Pertama Jadi Pemimpin Perempuan di APINDO, Women Leadership Versi Shinta Kamdani
JAKARTA - Kesetaraan gender menjadi salah satu topik yang tidak ada habisnya diperbincangkan di kalangan masyarakat Indonesia hingga saat ini. Adanya konstruksi sosial yang mengakar menyebabkan pencapaian kesetaraan gender masih sulit tercapai. Perempuan menjadi pihak yang paling rentan dalam konteks tersebut. Ketidaksetaraan gender yang dialami oleh perempuan meliputi banyak hal, salah satunya berkaitan dengan pengembangan karir maupun kepemimpinan.
Shinta Widjaja Kamdani atau akrab disapa Shinta Kamdani, Chairman Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) dan CEO Sintesa Group, menilai bahwa keterwakilan perempuan dalam kepemimpinan seperti bentuk piramida, yang artinya semakin tinggi jabatan semakin minim pula keterwakilannya. Lebih lanjut, baginya perempuan hadir di ranah middle management sekitar 20%, bila upper management hanya berkisar 15%. “Perempuan masih banyak memilih untuk tidak dipromosikan jabatannya demi tercapainya work-life balance. Stigma inilah yang perlu kita patahkan,” ungkap Shinta.
Dalam acara Talkshow Cakap Blitz (Business Leadership Talks) ke-12, Shinta berkesempatan membagikan lebih lanjut pengalaman berharganya dalam menghadapi ketidaksetaraan gender selama berkarir. Sebagai pemimpin perempuan pertama, Shinta mengatakan bahwa memimpin APINDO bukanlah suatu hal yang mudah. Apalagi APINDO sendiri merupakan organisasi lama di Indonesia yang telah terbentuk sejak tahun 1952, dan belum pernah dipimpin oleh seorang perempuan. Namun dirinya juga menegaskan bahwa untuk mencapai titik ini bukanlah hal yang instan. “Dulu sepulang ke Indonesia setelah kuliah di luar negeri, saya memulai kerja fulltime di bawah perusahaan keluarga. Meski perusahaan tersebut adalah milik keluarga, namun saya memulai karir saya dari unit paling bawah sebagai seorang sales,” ujar Shinta.
Baca juga:
Shinta juga menambahkan bahwa kala itu ia beruntung memiliki atasan yang dapat membantu membuka perspektifnya terhadap kesempatan perempuan menjadi pemimpin, sekalipun di sektor-sektor yang biasanya didominasi oleh laki-laki. Di samping itu, dunia sales turut andil dalam memberikan gambaran yang lebih luas pada Shinta terkait tantangan yang biasanya dihadapi oleh perempuan dalam dunia kerja. Adanya kemungkinan over dominating penghasilan suami yang didapat pekerja perempuan mampu mempengaruhi dinamika rumah tangga perempuan.
Berkaitan dengan perjalanannya menjadi CEO, Shinta selalu menanamkan kepercayaan pada diri sendiri dan orang lain bahwa leadership memiliki setiap fase yang panjang dan harus dilalui. Mencontohkan dirinya dari menjadi seorang staff selama 9 tahun, menjadi salah satu jajaran management selama 16 tahun, baru kemudian menjadi CEO di tahun ke 25. “Kita sebelum jadi pemimpin, harus tahu dulu bagaimana caranya menjadi pekerja. Jika kita langsung sebagai pemimpin, kita tidak pernah belajar cara memimpin orang-orang ini,” tegasnya pada Cecilia Ong, Chief Operating Officer Cakap.
Di sisi lain, prinsip kepemimpinan yang dipegang teguh oleh Shinta dalam mendirikan perusahaan miliknya tidak lepas dari 3 komponen. Pertama, pemimpin harus memiliki vision, mission, dan corporate values agar dapat berjalan bersama. Kedua, Human Capital Development menjadi kunci untuk membantu perusahaan semakin bertumbuh. Terakhir, servant leadership. Shinta mencontohkan sebagai pemimpin sebetulnya tidak hanya memimpin, tetapi juga melayani para karyawan ketika berproses.
Akhir kata, Shinta memberikan pesan bagi perempuan Indonesia yang ingin menavigasi karir dan kepemimpinannya untuk selalu menerapkan 3P (Purpose, Passion, Perseverance). Demi mendapatkan itu semua, sebagai perempuan perlu mengetahui terlebih dahulu apa yang diinginkan, mencintai apa yang dilakukan, dan tentunya dilengkapi dengan kerja keras dan pantang menyerah.