Hubungan Romantis Orang Dewasa dan Anak di Bawah Umur Tak Bisa Dilabeli Suka Sama Suka, Itu Child Grooming
JAKARTA – Video asusila antara guru dan murid di Gorontalo yang viral di media sosial menggegerkan masyarakat. Video ini kerap dikaitkan dengan istilah Child Grooming. Dan, psikolog klinis Kasandra Putranto mengatakan, sudah saatnya Indonesia menambahkan sanksi hukum terhadap perilaku grooming demi melindungi anak Indonesia.
Seorang guru dengan inisial DH di salah satu lembaga pendidikan agama di Kabupaten Gorontalo, Provinsi Gorontalo, diduga melakukan tindak asusila kepada seorang murid perempuan yang masih duduk di bangku kelas 12.
Kejadian itu terungkap setelah video yang merekam dugaan asusila oknum guru berusia 57 tahun tersebut beredar luas di media sosial. Adanya ketimpangan relasi kuasa antara guru dan murid membuat kasus asusila di lingkungan pendidikan kerap terjadi.
Siapa pun Bisa jadi Groomer
Menurut Federasi Serikat Guru Indonesia atau FSGI, setidaknya ada 101 korban kekerasan seksual di satuan pendidikan dalam kurun Januari sampai Agustus 2024. Sedangkan dari Januari hingga Mei 2023, FSGI mendata ada 22 kasus kekerasan seksual dengan jumlah korban mencapai 202 anak di lingkungan pendidikan.
Dari ratusan kasus ini, di antara pelakunya adalah guru, pemimpin pondok pesantren, hingga guru. Melihat sejumlah kasus yang pelakunya adalah tenaga pendidik, korban seringkali tidak berdaya karena adanya ketimpangan relasi kuasa.
Kasus yang terjadi di Gorontalo membuat publik kembali diharapkan aware dengan child grooming. Secara umum, child grooming adalah teknik memanipulasi pikiran anak untuk tujuan tertentu. Umumnya, tujuan yang paling sering dari teknik ini adalah untuk eksploitasi dan pelecehan seksual.
Psikolog klinis dan forensik Kasandra Putranto mendefinisikan grooming sebagai proses awal eksploitasi dan kekerasan seksual, meliputi berbagai upaya membangun hubungan, kepercayaan, dan hubungan emosional dengan seorang anak atau remaja sehingga mereka dapat memanipulasi, mengeksploitasi, dan melecehkan mereka, bahkan sampai tindakan perdagangan manusia.
Kasandra menegaskan, siapa pun bisa menjadi pelaku grooming atau groomer, tanpa memandang usia, jenis kelamin, atau ras. Di beberapa negara, grooming sudah mengandung sanksi hukum tersendiri walaupun eksploitasi maupun kekerasan seksual belum terjadi.
Fenomena child grooming kian marak terjadi dalam beberapa tahun ke belakang, terutama di satuan pendidikan. Para korban grooming kerap menjadi terikat dan sulit melepaskan diri karena berbagai ikatan emosional, finansial, serta ancaman yang membuat mereka semakin terjerat lebih dalam di dalam hubungan toxic dengan pelaku. Karena itu, Kasandra berharap pelaku grooming mendapat hukuman berat.
“Sudah saatnya negara Indonesia mempertimbangkan untuk menambahkan sanksi hukum terhadap perilaku grooming demi melindungi anak Indonesia,” tegasnya.
Hal senada juga diungkapkan psikolog Liza Marielly Djaprie, yang menjelaskan child grooming adalah satu kondisi di mana orang dewasa yang secara perlahan-lahan menginisiasi menjalin hubungan layaknya hubungan dewasa dengan korban yang berada di bawah umur, yaitu anak-anak atau remaja sampai usia 16 tahun. Berbeda dengan kekerasan seksual yang cenderung menyekiti korban, child grooming justru dilakukan lebih halus.
