Tak Punya Rekam Jejak Bagus, Bahkan Nama Si Doel Sulit Menarik Simpati Publik di Pilkada Jakarta
JAKARTA – Penambahan Si Doel pada nama Rano Karno di Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Jakarta 2024 diramalkan tidak memiliki dampak signifikan dalam membangun simpati publik. Mantan Gubernur Banten ini disebut tak punya rekam jejak positif sepanjang kariernya sebagai pejabat publik.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) DKI Jakarta akhirnya mengizinkan penggunaan nama Si Doel bagi Cawagub Rano Karno pada Pilkada 2024. Ketua Bidang Teknis Penyelenggara KPU Jakarta Dody Wijaya mengatakan, izin tersebut diberikan setelah pihaknya mendapat tanggapan dari masyarakat.
Menurut Dody warga Jakarta selama ini lebih mengenal Haji Rano Karno melalui perannya sebagai Si Doel. Selain itu, KPU juga menerima salinan penetapan pengadilan Jakarta Selatan yang menyatakan bahwa nama Rano Karno, H Rano Karno S.I.P dan Si Doel adalah orang yang sama berdasarkan Penetapan Pengadilan Nomor 899/pdt.p/2024/pn.jkt.sel.
"Karena itu, masyarakat mengusulkan agar nama Si Doel dapat dicantumkan dalam kertas suara. Ditulis Haji Rano Karno dalam kurung Si Doel," katanya.
Si Doel merupakan tokoh utama sinetron lawas berjudul Si Doel Anak Sekolahan yang tayang perdana pada 1993, yang diadaptasi dari novel Si Doel Anak Betawi karta Aman Datuk Majoindo. Tokoh Doel diperankan oleh Rano Karno. Sinetron ini memiliki alur cerita mengenai kehidupan Doel dan keluarganya, keluarga Betawi yang tetap mempertahankan nilai-nilai tradisional meski hidup di tengah-tengah arus modernisasi perkotaan Jakarta.
Penggunaan nama panggung dalam kontestasi politik seringkali dikaitkan dengan elektabilitas dan popularitas. Dengan nama panggung yang lebih dikenal publik, diharapkan dapat meningkatkan elektabilitas sang calon. Namun hal ini dibantah oleh sejumlah pengamat.
Si Doel adalah Orang Minang
Meski sinetron tersebut sudah lama selesai, namun sosok Si Doel masih melekat dalam diri pria kelahiran 8 Oktober 1960. Berkat perannya dalam sinetron dan film Si Doel, banyak yang menilai Rano Karno merupakan putra asli Betawi.
Namun meski lahir di Jakarta, politikus PDI Perjuangan ini sejatinya adalah orang Minang. Garis leluhur tersebut didapat dapat dari ayahnya, Soekarno M.Noer, yang merupakan orang Bonjol, Pasaman, Sumatra Barat. Pada 2016, Rano Karno diketahui pulang ke kampung halaman ayahnya di Bonjol untuk menelusuri silsilah keluarganya. Rano Karno mengaku saat itu belum tahu apakah masih ada atau tidak keluarga mereka di Bonjol.
“Nenek dari dulu di Jakarta. Bapak dua bersaudara, semua sudah meninggal. Ini kita telusuri lagi. Kami nanti dibantu Wali Nagari setempat yang memang mengundang kami untuk pulang ke sini,” kata Rano Karno.
Seusai sukses memerankan Si Doel, Rano Karno mulai merambah ke dunia politik. Ia sempat mengejutkan publik pada 2007 ketika disebut-sebut bakal maju sebagai Cawagub DKI Jakarta. Namun ia mundur dari Pilkada DKI setelah muncul iklan keluarga Si Doel justru mendukung Fauzi Bowo.
Baca juga:
- Rel Kereta Api jadi Tempat Aktivitas Warga, Bukti Kita Kekurangan Ruang Publik
- Ironi Petani di Indonesia, Tetap Miskin di Tengah Mahalnya Harga Beras
- Wacana Penambahan Kementerian adalah Konsekuensi Besarnya Koalisi di Pilpres 2024
- SBY Tampil di Pestapora 2024: Menyanyi Bermanfaat bagi Kesehatan Fisik dan Mental
Masih di tahun yang sama, Rano Karno muncul sebagai Calon Wakil Bupati Tangerang untuk mendampingi Calon Bupati Ismet Iskandar pada Pilkada 2008. Ia memenangkan pilkada di tahun itu dan resmi menjadi Wabup Tangerang periode 2008-2013.
