Kelas Menengah Tumbang dan Potensi Paradoks Chile di Indonesia
JAKARTA – Pemerintah berencana menerapkan tarif KRL Jabodetabek berbasis Nomor Induk Kependudukan (NIK) dan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) mulai tahun 2025. Hal ini dianggap berpotensi semakin menekan daya beli kelas menengah yang kini jumlahnya di Indonesia makin menyusut.
Rencana tersebut dinilai tidak berpihak dan memfasilitasi kepentingan kelas menengah. Mantan Menteri Keuangan, Chatib Basri mengungkapkan, akan lebih bijak bila pemerintah juga memperhatikan kepentingan kelas menengah Indonesia. Sebab, kondisi masyarakat kelas menengah sudah menggunakan tabungan mereka untuk konsumsi.
Kurangnya daya beli masyarakat sejak masa pandemi Covid-19 tidak hanya dialami masyarakat golongan miskin, tapi juga kelas menengah. Bedanya, kata Chatib, pemerintah tetap memperhatikan golongan miskin melalui pemberian berbagai bantuan sosial. Sementara kelas menengah yang juga berkurang daya belinya, kurang mendapatkan perhatian. “Saya pikir ini isu yang amat besar. Bila isu ini tidak dikelola dengan benar, pemerintah bisa berkaca pada fenomena Paradoks Chile di tahun 2019 lalu,” ujarnya.
Baca juga:
Lima tahun silam, tepatnya Bulan Oktober 2019, pemerintah Chile mengumumkan kenaikan tarif metro (kereta bawah tanah) di Santiago (ibu kota negara), sebesar 30 Peso Chile atau sekitar Rp500 pada jam sibuk.
Meski hanya Rp500 (bila dirupiahkan), faktanya kenaikan itu dianggap memberatkan banyak warga, terutama pelajar dan kelas menengah yang sangat bergantung pada transportasi publik. Aksi protes pun mulai muncul yang dilakukan dengan cara “penghindaran” tarif.
Para pelajar menolak membayar tarif baru dengan cara melompati pintu putar di setiap stasiun Metro. Aksi pun meluas, tak hanya pelajar, para pekerja dan masyarakat lain pun melakukan hal yang sama. Protes ini kemudian bergulir menjadi demontrasi berjilid-jilid yang terus membesar. Tuntutan pun ikut meluas, bukan cuma pembatalan kenaikan tarif, tapi juga terkait perubahan sosial serta kebijakan ekonomi yang lebih luas.
Profesor Ekonomi di UCLA Anderson School of Management yang juga ekonom Chile, Sebastian Edwards menyebut gejolak ekonomi, sosial dan politik itu sebagai fenomena Paradoks Chile, seperti tertuang dalam tulisan yang berjudul “The Chilean Paradox: High Growth, Low Inequality, and the Rise of the Middle Class”.
Edwards menilai, kenaikan tarif metro di Santiago seperti menjadi pintu masuk bagi masyarakat Chile untuk menyampaikan ketidakpuasannya terhadap berbagai kebijakan ekonomi pemerintah yang terkesan menganaktirikan kelas menengah.
Padahal, saat itu kondisi politik dan ekonomi Chile dalam laju positif seperti tercermin dalam berbagai indikator ekonomi. Rata-rata pertumbuhan PDB sekitar 3 persen per tahun dalam beberapa tahun terakhir sebelum protes, tingkat kemiskinan terus menurun secara signifikan dalam beberapa dekade terakhir, menjadi hanya 5-6 persen, salah satu yang terendah di Amerika Latin.
Tak hanya itu, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di Chile termasuk yang tertinggi di Amerika Latin, menunjukkan kemajuan dalam bidang pendidikan, kesehatan, dan standar hidup. Tingkat perkapita bahkan menyentuh angka 14.551 US Dollar-jauh lebih tinggi dari Indonesia-dan salah satu yang tertinggi di kawasan Amerika Selatan.
Sayangnya, indikator ekonomi positif Chile ini tidak mencerminkan distribusi kekayaan yang sebenarnya di tengah masyarakat. Meski punya PDB per kapita yang relatif tinggi, Chile mengalami tingkat ketimpangan pendapatan yang tinggi. Gini coefficient, yang mengukur ketimpangan pendapatan, berada di sekitar 0,45, menunjukkan distribusi kekayaan yang tidak merata. Tingkat utang rumah tangga di Chile juga relatif tinggi, terutama untuk biaya pendidikan dan kesehatan. Hal ini menjadi beban berat bagi banyak keluarga kelas menengah, yang jumlahnya mayoritas.
Edwards mengatakan, meski Chile berhasil membuat kemajuan ekonomi yang luar biasa, masih ada ketimpangan yang signifikan dalam distribusi kekayaan dan akses terhadap layanan publik berkualitas. Hal ini menciptakan rasa frustrasi dan ketidakpuasan di kalangan kelas menengah yang merasa tertinggal dan tidak merasakan manfaat dari pertumbuhan ekonomi tersebut.
