Kesepakatan Koalisi dan Oposisi Akhiri Perseteruan di Parlemen
JAKARTA - Lembaga Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah menyelesaikan pembentukan alat kelengkapan dewan dengan memilih susunan pimpinan DPR dan MPR.
Pimpinan DPR RI periode 2024-2029 terpilih adalah Puan Maharani dengan empat Wakil Ketua yang mewakili beragam fraksi politik besar di parlemen. Diantaranya Adies Kadir dari Fraksi Partai Golkar, Sufmi Dasco Ahmad dari Fraksi Partai Gerindra, Saan Mustopa dari Fraksi Partai Nasdem, dan Cucun Ahmad Syamsurijal dari Fraksi PKB. Pemilihan ketua dan wakil ketua DPR berjalan lancar dan tanpa hambatan sepertinya telah disepakati antar partai di parlemen.
Seperti dikabarkan sebelumnya telah di didapatkan kesepakatan diantara mereka, bahwa mereka tidak akan mengotak atik posisi UU MD3, meski sebelumnya menjelang pemilihan Ketua DPR dan MPR ada yang mengusulkan perubahan UU MD3. Usulan itu diantaranya disampaikan Ketua MPR sebelumnya Bambang Susetya, ia menyatakan telah menyiapkan pembentukan UU MPR yang terpisah dari UU MD3, rumusan itu menurutnya sudah dimasukan program legislasi nasional (Prolegnas) 2024.
Baca juga:
Namun belakangan dicapai kesepakatan terutama kekuatan partai Koalisi pemerintah dengan kekuatan oposisi yakni PDIP. Mereka menyepakati tidak akan melakukan perubahan atas UU MD3 yang ada, yang artinya tidak jadi merevisi UU tersebut yang sebelumnya sempat santer menjadi topik hangat di parlemen.
Kesepakatan itu hasil lobi antara Puan Maharani dan Said Abdullah dari DPP PDIP yang berkomunikasi intensif dengan Sufmi Dasco dan Ahmad Muzani dari Gerindra yang sepertinya membawa misi khusus Presiden Prabowo. Memang kala itu Prabowo berusaha menarik PDIP untuk bergabung berkoalisi ke dalam pemerintahan. Sepertinya bargaining ini yang akhirnya terbentuk sebagai pemenang legislatif akan berhak atas ketua DPR.
Sementara sebagai ketua MPR diberikan untuk pemenang Pilpres yakni akan diberikan kepada Gerindra. Sementara Golkar sebagai pemenang kedua harus mengalah yang saat ini menduduki posisi sebagai ketua MPR, akan diambil alih Gerindra sebagai pemenang pilpres. Golkar sebagai anggota koalisi KIM harus patuh mengikuti kesepakatan. Meski awalnya ada upaya untuk mengubah UU MD3, namun upaya itu kandas di tengah jalan.
Pembagian kursi pimpinan DPR mengikuti pola proporsional berdasarkan jumlah kursi yang diperoleh masing-masing partai dalam Pemilu 2024. Partai-partai besar seperti PDIP, Golkar, dan Gerindra mendapatkan posisi penting sebagai bentuk kompromi dan strategi dalam memastikan keterwakilan kepentingan politik di parlemen.
Kesepakatan ini juga dianggap merefleksikan pentingnya lobi dan konsolidasi antara fraksi-fraksi untuk mencapai kesepakatan. Struktur kepemimpinan ini akan mempengaruhi dinamika DPR dalam menjalankan fungsi legislatif, termasuk pembahasan undang-undang strategis dan pengawasan pemerintah selama periode lima tahun mendatang.
Sehingga terpilihnya Ahmad Muzani dari Partai Gerindra sebagai Ketua MPR Bersama 8 wakil ketua yang terdiri dari Bambang Wuryanto alias Bambang Pacul dari PDIP,
Kahar Muzakir dari Golkar, Lestari Moerdijat dari NasDem, Rusdi Kirana dari PKB, Hidayat Nur Wahid dari PKS, Eddy Soeparno dari PAN, Edhie Baskoro Yudhoyono dari Demokrat serta Abcandra Akbar Supratman sebagai perwakilan DPD. Merupakan hasil kompromi tersebut.
Pemilihan ini merupakan hasil dari lobi politik yang dilakukan Gerindra dengan berbagai partai lain di parlemen, termasuk fraksi-fraksi di DPR dan kelompok DPD. Strategi lobi tersebut bertujuan untuk mengamankan dukungan dan memastikan stabilitas politik, terutama menjelang berjalannya pemerintahan Prabowo Subianto.
