Kasus Nenek Asyani dan Tujuh Batang Jati: Potret Buramnya Hukum Indonesia
JAKARTA - Hukum sejatinya mampu memberikan kepastian, kemanfaatan, dan keadilan. Namun, penegakan hukum di Indonesia acap kali melenceng. Keadilan bak barang mahal. Hukum seraya serius ditegakkan pada perkara rakyat kecil saja.
Ambil contoh kasus seorang nenek bernama Asyani. Ia dituduh mencuri tujuh batang kayu jati milik Perhutani Situbondo. Tuduhan itu membuatnya disidang dan dihukum satu tahun penjara. Seisi Indonesia mengutuk putusan yang harusnya selesai di tingkat Kepala Desa. Tidak lebih.
Potret hukum Indonesia kerap mendapatkan sorotan tajam. Frasa hukum tajam ke bawah, tumpul ke atas mendominasi. Frasa itu mewakili nurani rakyat kebanyakkan yang mengganggap hukum hanya berani berhadapan ke orang kecil dengan urusan mikro belaka. Itulah yang dihadapi oleh Asyani.
Nenek asal Situbondo itu dianggap mencuri tujuh batang kayu jati milik Perhutani Situbondo. Asyani pun mengelak dari tuduhan itu. Ia memiliki cerita sendiri dan didukung oleh warga tempatnya tinggal di Desa Jatibedeng, Situbondo.
Dulu Asyani dan suaminya, Sumardi memiliki tanah warisan seluas 700 meter persegi. Tanah itu lalu ditanami dengan pohon jati dan palawija. Namun, masalah muncul. Kebutuhan hidup membuat Asyani dan suaminya menjual lahan warisan dan menebang pohon jati di kebunnya pada 2009.
Sebagiannya dijual, sebagiannya sebanyak 15 papan kayu disimpan. Duka pun menghampiri Asyani. Suaminya meninggal dunia dengan meninggalkan utang perawatan yang banyak. Imbasnya rumah satu-satunya juga turut dijual.
Perangkat desa pun menempatkan Asyani ke sebuah rumah bekas korban banjir Dusun Kristal. Asyani pun mencoba menyambung hidupnya dengan jadi tukang pijat. Profesi itu mampu membuat dapurnya ngebul. Sekalipun ia hanya mendapatkan upah Rp10 ribu per orang.
Usahanya pijatnya berkembang. Namun, Asyani mulai membutuhkan dipan pijat baru. Kayu jati simpanan Asyani pun digunakan untuk dibentuk seorang pengrajin bernama Sucipto pada 2014. Nyatanya, hal itu mengundang aparat berwajib.
Rumah Sucipto didatangi aparat. Kayu jati milik Asyani disita. Asyani sebagai pemilik kayu tak dapat menunjukkan dokumen kayunya. Hasilnya Asyani ditahan dan tuduh melakukan pencurian kayu dan illegal logging milik Perhutani.
“Tadinya Asyani hendak meminta kayu itu dikembalikan. Namun polisi malah meminta nenek renta itu menunjukkan dokumen kepemilikan kayu. Karena Asyani tak punya dokumen tersebut, polisi menuduh si nenek mencuri kayu milik Perhutani.”
“Lima bulan kemudian, pada 15 Desember 2014, polisi menahan Asyani, Ruslan (menantu Asyani), Abdus Salam (pemilik mobil pengangkut kayu), dan Sucipto. Terusik oleh kasus ini, sejak awal Januari lalu, Supriyono dan kawan-kawan dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Nusantara Situbondo menjadi pembela keempat tersangka,” ungkap Yulliawati dan David Priyasidhastra dalam laporannya di majalah Tempo berjudul Kayu Jati di Rumah Asyani (2015).
Dukungan ke Asyani
Asyani ditahan dengan tuduhan mencuri tujuh batang kayu jati milik Perhutani Situbondo. Penahanan itu membuat kasus itu mendapatkan atensi dari rakyat Indonesia. Orang-orang ramai-ramai mendukung Asyani supaya dibebaskan -- mengedepankan restorative justice (keadilan restoratif). Apalagi, usianya sudah mencapai 63 tahun pada 2015.
Keinginan itu tak diindahkan. Kasus Asyani bahkan sampai disidangkan di Pengadilan Negeri Situbondo. Asyani dituduh telah melakukan pencurian dan illegal logging. Asyani tetap dengan keterangan bahwa kayu jati yang digunakannya adalah miliknya. Bukan mencuri milik perhutani.
Tim kuasa hukum Asyani lalu mulai menghadirkan saksi-saksi orang di kampung Asyani. Mereka memberikan keterangan yang meringannya. Jaksa penuntut umum bersikukuh menuntut Asyani hukuman 1 tahun penjara degan masa percobaan 18 bulan, serta denda Rp500 juta subsider satu hari kurungan.
Tuntutan itu membuat publik marah. Mereka menganggap urusan itu harusnya selesai di level kepala desa, bukan masuk pengadilan. Dukungan penangguhan penahanan pun muncul dari mana-mana. Bupati dan Wakil Bupati Situbondo, Dadang Wigiarto dan Rahmad begitu. Keduanya mencoba jadi jaminan.
Baca juga:
- Sejarah Menara Batavia, Ikon Arsitektur Modern di Tanah Abang
- Alfred Riedl dan Pembuktiannya: Awal Mula Pemain Asing Diminati Bela Timnas Indonesia
- Memori Tragedi 11 September 2001: Amerika Serikat Kalang Kabut Rayu Indonesia Perangi Terorisme
- Naik Haji Biayai Sendiri: Kisah Teladan dari Mantan Wapres Boediono
Penangguhan penahanan memang dikabulkan pada 16 April 2015. Namun, proses pengadilan tetap dilangsungkan. Khalayak umum pun bersedia menjadi pengganti Asyani untuk menjalani hukuman jika diputuskan bersalah. Malang tak dapat ditolak.
PN Situbondo kemudian memvonis bersalah Asyani pada 23 April 2015. Asyani dijatuhi hukuman satu tahun penjara dan masa percobaan 15 bulan. Keputusan itu memang lebih rendah sedikit dari tuntutan jaksa penuntut umum. Deru protes muncul.
Majelis hakim dianggap menggunakan kacamata kuda dalam menjatuhkan hukuman. Majelis hakim dianggap hanya mendengar pengakuan Perhutani belaka, tanpa mendengar keterangan orang yang sekampung dengan Asyani. Potret kasus Nenek Asyani pun jadi salah satu potret buram hukum Indonesia.
“Hakim menerkam semua umpan yang diajukan jaksa. Kami semua kuasa hukum tentu menyayangkan sekali. Keterangan saksi -saksi ini membuktikan tidak ada yang mengetahui Nenek Asiani mencuri kayu Perhutani,” tutur kuasa hukum Asyani, Supriono dikutip laman CNN Indonesia, 23 April 2015.