Ujian Lagi bagi Pekerja Kelas Menengah, Iuran Pensiun Tambahan Wajib Berpotensi Makin Mencekik Daya Beli

JAKARTA – Rencana pemerintah merancang peraturan baru terkait dana pensiun tambahan wajib dengan memotong upah pekerja mendapat reaksi negatif, baik di kalangan pekerja maupun sejumlah ekonom. Pengamat ekonomi menilai kebijakan ini, meski belum tahu kapan realisasinya, berpotensi mengurangi daya beli pekerja.

Pemerintah tengah menggodok Peraturan Pemerintah (PP) terkait program pensiun wajib pekerja. PP ini menjadi aturan turunan dari Undang-undang (UU) Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (P2SK) yang dirancang untuk meningkatkan replacement ratio pekerja.

Sebagai informasi, replacement ratio merupakan rasio pendapatan pekerja saat pensiun dibandingkan nilai gaji yang diterima saat masih aktif bekerja.

Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Penjaminan, dan Dana Pensiun Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Ogi Prastomiyono menuturkan replacement ratio perlu dilakukan karena saat ini Indonesia masih berada di level 15-20 persen. Padahal Organisasi Ketenagakerjaan Internasional atau ILO menetapkan nilai replacement ratio setidaknya 40 persen dari penghasilan terakhir pekerja.

Mengancam Perputaran Ekonomi

Dalam Pasal 189 ayat 4 UU P2SK disebutkan bahwa kriteria pekerja yang dikenai dana pensiun wajib adalah yang telah memiliki pendapatan di atas batas tertentu. Ogi tidak menyebutkan lebih lanjut berapa minimal nominal gaji pekerja yang bakal dikenakan kewajiban membayar iuran dana pensiun tersebut.

"Pekerja yang memiliki penghasilan melebihi nilai tertentu, diminta untuk tambahan iuran pensiun secara sukarela, tambahan tapi wajib, ini akan diatur dalam PP dan POJK yang sedang disusun," terang Ogi.

Namun rencana pemerintah ini ditentang banyak pihak, utamanya di kalangan pekerja. Pasalnya, sampai sekarang gaji pekerja di Indonesia sudah harus sejumlah potongan untuk berbagai jenis iuran.

Mulai dari program jaminan hari tua (JHT) dan jaminan pensiun (JP) BPJS Ketenagakerjaan (BPJS-TK), iuran BPJS Kesehatan, Pajak Penghasilan (PPh) 21. Belum lagi adanya rencana iuran tambahan untuk Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera).

Warga membeli kebutuhan harian di Pasar Temanggung Djaya Karti di Tamiang Layang Kecamatan Dusun Timur. Daya beli masyarakat diramalkan kian merosot jika rencana iuran pensiun tambahan wajib benar diterapkan pemerintah. (ANTARA/Habibullah)

Penambahan potongan gaji dikhawatirkan hanya akan membebani masyarakat, terutama kelas menengah yang makin terjepit. Buntutnya, hal ini bisa berimbas pada penurunan daya beli dan perlambatan ekonomi nasional.

Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menuturkan, penambahan iuran pensiun ini tidak perlu diterapkan saat ini karena hanya akan membebani para pekerja. Menurutnya, beban potongan pekerja yang sudah terlalu banyak dikhawatirkan malah akan menurunkan disposable income atau pendapatan yang siap dibelanjakan.

“Bagi pekerja, tambahan potongan akan menurunkan daya beli, disposable income-nya makin anjlok. Dalam 10 tahun terakhir pekerja menghadapi rendahnya kenaikan upah minimum,” kata Bhima ketika dihubungi VOI.

“Pungutan juga sudah terlalu banyak ada BPJS kesehatan, BPJS-TK, PPh 21, ditambah rencana Tapera akhirnya mengurangi pendapatan tersisa untuk dibelanjakan atau ditabung,” imbuhnya.

Padahal, dikatakan Bhima, persiapan untuk pensiun tidak harus berbentuk pengumpulan wajib dana ke suatu lembaga. Jika ada pekerja yang memiliki kelebihan pendapatan, misalnya pekerja dengan gaji di atas Rp15 juta per bulan, maka bisa dialokasikan untuk investasi lain seperti reksadana, saham, dan properti.

