Eksklusif Fajar Nugros Berkembang Berkat Kolaborasi dan Konsistensi dalam Film 

JAKARTA - Sutradara sekaligus produser dari rumah produksi IDN Pictures, Fajar Nugros mempercayai sutradara baru, Jeihan Angga untuk berkolaborasi dalam menggarap film terbaru mereka berjudul Seni Memahami Kekasih yang merupakan film komedi romantis.

Dalam sebuah wawancara eksklusif dengan VOI, Fajar menuturkan kalau tujuan dari kolaborasi ini untuk memberikan kesempatan kepada sutradara-sutradara muda bisa berkarya dan sebagai perputaran industri film Indonesia.

“Jadi sebenarnya saya mengalami proses yang panjang untuk menjadi sutradara di Indonesia ini, dan saya ngerasa yang paling mahal itu sebenarnya kesempatan untuk membuat film. Kesempatan itu sangat mahal di Indonesia, baik sebagai menjadi sutradara dan secara umum lah, apa saja. Akses itu sangat penting," tutur Fajar Nugros di kantor VOI, Tanah Abang, Jakarta Pusat.

"Dan karena saya mengalami banyak hal untuk bisa menjadi IDN, gitu ya. Dan makanya saya berniat di IDN itu memberikan goodwill, kesempatan kepada teman-teman sutradara muda yang berbakat, yang kita lihat berbakat, dan mencoba untuk berkolaborasi dengan mereka,” lanjutnya.

Fajar Nugros (Foto: Bambang E Ros, DI: Raga/VOI)

“Karena kalau enggak ya industri film kita ya hanya tidak akan berkembang menurut saya. Jadi visi, gaya baru para sutradara, gitu, dan bagaimana saya belajar juga dari yang baru-baru itu, itu penting buat saya dan Santi di IDN Pictures, gitu,” tuturnya.

Meski begitu Fajar tetap memberikan syarat dan juga tersendiri untuk berkolaborasi dengannya. Seperti memiliki integritas yang tinggi dan mampu berkomitmen kepada pekerjaannya.

"Iya tentunya, standar itu ada. Tapi maksudnya itu standarnya adalah ya, pertama punya integritas tinggi, orang kalau skill-nya bagus kayak apapun, kalau integritasnya nggak ada, susah. Terus komitmen, karena menjadi filmmaker itu ya, dia komit apapun ya, sebenarnya profesi apapun pasti butuh komitmen," tutur Fajar Nugros.

Bukan hanya itu, memiliki tanggung jawab dan memiliki jiwa kolaborasi yang tinggi juga masuk perhitungan Fajar Nugros dalam memilih sutradara muda untuk berkembang bersama.

Fajar Nugros (Foto: Bambang E Ros, DI: Raga/VOI)

"Terus yang ketiga tanggung jawab. Jadi karena membuat film itu long run, maraton panjang, bisa 4 bulan, bisa 6 bulan, untuk sampai ke produk yang baik. Jadi tanggung jawab diperlukan. Bukan berarti nggak bisa kerja sama yang lain, tapi ya pandai-pandai mengatur waktu," bebernya.

"Semakin profesional memang semakin dituntut untuk bertanggung jawab terhadap apa yang kita lakukan, terhadap karyanya, gitu. Dan yang berikutnya tentu punya jiwa kolaborasi yang baik, gitu. Karena film kan membutuhkan kolaborasi, banyak talent di dalamnya, dan bisa menjadi good leader, gitu. Dan kolaborasi itu yang penting kalau kita ingin membuat sebuah produk yang bagus," tutur Fajar Nugros.

Dan yang terpenting bagi sutradara film Sleep Call ini ialah memiliki visi yang sama dengan produser sehingga bisa pesan yang ingin disampaikan dalam film itu bisa dirasakan oleh penontonnya.

"Yang terakhir ya, visinya cocok sama produser. Jadi kita mau bikin film komedi, hasilnya akan membuat kita senang, tertawa. Bikin horor ya, kita bisa mendeliver perasaan, perasaan takut itu, dan seterusnya. Jadi ada banyak hal yang menjadi poin kenapa kita berkolaborasi, tapi intinya itu sih," imbuhnya.

Lebih lanjut, Fajar merasa beruntung bisa berkolaborasi dengan sutradara baru yang akhirnya membantunya dalam berkembang dan beradaptasi dengan perubahan di industri film.

"Ya, pasti. Makanya kita di IDN ingin berkolaborasi dengan siapa, pasti ada part saya juga pengen belajar dari dia, seperti apa, gitu. Saya suatu hari bisa berkolaborasi dengan Mas Hanung, suatu hari pengen berkolaborasi dengan Bang Joko Anwar, gitu ya. Karena pengen tahu, ‘oh rasanya kerja sama mereka kayak gimana, ya’. Dan itu menambah saya punya pengalaman, punya, oh cara pandang, cara pikir, gitu," tandas Fajar Nugros.

