JAKARTA – Masyarakat Indonesia khususnya publik Pulau Dewata Bali sempat dibuat terhenyak dengan kasus hukum yang menyeret nama Nyoman Sukena. Betapa tidak, hanya gara-gara empat ekor Landak Jawa, warga Desa Bongkasa Pertiwi, Kecamatan Abiansemal, Kabupaten Badung itu sempat dituntut lima tahun penjara sebelum akhirnya dituntut bebas.
Sukena yang mengaku tidak tahu jika Landak Jawa termasuk satwa yang dilindungi, terpaksa berurusan dengan hukum usai didakwa melanggar Undang-Undang (UU) No 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (KSDA-HE), terutama pasal 21 ayat (2) huruf A juncto Pasal 40 ayat (2).
Ya, ketidaktahuan masyarakat awam terhadap beberapa aturan kerap menyeret mereka berurusan dengan aparat keamanan dan hukum. Di Kota Malang, Piyono, seorang kakek berusia 61 tahun dibawa ke meja hijau gara-gara tidak mengetahui larangan memelihara Ikan Aligator Gar, yang biasa digunakan untuk membersihkan kolam ikan pemancingannya.
BACA JUGA:
Medio 2015 silam, Nenek Asiani yang tinggal di Desa Jatibedeng, Situbondo didakwa Jaksa mencuri tujuh batang kayu jati milik Perhutani Situbondo dan melanggar Pasal 12d juncto Pasal 83 ayat 1d Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan. Jaksa menyebut bukti yang mereka miliki yaitu 38 papan kayu jati identik dengan tonggakan kayu milik Perhutani di petak 43F Desa/Kecamatan Jatibanteng. Sementara Nenek Asiani menyatakan kayu itu diambil dari pohon jati di halaman rumahnya di Desa Jatibanteng.
Pada akhirnya, perempuan 70 tahun itu divonis bersalah oleh Pengadilan Negeri Situbondo, dan dijatuhi hukuman penjara satu tahun dengan masa percobaan 15 bulan. Selain itu Nenek Asiani juga dikenai denda Rp 500 juta dengan subsider 1 hari kurungan.
Contoh lain adalah kasus Nenek Minah pada tahun 2009. Warga Banyumas, Jawa Tengah itu dituduh mencuri 3 buah kakao dari Perkebunan Rumpun Sari Antan (RSA). Kasus bermula ketika Nenek Minah mendapati 3 buah kakao di atas pohon perkebunan tempatnya bekerja yang terlihat nampak matang. Maksud hati Nenek berusia 55 tahun ketika itu ialah memetik untuk disemai sebagai bibit pada tanah garapannya. Lalu, dia meletakkan kakao di bawah pohon dimaksud.
Tak lama kemudian, mandor kakao perkebunan menegur Nenek Minah lantaran 3 buah kakao yang nampak tergeletak di bawah pohon. Tak mengelak dari perbuatannya, Nenek Minah mengaku dan memohon maaf kepada mandor dan menyerahkan kembali ketiga kakao itu. Sekitar seminggu kemudian, Nenek Minah menerima surat panggilan dari kepolisian atas dugaan pencurian.
Pemeriksaan berlangsung sampai akhirnya kasus ini bergulir ke meja hijau di Pengadilan Negeri Purwokerto. Nenek Minah yang dalam persidangan itu tidak didampingi penasihat hukum berakhir didakwa atas pencurian (Pasal 362 KUHP) terhadap 3 buah kakao seberat 3 kilogram dengan perhitungan harga Rp2.000 per kilogram.
Alhasil, Majelis Hakim PN Purwokerto saat itu memutuskan Nenek Minah dijatuhi hukuman 1 bulan 15 hari dengan masa percobaan 3 bulan. Persidangan Perkara Nomor 247/PID.B/2009/PN.Pwt ini ramai dibincangkan dan menyita perhatian publik lantaran kasus kecil tetap diproses hukum hingga ke meja hijau.
Beberapa contoh kasus di atas memang menunjukkan sebuah ironi penegakan hukum. Sebuah ketidaktahuan tentu tidak disertai niat jahat untuk melanggar aturan, atau dalam istilah hukum kerap disebut “mens rea”. Ketidakadilan terhadap orang awam inilah yang kerap memantik munculnya tekanan publik demi mendapatkan sebuah keadilan di negara kita.
Pada kasus Nyoman Sukena misalnya, saat Sukena dituntut 5 tahun penjara, publik sontak menyuarakan ketidakpuasan mereka melalui media sosial. Mereka menganggap tuntutan tersebut terlalu berat dibandingkan dengan kasus korupsi yang mendapat sanksi lebih ringan. Bahkan akun media sosial BKSDA Bali tak luput dari komentar kritis, membandingkan kasus Nyoman Sukena ini dengan kasus serupa yang mendapatkan penanganan berbeda.
Demikian pula dalam kasus Nenek Asiani. Banyak pihak yang memberikan bantuan untuk meringankan hukuman atau membebaskan perempuan berusia 70 tahun itu. Bahkan, Bupati Situbondo saat itu, Dadang Wigiarto yang memberikan jaminan dirinya untuk penangguhan penahanan Nenek Asiani. Langkah ini juga dilakukan oleh Wakil Bupati Situbondo, Rahmad dengan memberikan jaminan tertulis yang memohon penangguhan penahanan bagi Nenek Asiani.