“Kalau dobel-dobel sudah investasi di instrumen aset kemudian diwajibkan untuk dana pensiun jadi tidak pas ya,” kata Bhima.

Dampak lain yang bisa terjadi akibat banyaknya pungutan adalah membuat industri terpukul sehingga berpotensi kembali terjadi gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) akibat perputaran ekonomi yang melambat.

“Jadi memang ada korelasi rencana dana pensiun wajib ke pendapatan pekerja yang makin rendah kedepannya,” ucapnya.

Penanggung Jawab Belum Jelas

OJK mengatakan peraturan pemerintah soal ini masih dirancang, namun di saat yang sama disebutkan bahwa dana pensiun wajib ini akan disalurkan melalui lembaga pengelola non-bank. Sebagai gambaran, ada dua jenis lembaga keuangan non-bank yang dapat mengelola dana pensiun di Indonesia, yaitu Dana Pensiun Pemberi Kerja (DPPK) dan Dana Pensiun Lembaga Keuangan (DPLK).

Dari sisi manfaat yang diterima peserta, Ogi mengatakan iuran dana pensiun tambahan akan mirip dengan Jaminan Pensiun BPJS-TK. Dengan demikian, maanfaatnya akan diterima peserta secara rutin setiap bulan setelah pensiun.

“Jadi ini beda dengan JHT di BPJS-TK yang saat pensiun boleh dicairkan tunai atau sekaligus,” ucap Ogi.

Jika pengelolaannya nanti benar-benar dilakukan oleh DPPK, maka ini akan menjadi iuran wajib baru yang terpisah dengan iuran JP dan JHT ke BPJS-TK. Dengan demikian, pekerja yang terdampak kebijakan ini kemungkinan akan membayar iuran pensiun ke dua pengelola yang berbeda.

Pekerja berjalan di Jembatan Penyeberangan Orang (JPO) saat jam pulang kerja di kawasan Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta, Jumat (2/8/2024). (ANTARA/Dhemas Reviyanto/Spt)

“Logika apa yang digunakan pemerintah soal kenapa harus dipisah, ini pemerintah harus menjelaskan, kenapa dana pensiun tambahan ini terpisah dari program jaminan pensiun BPJS yang saat ini ada,” ucap Andriko Otang dari Trade Union Rights Center (TURC).

“Perusahaan pun juga akan keberatan, mereka sudah membayar iuran DPLK/DPPK tapi kenapa harus membayar iuran BPJS-TK lagi? Itu kan jadi dobel,” Andriko menambahkan.

Dijelaskan Andriko, mekanisme pengelolaan dana pensiun antara BPJS dan DPLK/DPPK berbeda. BPJS adalah badan hukum publik untuk jaminan sosial. Mereka boleh mencari untung, tapi untuk dikembalikan ke para pekerja sebagai penerima manfaat. Sedangkan DPLK/DPPK lebih berorientasi untung karena dikelola oleh badan usaha.

Selain itu, bentuk pertanggungjawabannya pun berbeda. BPJS berada di bawah tanggung jawab presiden langsung. Sehingga jika BPJS sampai defisit, maka pemerintah bisa memberikan suntikan dari APBN sebagai bentuk tanggung jawab. Sedangkan DPLK/DPPK diawasi oleh OJK.

Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Penjaminan dan Dana Pensiun Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Ogi Prastomiyono. (ANTARA/Martha Herlinawati Simanjuntak)

Pengamat jaminan sosial Timboel Siregar mempertanyakan soal siapa yang akan bertanggung jawab jika DPLK/DPPK gagal investasi. Karena menurutnya, banyak DPPK dan DPLK yang hancur-hancuran. Ia mencontohkan bagaimana kasus gagal bayar dan korupsi di Jiwasraya yang kurang lebih menggambarkan risiko tersebut.

“Kalau mereka gagal investasi, siapa yang menjadi penanggungjawab? Banyak DPPK dan DPLK yang hancur-hancuran, sekarang dana pensiun tambahan malah mau diterapkan ke sana. Siapa yang mau bertanggung jawab?” kata Timboel.