Konsistensi Jadi Kunci Eksistensi

Fajar Nugros (Foto: Bambang E Ros, DI: Raga/VOI)

Fajar Nugros sudah berkarya selama 20 tahun di industri perfilman dimulai dari kecintaannya kepada seni bercerita. Sejak kecil hingga duduk di bangku kuliah menulis dan menyampaikan informasi menjadi suatu kegiatan yang menyenangkan baginya.

"Saya tetap merasa saya tetap bisa bertahan di dunia perfilman ini karena saya mencintai seni bercerita. Saya mencintai, dari kecil dulu, dari SD saya sudah senang mengarang, gitu ya. Terus senang menulis, gitu. SD, SMP saya bikin mading. Sekolah nggak ada madingnya, saya bikin aja mading. Terus di kuliah, saya ikut majalah kampus. Majalahnya terbit 6 bulan sekali," cerita Fajar Nugros.

"Kemudian, punya kesempatan bikin film pendek, sampai sekarang film, dan memang film yang paling saya cintai, gitu. Jadi, kalau ditanya passion saya apa ya, passion saya mungkin bercerita dan media film adalah medium yang paling saya sukai untuk menghibur orang, gitu," tambahnya.

Hingga akhirnya ia dipertemukan dengan industri film yang akhirnya ia pilih sebagai media untuk menghibur orang lain. Oleh karena itu, ia tidak pernah bosan dengan pekerjaannya ini dan menjadi alasan bisa terus eksis.

Fajar Nugros (Foto: Bambang E Ros, DI: Raga/VOI)

"Jadi, mungkin itu bagian dari hidup saya dan mungkin saya nggak akan pernah bosan, karena pasti cerita akan ada terus. Orang akan selalu gelisah, orang akan selalu khawatir, masyarakat akan selalu butuh diceritakan suara hatinya, masyarakat akan selalu ingin dihibur, gitu. Jadi, saya selalu, saya kadang-kadang nggak peduli mau mediumnya apa, ya saya menemukan ide, saya menemukan ide aja, gitu," beber Fajar Nugros.

Tetapi perjalanan karir Fajar di dunia perfilman tentu tidak selamanya mudah, ia mengaku selama 16 tahun berkarir sebagai sutradara ide ceritanya selalu ditolak.

Namun pria berusia 47 tahun ini menolak untuk mengeluh terhadap hal tersebut dan malah menjadikannya sebagai sebuah dorongan untuk terus berkarya.

"Saya 20 tahun di film, IDN pictures baru 4 tahun, berarti ada 16 tahun ya, 16 tahun cerita saya ditolak semua. Iya kan 16 tahun berkarya itu, ya saya sabar bahwa saya melayani cerita dengan, melayani cerita yang disodorkan ke saya sebaik-baiknya, saya tidak pernah mengeluh, ceritanya kok kayak gini, oke, kalaupun kayak gini ya saya perbaiki, gitu. Saya nggak pernah mengeluh budget, budgetnya kok kecil, oh ya nggak lah," imbuhnya.

Fajar Nugros (Foto: Bambang E Ros, DI: Raga/VOI)

"Jadi, saya nggak pernah mengeluhkan hal-hal yang sudah diberikan kepada saya sebagai sebuah kesempatan yang baik, gitu. Sebaik-baiknya kita memanfaatkan kesempatan yang ada, itu hasilnya pasti akan lebih besar lagi. Belum-belum udah dikeluhkan itu menurut saya sangat, istilah saya itu apa, nggak bersyukur, gitu," jelasnya.

Lebih lanjut, baginya, alasan hingga kini masih eksis di dunia perfilman karena tidak pernah merasa ada persaingan dengan sutradara film lainnya. Meski tak bisa dipungkiri ia beberapa kali merasa iri dengan ide cerita yang muncul dari orang lain.

"Kalau saya sih nggak pernah melihatnya sebagai persaingan ya, tapi maksudnya saya selalu merasa kalau ada film bagus rilis, ya saya support, saya promo, saya bantuin posting, saya bantu komentar di sosmed, gitu. Karena kalau filmnya bagus, penonton percaya terhadap film Indonesia, ya pasti mereka juga akan percaya dengan film saya berikutnya, gitu. Jadi, film saya cuma harus bagus dari film yang sedang laris itu, gitu.

"Jadi, nggak ada saya merasa persaingan begitu. Saya orangnya susah iri, kecuali dalam soal ide, gitu. Kalau misalnya ada film bagus, idenya kok bisa sangat menarik ya? Itu saya iri. Kalau si sutradara datang naik Mercy, saya nggak iri biasa aja. Karena saya tiap hari naik Mercy roda 6," sambungnya.

"Tapi maksudnya, kalau ada ide yang bagus, saya selalu berpikir, ih, ini orang makannya apa ya? Berarti kan ada sesuatu yang dia makan yang beda sama saya. Maksudnya makan itu bisa dia baca buku, tontonan nya, dalam perjalanan hidupnya itu apa yang dia alami dan saya tidak alami, gitu. Kok dia bisa berpikir seperti itu? Nah, cara-cara itu yang membuat saya lebih iri, gitu," kata Fajar Nugros menutup wawancara dengan VOI.