Penegakan Hukum Secara Bijaksana Menciptakan Rasa Keadilan
Sementara kasus Nenek Minah justru menjadi tonggak penerapan restorative justice. Kepala Pusat Studi Kebijakan Kriminal Unpad, Nela Sumika Putri mengungkapkan banyak kasus yang mirip dengan Nenek Minah, Nenek Asiani dan lainnya yang mungkin karena tidak tersorot oleh media jadi tidak naik ke permukaan.
Saat kasus-kasus hukum yang menyeret orang awam dan dianggap mencerminkan ketidakadilan, maka masyarakat akan tergelitik. Sebab, seolah ada anomali dengan kasus-kasus kejahatan lainnya yang memiliki nilai kerugian nominal besar justru tidak tersentuh oleh hukum. Terdapat pula kasus korupsi yang tidak terungkap atau dihukum sangat ringan. Di sisi lain, ada kasus yang secara nominal sangat rendah, tetapi tetap diproses hukum hingga ke pengadilan, seperti kasus Nenek Minah.
“Ini yang membuat kasusnya menjadi sangat viral pada saat itu, meski kita bisa lihat dari berbagai perspektif ya. Hukum itu kan tidak hanya melihat dari sudut pandang normatif, tapi kita juga harus melihat bagaimana dampaknya terhadap masyarakat. Kita kembali ke tujuan awal dari hukum yaitu keadilan, kepastian, dan kemanfaatan,” terang Nela.
Di sisi lain, dia menilai hal yang dilakukan penegak hukum tidaklah salah karena pada hakikatnya mereka menjalankan sesuai norma, dimana perbuatan Nenek Minah terlepas dari angka berjumlah sedikit tetap mengambil milik orang lain. Meski demikian, hukum juga tidak serta merta berfungsi hanya untuk menghukum seseorang. Tapi, penting untuk menimbang layak atau tidaknya seseorang dijatuhi hukuman dengan mempelajari latar belakang dan posisi kasusnya. Sebab, membahas hukum pidana, perlu mempelajari motif sebelum timbulnya sebuah kesengajaan.
Ahli Hukum Pidana UII, Mudzakkir menyatakan, dalam berbagai kasus yang disebabkan ketidaktahuan orang, seharusnya penegakan hukum dilakukan secara bijaksana, mulai dari penyidik, jaksa penuntut hingga hakim. Dalam kasus Nyoman Sukena contohnya, penegakan hukum dapat dilakukan dengan lebih mengutamakan tujuan utama pelarangan memelihara satwa langka tersebut ketimbang melihat unsur pidana apabila tidak memiliki izin.
“Meskipun dia memelihara (tanpa izin) tapi hewannya diperlakukan secara baik, ruang bijaksana itu cukup orang yang bersangkutan diberikan teguran,” imbuhnya.
Mudzakkir justru menyoroti soal sikap pemerintah yang tidak maksimal dalam meyakinkan masyarakat terkait hewan apa saja yang dilindungi atau tidak. “Barangkali petugas perlu menyampaikan binatang apa saja yang dilindungi mungkin banyak orang yang tidak mengetahui mana binatang yang dilindungi atau tidak,” tuturnya.
Adapun Direktur Eksekutif SETARA Institute, Halili Hasan menegaskan bahwa apa yang menimpa Nyoman Sukena menunjukkan lemahnya penegakan hukum di Indonesia yang dinilai belum adil dan memprihatinkan. “Hukum di Indonesia kerap tajam ke bawah, namun tumpul ke atas. Dalam kondisi seperti itu, sulit untuk mengharapkan hukum sebagai instrumen keadilan,” ungkapnya.
Menurut Halili, nasib yang dialami Nyoman bisa terjadi kepada siapa saja, dan saat ini sulit untuk melakukan pencegahan. Dia menyoroti ketidakmampuan institusi penegak hukum konvensional dalam menjalankan tugasnya secara adil. “Kalau melihat situasi hari ini, agak sulit berharap pada institusi penegak hukum yang ada. Salah satu cara yang cukup efektif adalah memanfaatkan tekanan dan dukungan publik,” tukasnya.
Dia menekankan, kasus-kasus yang kerap terjadi dan terakhir menimpa Nyoman Sukena harus menjadi pembelajaran bagi semua pemangku kepentingan hukum di Indonesia dalam memperbaiki sistem hukum agar keadilan dapat diwujudkan bagi semua kalangan.
Selain itu, peran komisi-komisi negara, seperti Komisi Kepolisian Nasional, Komisi Kejaksaan, dan Komisi Yudisial dalam menindak aparat penegak hukum yang tidak bekerja sesuai dengan kewenangan masing-masing perlu dioptimalkan. “Kasus Nyoman Sukena diharapkan dapat menjadi pemicu perbaikan sistem hukum Indonesia, agar keadilan benar-benar bisa dirasakan oleh semua lapisan masyarakat. Jangan ketika sudah muncul tekanan dan dukungan publik, baru tercipta rasa keadilan,” kata Halili.