Konflik Global, Perubahan Iklim, dan Food Estate Salah Urus: Indonesia Hadapi Ancaman Krisis Pangan

JAKARTA – Indonesia diramalkan mengalami krisis pangan karena permintaan besar yang tinggi tidak dibarengi suplai yang memadai. Menurut pengamat ekonomi, hal ini tidak hanya disebabkan perubahan iklim semata, tapi juga adanya konflik global.

Ketersediaan pangan sudah menjadi isu yang cukup sering menyita perhatian khalayak, terutama sekitar dua tahun terakhir. Pada November tahun lalu, Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati mengatakan, organisasi meteorologi dunia memprediksi terjadinya krisis pangan secara global pada 2050. Ini disebabkan kekeringan di sejumlah wilayah dampak dari kenaikan suhu bumi.

Sejak revolusi industri pada 1980-an, suhu bumi selalu meningkat setiap tahunnya. Pada 2015 sampai 2022, kenaikan rata-rata mencapai 3,5 derajat celcius.

Petani menanam bibit padi di persawahan Desa Gondoharum, Jekulo, Kudus, Jawa Tengah, Kamis (3/10/2024). (Antara/Yusuf Nugroho)

"Dampaknya tahun 2050-an diprediksi akan terjadi kekurangan pangan akibat dari kekeringan atau kekurangan air yang terjadi di mayoritas wilayah dunia," kata Dwikorita pada November 2023.

Diungkapkan Dwikorita, Indonesia juga termasuk salah satu negara yang menghadapi ancaman krisis pangan pada 2050, meski masih berada di level menengah. Indonesia akan dihadapkan pada tantangan impor pangan karena negara pengimpor akan mengalami krisis pangan yang cukup parah di tahun tersebut.

"Indonesia ini levelnya menengah, tapi kita akan kesulitan impor karena negara sumber penghasil pangan mengalami kekeringan yang lebih parah," jelasnya.

Kondisi Politik Regional

Kenaikan suhu global mengakibatkan kondisi cuaca yang tidak menentu. Gagal panen akibat cuaca ekstrem pun makin sering terjadi di Indonesia. Di tengah situasi ini, masyarakat harus menanggung biaya lebih untuk memperoleh pasokan karbohidrat, protein, dan serat. Di sisi lain, lonjakan harga pangan juga tidak pernah benar-benar mendatangkan kesejahteraan bagi petani.

Namun, krisis pangan tidak hanya disebabkan oleh cuaca ekstrem yang dialami Indonesia dan berbagai negara lainnya di dunia dalam beberapa tahun terakhir. 

Ekonom senior Bright Institute, Awalil Rizky menjelaskan pemicu krisis pangan bukan hanya dari produksi, tetapi juga kondisi politik regional yang kian memanas di beberapa kawasan. Ia menambahkan, pasokan beras dunia mengalami gangguan signifikan, sedangkan permintaan tetap tinggi.

PJs Wali Kota Surabaya Restu Novi Widiani bersama dengan pejabat Kementan melakukan tanam padi di Kecamatan Pakal, Kota Surabaya. (ANTARA/HO-Pemkot Surabaya)

“Kekhawatiran akan krisis pangan yang meluas pada tahun-tahun mendatang, membuat beberapa negara mengamankan persediaannya, termasuk membatasi ekspornya,” kata Awalil dalam webinar bertajuk “Rawan Pangan Mengancam” pada Selasa, 8 Oktober 2024.

Tren protektionisme ini telah berlangsung selama bertahun-tahun terakhir. Awalil menyebut, negara yang menyadari ketidakpastian kondisi pangan cenderung mengubah orientasi ke ketahanan dalam negeri. Kondisi ini akan berdampak pada Indonesia yang jumlah penduduknya mencapai 285 juta jiwa dan berpotensi semakin bertambah.

“Maka kerawanan pangan akan menjadi persoalan yang jauh lebih serius,” tuturnya.