Tolong Perhatikan Kelas Menengah !
Apa yang terjadi di Chile tersebut membuat Chatib Basri mengingatkan Pemerintah Indonesia agar lebih memerhatikan kelas menengah, untuk menghindari terjadinya fenomena yang sama di tanah air. Terlebih saat ini, kondisi kelas menengah Indonesia menghadapi situasi yang sangat berat, seiring kondisi ekonomi yang masih belum sepenuhnya stabil.
Sama halnya di Chile, Pemerintah Indonesia belakangan lebih banyak memberi atensi pada kelompok miskin dan sangat miskin dengan guyuran berbagai bantuan sosial dan golongan ekonomi atas dengan berbagai insentif perpajakan. Sementara kelas menengah seperti terabaikan dan harus menanggung akibat kondisi perekonomian yang tidak stabil itu nyaris tanpa bantuan dari pemerintah.
Karena itu, tidak mengherankan bila dalam lima tahun terakhir jumlah kelas menengah di Indonesia, setiap tahunnya terus mengalami penurunan yang sangat signifikan. Menurut Bank Dunia, kelas menengah Indonesia adalah mereka yang memiliki rentang pengeluaran 3,5 kali hingga 17 kali di atas garis kemiskinan.
Sementara aspiring middle class atau calon kelas menengah adalah mereka yang memiliki range pengeluaran antara 1,5 kali sampai 3,5 kali di atas garis kemiskinan. Sedangkan angka garis kemiskinan pada tahun 2024 sebesar Rp550.000.
Mengacu pada standar tersebut, data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2019, jumlah penduduk kelas menengah Indonesia mencapai 57,33 juta jiwa, sedangkan pada tahun 2024 jumlahnya hanya sebesar 47,85 juta jiwa, turun sekitar 9,48 juta jiwa.
Berkurangnya jumlah kelas menengah ini bukan berarti mereka naik kelas, tapi justru turun kelas ke level aspiring middle class. Hal ini terbukti dengan kenaikan jumlah di kelas tersebut menjadi 137,50 juta jiwa. Dengan demikian, setengah dari penduduk Indonesia yang berjumlah 270 juta jiwa tersebut adalah calon kelas menengah yang memiliki kerentanan masuk ke jurang kemiskinan.
Fakta ini yang membuat Chatib Basri memprediksi dalam beberapa tahun ke depan kelas menengah akan mendominasi penduduk Indonesia. Menurut dia, kalangan ini tidak membutuhkan bantuan sosial atau uang tunai, namun lebih kepada fasilitas umum yang baik. “Mereka akan butuh lebih pada kualitas pendidikan yang baik, sarana transportasi yang lebih baik. Ini yang akan menjadi isu political economy ke depan,” imbuhnya.
Ekonom Bank Permata, Joshua Pardede memperkirakan, perubahan tarif angkutan umum di tengah maraknya pemberian insentif pembelian mobil, termasuk insentif pajak untuk mobil listrik bisa memunculkan fenomena Paradoks Chile di Indonesia.
“Indikasi awal terjadinya Paradoks Chile yang mungkin terjadi, karena ekonomi kita tetap solid saja 5 persen, tapi tidak terjadi pemerataan pembangunan yang merata, khususnya di kelas menengah ke bawah,” ungkapnya.
Dia menjelaskan, rencana pengubahan tarif KRL Jabodetabek berbasis NIK bisa mengganggu daya beli kelas menengah karena menjadi salah satu alat transportasi utama masyarakat kelas pekerja yang rumahnya jauh dari pusat industri.
“Karena kalau kita bicara fenomena yang terjadi belakang ini, misalkan kelas menengah khawatir dan menyoroti rencana kenaikan ataupun penyesuaian tarif KRL, sementara di sisi lain untuk insentif pajak mobil listrik, ini yang menikmati adalah kelas atas,” katanya.
“Makanya mereka merasakan ketidakadilan di situ, di mana subsidi yang besar itu masih dinikmati oleh kelas atas, sementara itu yang kelas menengahnya ini bahkan ditambah terus beban hidupnya, termasuk juga adanya potensi penyesuaian tarif KRL, dan juga di tahun depan ada kemungkinan juga untuk tarif PPN naik,” sambung Josua.
Josua menegaskan, pemerintah perlu memerhatikan nasib kelas menengah dengan membuat program-progam atau memperluas cakupan perlindungan sosial pada kelompok ini, untuk menghindari terjadinya fenomena Paradoks Chile.
Dia berharap, cerita fenomena Paradoks Chile lima tahun silam di negara yang dulu dipimpin diktator Augusto Pinochet tidak menjadi kenyataan di Indonesia. Sebab, seperti halnya di Chile, ketika kelas menengah di Indonesia tumbang maka negara ini pun akan oleng.