Ketegangan Timur Tengah Meningkat Dorong Pelemahan Rupiah
JAKARTA - Nilai tukar rupiah pada perdagangan Senin, 7 Oktober 2024 diperkirakan akan bergerak melemah terhadap dolar Amerika Serikat (AS).
Mengutip Bloomberg, nilai tukar rupiah hari Jumat, 4 Oktober 2024, Kurs rupiah di pasar spot ditutup turun 0,66 persen di level Rp15.495 per dolar AS.
Sementara kurs rupiah Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) Bank Indonesia (BI) ditutup melemah 0,36 persen ke level harga Rp15.429 per dolar AS.
Direktur PT Laba Forexindo Berjangka Ibrahim Assuaibi menyampaikan serangkaian rilis data minggu ini menunjukkan bahwa ekonomi AS masih dalam kondisi solid, setelah aktivitas sektor jasa negara itu melonjak ke level tertinggi 1-1/2 tahun pada bulan September di tengah pertumbuhan yang kuat dalam pesanan baru.
Sementara laporan terpisah dari Departemen Tenaga Kerja pada hari Kamis menunjukkan pasar tenaga kerja meluncur pada akhir kuartal ketiga.
"Hal itu membuat para pedagang mengurangi taruhan tentang pemotongan suku bunga 50 basis poin lagi oleh Fed bulan depan, dengan kontrak berjangka menunjukkan peluang hanya 35 persen dari skenario seperti itu," ujarnya dalam keterangannya, dikutip Senin, 7 Oktober.
Selain itu, Ibrahim menyampaikan rupiah tertekan dolar AS yang menguat karena ketegangan meningkat di Timur Tengah.
Pascaserangan Iran ke Israel sebelumnya, AS sedang mendiskusikan untuk mendukung serangan balasan Israel terhadap fasilitas minyak Iran.
Di sisi lain, militer Israel menyerang Beirut dengan serangan udara baru dalam pertempurannya melawan kelompok bersenjata Lebanon, Hizbullah.
Dari sisi dalam negeri, pasar terus mengamati deflasi yang terjadi selama lima bulan berturut-turut sejak Mei hingga September 2024 memperlihatkan dengan jelas masyarakat kelas menegah ( pekerja) sudah tidak punya uang lagi untuk berbelanja.
Karena itu, Ibrahim menyampaikan permintaan bank sentral Indonesia agar masyarakat lebih banyak belanja untuk mendorong pertumbuhan ekonomi di atas 5 persen mustahil terwujud.
Pasalnya, hampir semua sektor industri melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK), yang bakal berimbas pada anjloknya daya beli.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan kondisi ini terjadi.
Pertama yaitu pemutusan hubungan kerja (PHK).
Kementerian Ketenagakerjaan mencatat sebanyak 53.993 tenaga kerja terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) per 1 Oktober 2024.
Adapun ribuan orang yang di-PHK sebagian besar berasal dari sektor manufaktur dan tiga provinsi dengan angka PHK terbesar adalah Jawa Tengah, Banten, dan Jakarta. Serta di predikisi sampai akhir tahun angka PHK akan melonjak lebih dari 75.000.
Pasalnya, mulai banyak perusahaan dinyatakan pailit atau akhirnya pindah ke daerah lain yang upah minimumnya lebih kecil.
Kedua, minimnya lapangan kerja di sektor padat karya, di tengah membludaknya PHK, pembukaan lapangan pekerjaan baru di sektor padat karya dalam lima tahun terakhir juga nyaris tidak ada. Padahal sektor ini menjadi andalan untuk menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar sehingga diharapkan bisa melahirkan apa yang disebutnya sebagai warga kelas menengah.
Namun data BPS terakhir menunjukkan 9,48 juta warga kelas menengah Indonesia justru turun kelas dalam lima tahun terakhir, menjadi hanya 47,85 juta.
Situasi tersebut tak lepas dari kebijakan pemerintah yang lebih menggenjot investasi di sektor padat modal seperi tambang ketimbang padat karya yang membuka lapangan kerja baru.
Ketiga tingginya suku bunga. Walaupun Bank Indonesia (BI) akhirnya memangkas suku bunga acuan pada September 2024 menjadi 6 persen dari sebelumnya 6,25 persen, demi menjaga penguatan atau stabilitas nilai tukar rupiah.
Baca juga:
Namun uang yang beredar di masyarakat jadi lebih mahal dan bukan berarti bisa mengurangi lonjakan deflasi di bulan-bulan mendatang.
Sebab, PHK massal dan tak adanya lapangan kerja baru belum sepenuhnya teratasi.Konsekuensinya, daya beli masyarakat juga belum akan membaik.
Ibrahim memperkirakan rupiah akan bergerak fluktuatif namun ditutup melemah pada perdagangan Senin, 7 Oktober 2024 dalam rentang harga Rp15.470 - Rp15.580 per dolar AS.