Yang lebih mengejutkan, kata Awalil, kondisi ini sebenarnya sudah diprediksi sejak lama. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 dan 2020-2024 yang disusun Presiden Joko Widodo sebenarnya sudah menyoroti masalah ini, namun implementasinya jauh dari harapan.

Skor Global Food Security Index (GFSI) atau Indeks Ketahanan Pangan Global yang menjadi indicator keberhasilan RPJMN justru anjlok. Pada 2018, indeks ini pernah mencapai 63,60 sehingga RPJMN 2020-2024 menargetkan skor 95,24 tahun ini. Tetapi yang terjadi justru sebaliknya,  sejak 2019 angkanya justru menurun. Alih-alih mendekati target, nilainya terakhir pada 2022 lebih rendah dengan skor 60,2

“Target RPJMN 2024 sudah tak mungkin bisa tercapai,” ujarnya.

Solusi Palsu Food Estate

Situasi ini diperparah dengan porsi tanaman pangan dalam sektor pertanian yang cenderung semakin turun selama era Jokowi. Pada 2014 misalnya, tanaman pangan yang terdiri antara lain padi, jagung, ubi kayu, ubi jalar, kedelai, kacang tanah, dan kacang hijau mencapai 24,35 persen dari seluruh sektor pertanian. Namun pada 2013 angkanya merosot ke 18,02 persen.

Dalam kesempatan yang sama, Direktur Riset Bright Institute Muhammad Andri Perdana menjelaskan penurunan porsi tanaman pangan di sektor pertanian disebabkan kurangnya perhatian pemerintah. Pemerintah justru lebih fokus terhadap perkebunan, terutama kelapa sawit yang berorientasi ekspor.

"Terutama kelapa sawit," ujar Andri.

Gudang Bulog 606 Kandeman Kabupaten Batang mendistribusikan beras untuk program bantuan pangan di Batang, Senin (7/10/2024). (ANTARA/Kutnadi)

Program food estate yang dijalankan pemerintah sejak era Orde Baru sampai sekarang dianggap sebagai salah satu cara mengatasi krisis pangan. Namun hingga saat ini, tak satu pun program food estate pemerintah yang dinilai berhasil. Padahal proyek ini merupakan bagian dari Proyek Strategis Nasional atau PSN pada 2020.

Lokasi proyek ini awalnya mencakup Sumatra Utara, Sumatra Selatan, Kalimantan Tengah, dan Papua. Tapi seiring berjalannya waktu lokasi proyek terus berkembang. Proyek food estate mengalami sejumlah kekeliruan dalam menjawab ancaman krisis pangan di Indonesia, termasuk komoditas yang dikembangkan.

Proyek food estate ini sama dengan proyek-proyek sebelumnya yang fokus pada beberapa komoditas seperti beras, jagung, dan umbi-umbian. Jenis tanaman yang ditanam dalam proyek food estate diklaim bukan jenis yang biasa dikonsumsi masyarakat.

Kekeringan menjadi ancaman serius bagi pertanian padi di Indonesia. (ANTARA FOTO/Yulius Satria Wijaya)

Kesalahan food estate kedua adalah penempatan lokasi proyek. Pemerintah hampir selalu menyasar hutan dan lahan-lahan yang memiliki keragaman hayati tinggi, di antaranya proyek Merauke Integrated Food and Energy Estate di Merauke, Papua Selatan. Lokasi proyek ini memiliki tutupan hutan alam yang bagus dan lahan gambut. Dengan adanya proyek ini, justru hutan dirusak untuk lahan pertanian.

Ketiga, konsep pertaniam skala besar dan industri yang justru hanya menghasilkan pangan untuk kebutuhan pasokan bahan baku industri ketimbang untuk pemenuhan pangan masyarakat. Salah satunya adalah food estate di Gunung Mas, Kalimantan Tengah, yang dikelola langsung oleh perusahaan. Proyek ini masuk ke dalam kawasan hutan dan merambah pohon-pohon tempat habitat orangutan. Sialnya proyek ini tampak tak membuahkan hasil setelah satu tahun beroperasi.

“Program food estate belum bisa memperbaiki istuasi ini,” pungkas Andri.