Pemilihan pimpinan MPR ini diatur melalui sidang gabungan yang melibatkan pimpinan sementara MPR bersama pimpinan fraksi dan kelompok DPD. Gerindra aktif berkoordinasi dan bernegosiasi dalam tahap ini. Menurut Rachel Maryam dari Fraksi Gerindra menyatakan optimismenya bahwa lobi tersebut akan membuahkan hasil positif bagi partainya.
Terpilihnya Muzani sebagai Ketua MPR merupakan langkah penting bagi Gerindra untuk memperkuat posisinya di parlemen dan mendukung agenda politik pemerintah. Keberhasilan lobi ini menegaskan pentingnya kerja sama antarpartai dalam memastikan kepemimpinan yang dapat menopang jalannya pemerintahan secara efektif.
Ini yang sebelumnya disebut, aktivis dan Pengamat Politik Ray Rangkuti, bahwa PDIP memang diberikan keuntungan politik dengan posisi sebagai ketua DPR. Sebagai bagian membujuk PDIP untuk masuk ke koalisi pemerintahan. Kondisi ini berbeda pada 2014 dimana PDIP sebagai partai pemenang pemilu legislatif, posisi ketua DPR justru direbut wakil dari Golkar. Ray menyebut PDIP dalam hal ini bisa disebut sebagai “oposisi sinergis’. “Oposisi yang masih mau kerja sama dengan pemerintah” katanya pekan lalu.
Secara formal, pemilihan pimpinan MPR dan DPR dilakukan berdasarkan musyawarah mufakat yang sebelumnya telah ditemukan titik temu. Sehingga saat pemilihan berlangsung bisa berjalan lancar. Bagi pemerintah berkuasa adanya kompromi ini menguntungkan.Terutama efektivitas kerja-kerja legislasi.
Ada Untung Ruginya
Namun bagi masyarakat umum justru menyangsikan efektivitas fungsi kontrol parlemen dan bisa menimbulkan hilangnya potensi checks and balances dalam pengawasan seperti diharapkan publik. Bila DPR didominasi oleh partai koalisi pemerintah, fungsi pengawasan terhadap kebijakan eksekutif cenderung melemah. Sebaliknya, jika oposisi mendapat tempat strategis, kontrol terhadap eksekutif akan lebih kuat. Namun semua tergantung pilihan dari PDIP akan tetap menjadi oposisi atau bergabung dengan koalisi pemerintah yang putusannya akan ditentukan dari hasil pertemuan Prabowo dan Megawati, dalam Waktu dekat
Stabilitas atau kompromi politik, dinilai penting menghadapi polarisasi dan kebuntuan (deadlock) dalam pembahasan kebijakan strategis.Terutama setelah ini legislatif akan menghadapi dinamika di parlemen. Seperti kita ketahui dalam Waktu dekat DPR akan menghadapi kerja-kerja antara pemilihan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dimana partai akan menghadapi tarik ulur kepentingan dan pengaruh. Partai-partai politik memiliki kepentingan, pemilihan pimpinan KPK bisa diarahkan memilih figur yang lebih "akomodatif" terhadap elite politik.
Hal lain yang berkait dengan posisi pimpinan adalah Pilkada Serentak. Pemilihan kepala daerah (Pilkada) juga tak lepas dari politik di parlemen. Parlemen memiliki peran dalam mengesahkan regulasi terkait mekanisme Pilkada. Bila lobi-lobi politik menghasilkan kesepakatan yang memprioritaskan kepentingan partai tertentu, maka regulasi pilkada dapat diubah untuk menguntungkan partai penguasa, misalnya dengan mengembalikan Pilkada ke DPRD.
Undang-undang Cipta Kerja adalah salah satu contoh bagaimana koalisi pemerintah di parlemen mempercepat proses pengesahan undang-undang dengan mekanisme yang dinilai kurang transparan. Sehingga mengarah pada untuk direvisi dan perubahan UU sebelumnya, atau pembentukan undang-undang penting Lain. Pimpinan parlemen berperan penting dalam menentukan prioritas legislasi. Jika kepemimpinan parlemen lebih memihak kepada pemerintah, undang-undang yang tidak sejalan dengan agenda pemerintah cenderung akan diabaikan.