Pada 2011, Rano menjadi Wakil Gubernur Banten mendampingi Ratu Atut Chosiyah, seusai memenangi Pilkada Banten. Namun sejak 13 Mei 2014, ia ditunjuk Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk menjabat Plt Gubernur Banten menggantikan Ratu Atut Chosiyah yang dinonaktifkan terkait kasus suap pilkada di Mahkamah Konstitusi (MK).
Meski bukan orang baru di kancah politik, namun Rano Karno dianggap tidak memiliki catatan kerja yang bagus untuk Jakarta. Bahkan elektabilitas pasangan Pramono Anung-Rano Karno jelang pilkada serentak yang akan digelar pada November mendatang tidak terlalu bagus.
Belum lama ini, sejumlah lembaga survei telah mengeluarkan hasil survei terbaru terkait elektabilitas atau tingkat keterpilihan para bakal pasangan calon. Menurut Survei LSI terkait Pilkada Jakarta 2024 yang dilakukan terhadap 1.200 orang pada 1-12 September, pasangan Ridwan Kamil-Suswono masih menempati peringkat pertama dengan elektabilitas 51,8 persen. Angka ini jauh mengungguli Pramono Anung-Rano Karno di urutan dua dengan 28,4 persen dan pasangan independen Dharma Pongrekun-Kun Wardana 3,2 persen.
Tak Gunakan Jabatan dalam Promosi
Oleh sebab itu, Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion, Dedi Kurnia Syah menilai penambahan nama Si Doel tidak akan berdampak positif untuk mendongkrak elektabilitas Rano Karno. Ia memiliki dua alasan untuk mendukung pernyataannya bahwa penambahan nama Si Doel tidak akan memberi dampak jauh di Pilkada Jakarta.
Pertama, nama Si Doel memiliki popularitas terhadap pemilih utamanya memang kelompok usia mapan, tetapi untuk kasus di Jakarta nama itu sudah umum diketahui oleh mayoritas pemilih saat ini. Sehingga tidak miliki dampak signifikan.
“Kedua, Si Doel sebagai nama peran tidak miliki reputasi yang selaras dengan kepemimpinan untuk Jakarta. Rano pernah menjabat Wakil Gubernur, Gubernur dan DPR, dan semua jabatan itu tidak ada yang digunakan dalam promosinya, ini menandai Rano sebenarnya tidak punya catatan kerja yang bagus untuk Jakarta. Sehingga dengan nama Si Doel sekalipun tidak akan terbangun simpati publik,” tegas Dedi melalui pesan singkat kepada VOI.
Penggunaan nama panggung pada kontestasi politik sejatinya tidak hanya kali ini terjadi. Pada Pemilu 2024 saja, sejumlah selebritas Tanah Air memasukkan nama panggung mereka saat masuk gelangang politik. Sebut saja Ellfonda Mekel yang mengajukan penggantian nama sementara ke pengadilan untuk menggunakan Once Mekel saat Pemilu 2024. Begitu pula dengan Komeng (Alfiansyah Bustami), Uya Kuya (Surya Utama), dana Denny Cagur (Denny Wahyudi).
Ubedillah Badrun, analis sosial politik, pernah membahas fenomena para artis yang memilih nama panggung ketimbang nama asli di dunia politik saat pileg awal tahun ini. Menurutnya, Dengan menggunakan nama yang lebih dikenal di masyarakat ini, para artis berharap bisa lebih banyak ‘menjaring’ masyarakat. Apalagi, untuk kasus pemilihan anggota legislatif, pada kertas suara pemilu anggota DRP RI tidak terdapat foto, melainkan hanya nama para caleg.
"Para artis memilih nama panggung ketimbang nama asli dalam pemilihan anggota legislatif tahun 2024 karena mereka terlihat sangat meyakini bahwa nama panggung mereka begitu populer dan neyakini bahwa popularitas berkorelasi dengan elektabilitas. Padahal dalam pemilu yang liberalistik tidak selalu popularitas yang tinggi akan mendapatkan elektabilitas yang tinggi," ucap Ubedillah Badrun.
Ia menegaskan, penentuan elektabilitas seseorang dalam pemilu adalah kerja-kerja politik langsung antara calon dengan konstituen yang bertemu intensif bertahun tahun untuk mendengarkan aspirasi konstituen atau rakyat banyak di daerah pemilihanya dan mereka saling mengikatkan diri untuk bersama sama dalam barisan politik yang sama.