"Ini biasanya dilakukan secara perlahan, tidak menyakiti. Caranya dengan memanipulasi cara berpikir anak-anak dan tentu saja remaja di bawah umur yang belum matang," ucap Liza.
Pendidikan Seks sejak Dini
Mengingat tingginya kasus kekerasan seksual di satuan pendidikan, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) menerbitkan Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi (PPKS) dan Permendikbudristek Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan (PPKSP).
Namun peraturan tersebut tidak serta merta menghentikan kekerasan seksual di satuan pendidikan. Untuk mencegah terjadinya hal tersebut, bukan hanya tugas sekolah tapi juga butuh peran semua pihak, terutama orangtua, seperti diungkapkan Liza Marielly Djaprie.
Liza menyebut anak-anak harus mendapat pendidikan seks sejak dini, sehingga mereka bisa tahu bagian mana yang boleh disentuh atau tidak. Sayang, yang masih sering terjadi di kalangan orangtua, kata Liza, menganggap sentuhan fisik dari orang dewasa terhadap anak adalah hal yang wajar.
“Sentuhan harus dilatih sejak dini, mana yang boleh dan tidak boleh disentuh orang lain. Jadi kalau misalnya anak merasa tidak nyaman disentuh oleh orang lain ya tidak apa-apa. Kalau sudah dilatih sejak kecil, anak bisa paham mana yang boleh disentuh mana yang tidak,” ucap Liza.
Baca juga:
- Eskalasi Serangan Israel vs Hizbullah dan Ancaman Perang Regional Skala Penuh
- Skandal Video Asusila di Gorontalo: Kekerasan Seksual di Satuan Pendidikan adalah Fenomena Gunung Es
- Rano Karno dan Suku Betawi, Apakah Preferensi Etnis dan Agama Masih Relevan di Pilkada Jakarta?
- Kewajiban Bekerja Paruh Waktu bagi Penerima Beasiswa adalah Bentuk Perbudakan Modern
Lebih lanjut, Liza menjelaskan salah satu penyebab yang membuat anak mudah menjadi korban grooming karena adanya kekosongan dalam diri. Dalam kasus yang terjadi di Gorontalo, korban dikisahkan tidak lagi memiliki orangtua alias yatim piatu. Ketiadaan peran orangtua yang seharusnya menjadi pelindung ini dinilai Liza bisa menjadi salah satu penyebab korban mudah terjerumus bujukan pelaku.
“Pelaku berusaha mendekati dengan mengisi kekosongan dari korban. Bisa kosong karena ketiadaan figur orangtua atau dikucilkan. Pelaku biasanya mencari korban yang kosong ini kemudian melakukan pendekatan,” jelas Liza.
“Biasanya proses pendekatan ini ada tahapannya, dimulai dengan memberi perhatian, kemudian hadiah-hadiah kecil sehingga korban merasa tersanjung. Kalau tidak ada penolakan, akan terus ditambah lagi,” imbuhnya.
Lebih lanjut, Liza juga meluruskan bahwa label suka sama suka tidak bisa diberikan dalam hubungan romantis orang dewasa dan anak di bawah umur, seperti yang sempat dinarasikan dalam kasus hubungan guru dan murid di Gorontalo.
Ini karena anak di bawah umur secara biologis belum memiliki kedewasaan otak yang sama dengan orang dewasa. Dijelaskan Liza, anak di bawah umum perkembangan lobus frontalnya belum matang, sehingga dianggap belum mampu secara psikologis dan pengalaman untuk mengambil keputusan yang lebih matang.
Pada umumnya, untuk menentukan pilihan-pilihan bijak baru berkembang di usia 18 tahun ke atas. Kondisi ini akhirnya membuat anak di bawah umur dianggap belum mampu memberikan consent secara ideal.
“Ini konsep yang salah dan harus dibenarkan. Kultur-kultur, kebiasaan pola berpikir seperti ini menyebabkan child grooming, serta pelecehan seksual jadi marak,” tandasnya.