramatis dari kejadian sebenarnya," tutur sang promotor, Michael Lang dalam wawancara bersama Billboard di tahun 2009.
"Masalah yang terjadi di Woodstock meletus setelah band terakhir selesai tampil dan hanya seratusan penonton yang terlibat kerusuhan tersebut. Saya rasa sudah jelas akibat dari peristiwa ini,” tambah Lang.
Tak ada korban jiwa dalam Woodstock '99. Namun, segala kekacauan itu justru menarik ingatan untuk kembali ke 30 tahun sebelumnya, ketika Woodstock '69 digelar. Gelaran Woodstock tahun itu terdengar amat luar biasa. Penampil macam Santana, Jefferson Airplane, The Flying Burrito Brothers, hingga Rolling Stones jadi gambaran betapa besar hajat Lang tahun itu.
Bahkan, begitu banyak orang yang berani bersaksi, Woodstock '69 tak sekadar perhelatan musik. Woodstock '69 adalah gerakan kontra kultur di Amerika Serikat. Kala itu, penolakan anti-perang berkumandang lantang. Para pemuda turun ke jalan untuk memprotes invasi Amerika Serikat ke Vietnam. Mereka menjadikan bunga sebagai simbol perlawanan mereka. Sejak itu, generasi bunga alias flower generation dimulai.
Dan Woodstock sejatinya terhampar sebagai tanah bagi mereka generasi bunga. Woodstock '69 bahkan mengusung tema "Three Days of Peace and Music" yang menggambarkan perlawanan unik generasi bunga --lewat cinta dan kedamaian-- untuk mendobrak dinding kemapanan dan kapitalisme ala barat. Setidaknya, 30 ribu orang terkumpul. Jumlah yang tak pernah dibayangkan oleh Lang Cs.
Kesalahan terbesar bagi Lang barangkali adalah kelalaiannya tak merekrut keamanan resmi. Kala itu, ia malah mengajak geng motor beringas Hell's Angels untuk mengamankan konser. Mereka dibayar dengan bir sejumlah 500 dollar AS. Hell's Angels menolak tugas pengamanan tersebut. Namun, mereka menyatakan akan datang sebagai penonoton yang membantu kelancaran acara.
Tragedi Altamont dimulai ketika Mick Jagger Cs tampil. Ribuan penonton yang histeris mulai mencoba memanjat dan menekan bibir panggung. Keributan antar penonton dengan Hell's Angels tak terelakkan. Di antara keributan itu, seorang perempuan bernama Meredith Hunter ditusuk oleh anggota Hell's Angels bernama Alan Passaro karena terlihat mengeluarkan pistol berkaliber 22 inci.
Sementara, tiga kematian lain terjadi karena tabrak lari dan tenggelamnya satu orang di saluran irigasi. Konser dan tragedi itu direkam oleh Albert dan David Maysles, yang mengubah hasil rekaman mereka menjadi film dokumenter Gimme Shelter (1970).
Fyre
Festival musik lain dengan kekacauan menggemparkan lainnya adalah Fyre Festival. Bencana dimulai ketika seorang pengusaha muda bernama Billy McFarland berambisi besar untuk membuat sebuah festival termewah yang pernah ada.
Ia bersama rekannya, rapper Ja Rule punya gagasan untuk menyelenggarakan sebuah festival yang diselenggarakan berhari-hari di sebuah pulau kecil di Bahama. Barangkali, menciptakan surga kecil di tanah milik Pablo Escobar ada dalam benaknya kala itu.
Billy menjanjikan kemewahan luar biasa dalam Fyre, termasuk vila-vila mewah, makanan dari koki-koki kenamaan, hingga akomodasi dengan kapal mewah. Citra kemewahan festival itu terlihat dari video trailer yang dirilis Fyre Festival.
Tak tanggung-tanggung, selebritas papan atas dunia dihadirkan dalam video promosi itu. Nama Kendall Jenner, Bella Hadid, hingga Hailey Baldwin mengangkat gengsi festival itu hingga langit. Gengsi yang juga dijual dengan harga selangit. Untuk menjadi bagian dari Fyre Festival, seorang penonton harus membayar 4-12 ribu dolar AS. Tiket termahal itu setara dengan Rp170 juta dengan kurs saat itu.
Dari deretan penampil, Fyre Festival menjanjikan band punk rock 90-an, Blink-182. Orang-orang pun terbuai. Alhasil, ribuan tiket Fyre Festival ludes dalam waktu singkat. Sayang, gengsi setinggi langit itu nyatanya cuma angan-angan. Angan-angan yang segera buyar pada 27 April 2017, hari di mana Fyre Festival harusnya diselenggarakan.
Peserta yang baru datang ke pulau harus menunggu berjam-jam di restoran Bahama untuk kemudian diantarkan menuju tempat penginapan. Namun, di sana mereka tidak menemukan vila mewah seperti yang sudah dijanjikan. Hanya ada tenda-tenda seperti bencana yang di dalamnya diberi kasur. Selain itu, mereka yang awalnya ingin mencicipi masakan dari koki terkenal, ternyata hanya dihidangkan potongan roti dengan keju yang dilengkapi dengan salad yang dibungkus styrofoam.
Kekecewaan itu baru permulaannya saja. Puncaknya, mereka harus menerima kenyataan bahwa Blink-182 memutuskan untuk tidak jadi tampil dalam festival tersebut. Hal itu membuat para pembeli tiket yang kebanyakan berasal dari golongan kaya raya kecewa.
Ujungnya, pihak penyelenggara terjerat hukum. Beberapa di antara pembeli tiket menuntut ganti rugi mencapai 11 juta dolar AS (Rp 1,4 miliar rupiah) dengan tuduhan penipuan. Pada 30 Juni 2017, Billy MacFarland akhirnya ditangkap dengan tuduhan penipuan, sebelum akhirnya dijatuhi hukuman penjara selama enam tahun dengan denda sebesar 26 juta dolar AS (Rp368 miliar).
Artikel Selanjutnya: Tentang Gelaran Musik dengan Konsep dan Nilai Menarik