Rupiah Berpotensi Melemah Didorong Data Ekonomi AS

JAKARTA - Nilai tukar rupiah pada perdagangan Selasa, 29 Oktober 2024 diperkirakan akan bergerak melemah terhadap dolar Amerika Serikat (AS). 

Mengutip Bloomberg, nilai tukar Rupiah hari Senin, 28 Oktober 2024, Kurs rupiah di pasar spot ditutup turun 0,49 persen di level Rp15.724 per dolar AS. Sementara, kurs rupiah Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) Bank Indonesia (BI) ditutup melemah 0,50 persen ke level harga Rp15.729 per dolar AS. 

Direktur PT.Laba Forexindo Berjangka Ibrahim Assuaibi menyampaikan para pedagang sebagian besar condong ke dolar AS untuk mengantisipasi pemilihan presiden 2024, yang tinggal seminggu lagi. 

"Arus masuk ke dolar AS juga didorong oleh ekspektasi meningkatnya ketidakpastian politik di Jepang, setelah koalisi yang dipimpin oleh Partai Demokrat Liberal yang berkuasa kehilangan mayoritas parlementernya dalam pemilihan akhir pekan," ujarnya dalam keterangannya dikutip, Selasa, 29 Oktober.

Sedangkan, kekhawatiran atas konflik yang lebih besar di Timur Tengah mereda setelah Israel tidak menyerang fasilitas minyak dan nuklir Iran dalam serangan selama akhir pekan. Sementara Teheran memang mengancam akan membalas serangan itu, para pemimpin Iran juga meremehkan dampak serangan Israel.

Ibrahim menjelaskan kekhawatiran atas serangan Israel terhadap Iran atas serangan awal Oktober telah menjadi titik utama ketidakpastian bagi pasar, terutama karena kekhawatiran bahwa kerusakan apa pun pada infrastruktur minyak atau nuklir Iran akan menandai eskalasi yang mengerikan dalam konflik tersebut. 

Adapun, fokus minggu ini adalah pada serangkaian pembacaan ekonomi utama untuk mendapatkan lebih banyak petunjuk, diantaranya data produk domestik bruto dari AS dan zona euro akan dirilis dalam beberapa hari mendatang, sementara data indeks harga PCE yaitu pengukur inflasi pilihan Federal Reserve yang juga akan dirilis akhir minggu ini. 

Sementara dari dalam negeri, pemerintah pada 2025 harus menghadapi tanggung jawabnya untuk membayar utang jatuh tempo, termasuk utang yang dihasilkan dari burden sharing bersama Bank Indonesia kala Covid-19 lalu.  

Menurut catatan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), terdapat jatuh tempo Surat Berharga Negara (SBN) yang dibeli Bank Indonesia (BI) berdasarkan Surat Keputusan Bersama (SKBI) II senilai Rp100 triliun pada 2025.  

Melihat dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) Tahun 2021, tercatat dari penerbitan SBN dalam rangka SKB II dan SKB III tersebut, terdapat SBN berupa SUN seri Variable Rate (VR) yang khusus dijual kepada BI di Pasar Perdana dalam rangka SKB II dan SKB III dengan total nilai sebesar Rp612,56 triliun. 

Jatuh tempo utang tersebut mulai pada 2025 senilai Rp100 triliun, dan akan berlanjut dengan angka variatif hingga 2029 atau pada Kabinet Merah Putih berakhir nantinya.  

Adapun, SKB tersebut merupakan komitmen pemerintah dan BI dalam melakukan burden sharing atau berbagi beban dalam pembiayaan penanganan Covid-19. 

Di mana BI bertindak sebagai stand by buyer melalui SKB I. Pada SKB II, pemerintah langsung menjadi direct placement. Sementara pada SKB III, pemerintah juga menjadi direct placement namun khusus untuk kesehatan dan humanitarian. 

Sementara itu, kewajiban pemerintah tersebut hanya sebagian dari total utang jatuh tempo dan bunga utang yang harus dipenuhi pemerintah pada tahun depan.  

Secara total, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat profil jatuh tempo utang pemerintah pada 2025 mencapai Rp800,33 triliun. Jumlah tersebut terdiri dari jatuh tempo SBN sejumlah Rp705,5 triliun dan jatuh tempo pinjaman senilai Rp94,83 triliun. 

Ibrahim memperkirakan rupiah akan bergerak fluktuatif namun ditutup melemah pada perdagangan Selasa, 29 Oktober 2024 dalam rentang harga Rp15.710 - Rp15.810 per dolar AS.