Demam Boneka Labubu dan Sindrom FOMO: Orang Cenderung Ingin Diakui di Dunia Virtual
JAKARTA – Demam boneka Labubu yang menghebohkan warganet belakangan ini menjadi sorotan. Ratusan orang yang rela antre sejak subuh untuk mendapatkan boneka produksi Pop Mart ini disebut termasuk dalam kelompok Fear of Missing Out atau yang lebih dikenal dengan sebutan FOMO.
Sejak pekan lalu, media sosial diramaikan dengan antrean ratusan orang di salah satu mall di bilangan Jakarta Selatan. Niat mereka satu, yaitu mendapatkan boneka Labubu. Bahkan menurut sejumlah sumber, ada di antara mereka yang rela mengantre sejak subuh, jauh sebelum jam operasional mall buka.
Meski kemunculan Labubu sebenarnya sudah ada dalam beberapa tahun terakhir, namun karakter ini semakin viral setelah Lisa Blackpink mengunggah foto Labubu miliknya di Instagram. Sejak saat itu, boneka Labubu menjadi sangat terkenal di berbagai negara, termasuk Indonesia.
Akibat Penggunaan Medsos
Bagi sebagian orang, antre boneka Labubu hingga berjam-jam, bahkan sempat terjadi kericuhan, adalah hal yang tidak wajar. Karena itulah, ada pandangan mereka yang rela berkorban demi antre bonela Labubu adalah mereka yang sedang FOMO atau takut ketinggalan tren.
Namun menurut pandangan psikolog klinis dan forensik Kasandra Putranto, fenomena antre di Labubu bisa dilihat dari dua sisi, tergantung konteks dan motivasi orang-orang yang ikut antre. Jika banyak orang antre karena takut ketinggalan momen atau pengalaman yang dianggap spesial, apalagi jika ada pengaruh dari media sosial, maka ini lebih mengarah ke FOMO.
“FOMO dapat menyebabkan ketidakpuasan dan kecemasan, serta memengaruhi kesehatan mental individu. FOMO juga dapat mendorong perilaku konsumtif, di mana seseorang merasa perlu untuk ikut serta dalam berbagai kegiatan atau tren hanya untuk merasa terhubung atau tidak ketinggalan,” tutur Kasandra kepada VOI.
Namun, ia menambahkan, jika orang-orang antre hanya karena melihat orang lain melakukannya tanpa memahami apa yang mereka antrekan, maka ini bisa dianggap latah sosial.
Istilah FOMO memang cukup populer dalam beberapa tahun ke belakang. Sederhanya, FOMO adalah sebuah perasaan cemas dan takut dalam diri seseorang karena ketinggalan sesuatu yang baru, seperti berita, tren, dan sebagainya.
Rasa takut ketinggalan ini mengacu pada perasaan atau persepsi bahwa orang lain bersenang-senang, menjalani kehidupan yang lebih baik, atau mengalami hal-hal yang lebih baik.
Dituturkan Kasandra, salah satu penyebab FOMO adalah penggunaan media sosial yang berlebihan. Seseorang yang mengalami FOMO akan terus menerus memeriksa ponselnya saat terbangun tidur dapat juga sebelum tidur seolah tidak mau tertinggal berita. Selain itu, penggunaan media sosial juga seringkali membuat seseorang membandingkan kehidupannya dengan orang lain yang terlihat lebih menyenangkan atau bahagia.
Baca juga:
- Wacana Penambahan Kementerian dan Lembaga Tak Hanya Tambah Beban Anggaran, juga Bikin Rumit
- Lebih dari Setengah Populasi Indonesia Tak Mampu Makan Bergizi, Bagaimana Nasib Indonesia Emas 2045?
- Kontroversi Akun Fufufafa dan Pertaruhan Reputasi Gibran Rakabuming Raka
- Tak Punya Rekam Jejak Bagus, Bahkan Nama Si Doel Sulit Menarik Simpati Publik di Pilkada Jakarta
“Orang yang FOMO lebih mengutamakan medsos ketimbang kehidupan sebenarnya, akibatnya memicu keinginan untuk diakui oleh orang lain di dunia virtual,” jelas Kasandra.
Ia menambahkan, FOMO juga ditandai dengan terus-menerus ingin mengetahui tentang aktivitas orang lain, serta menghabiskan lebih dari yang orang mampu dan berbelanja barang-barang yang tidak terlalu penting agar tidak ketinggalan zaman.
FOMO Tak Selalu Negatif
Meski sering dikaitkan dengan kecemasan dan ketidakpuasan, Kasandra membantah bahwa FOMO selalu memiliki konotasi negatif. Perasaan takut ketinggalan sesuatu justru bisa berdampak positif, di antaranya ada muncul motivasi seseorang untuk terlibat atau berpartisipasi dalam aktivitas sosial, yang dapat memperluas jaringan sosial, dan menciptakan pengalaman baru.
“Selain itu, FOMO juga bisa membuat orang lebih peka terhadap peluang yang ada, sehingga mereka lebih cenderung untuk mencoba hal-hal baru,” terangnya.
FOMO juga ternyata baik untuk pengembangan diri, karena dengan perasaan ini seseorang mungkin terdorong untuk mengembangkan keterampilan atau hobi yang belum pernah dicoba sebelumnya.
“Namun, jika FOMO berlebihan, bisa menyebabkan stres, kecemasan, dan perbandingan sosial yang tidak sehat. Keseimbangan penting untuk menjaga pengalaman sosial yang positif,” ucapnya.
Jika dibiarkan, sindrom FOMO berlebihan dapat membawa dampak negatif. Untuk itu, Kasandra menyarankan untuk selalu fokus pada diri sendiri dan mengalihkan perhatian dari apa yang dilakukan orang lain. Pembatasan media sosial juga disebut dapat mencegah seseorang masuk ke dalam kelompok FOMO.
“Kurangi waktu yang dihabiskan di media sosial untuk menghindari perbandingan yang tidak sehat. Selain itu, ikuti aktivitas yang benar-benar diminati dan yang sesuai dengan nilai-nilai pribadi, bukan hanya karena tren dapat mencegah seseorang menjadi FOMO,” tegasnya.
Hal lain yang dapat dilakukan supaya tidak merasa takut ‘ketinggalan’, kata Kasandra, adalah dengan selalu melatih rasa syukur, menetapkan prioritas, bersikap realistis, dan menjalin hubungan berkualitas.
“Selain itu, menerapkan Joy of Missing Out atau JOMO untuk menghadapi FOMO dapat juga dilakukan dengan menerapkan Subjektif Well-Being, yakni evaluasi subjektif seseorang tentang kehidupan seperti kepuasan hidup, emosi menyenangkan, kepuasan terhadap hubungan seperti pernikahan dan pekerjaan,” tandasnya.